Liputan6.com, Jakarta Ada beragam profesi unik yang pernah diangkat dalam drakor—termasuk yang merupakan kekhasan dari Negeri Ginseng ini: haenyeo. Aktris Kim Mi Kyung berperan sebagai sebagai salah satu tetua tim haenyeo dalam drakor Welcome to Samdal-ri. Han Ji Min tampil dalam karakter serupa dalam Our Blues.
Kabar terbaru, diwartakan The Korea Times Song Ji Hyo juga akan tampil dalam serial dokumenter Deep Dive Korea: Song Ji-hyo’s Haenyeo Adventure. Di sini, sang aktris menantang dirinya dalam menjalani pelatihan sebagai penyelam wanita ini.
Advertisement
Haenyeo sendiri memiliki makna harfiah "wanita laut". Mereka beraksi dengan “seragam” khas mereka yakni baju selam, goggle, celana katak, juga jaring dan alat pelampung. Mayoritas haenyeo berada di Pulau Jeju, dan sebagian kecil di ujung selatan semenanjung Korea.
Dilansir dari berbagai sumber, para hanyeo menyelam secara berkelompok secara free dive—tanpa tabung oksigen—hingga kedalaman mencapai 10 meter, bahkan lebih. Sebelum nyemplung, mereka mengucap doa kepada Jamsugut—dewi laut—untuk mendapatkan keselamatan sekaligus tangkapan yang melimpah.
Di bawah air, haenyeo mengumpulkan timun laut, abalone, bulu babi, atau rumput laut. Setelah satu hingga dua menit berada di bawah air, mereka naik ke atas permukaan dengan teknik pernapasan yang mengeluarkan suara mirip siulan—disebut sumbisori.
Dilansir dari publikasi UNESCO, kegiatan “memanen” hasil laut ini, bisa berlangsung selama tujuh jam. Dengan keahlian bermanuver di bawah laut, membuat para haenyeo kerap dijuluki putri duyung alias mermaid dari Korea.
Haenyeo Masa Lalu
Dilansir dari situs Visit Jeju, catatan tertulis pertama tentang para penyelam haenyeo di Jeju berasal dari tahun 1629 dan mereka disebut sebagai jamnyeo.
Sebelum pakaian selam modern atau wetsuit gampang diperoleh seperti sekarang, para haenyeo mengenakan pakaian dari katun yang dinamakan mulsojungi.
“Sebelum ada pakaian yang terbuat dari karet, hanya ini yang kami kenakan. (Mulsojungi) sangat tipis sehingga bahkan di musim panas pun kami hanya bisa bertahan di dalam air selama satu atau dua jam,” kata Kang Doo Gyo, wanita yang menjadi haenyeo dari usia 15 hingga 90-an, kepada Chosun pada Mei 2024 lalu.
Sementara untuk pelampung, para haenyeo menggunakan labu yang dikeringkan dan dilapisi dengan tar.
“Ada labunya menabrak batu dan pecah. Itu situasi yang membahayakan jiwa. Kami juga pernah tertusuk bulu babi dan makhluk berduri lainnya. Kami biasa menyiramkan air seni ke tempat kami tertusuk, dan hebatnya, duri-duri itu akan keluar dengan sendirinya keesokan harinya,” Kang Doo Gyo menambahkan.
Advertisement
Haenyeo Tak Hanya Menyelam, tapi Juga Melawan!
Status sebagai wanita, tak membuat haenyeo abai dengan situasi sosial politik. Bahkan tiga mendiang haenyeo yakni Bu Chun Hwa, Kim Ok Ryeon dan Bu Deok Ryang, dianugerahi gelar Pejuang Kemerdekaan pada 2022 lalu oleh Kementerian Patriot dan Veteran.
Dilansir dari The Korea Times, pada awal tahun 1930-an ketiga wanita yang mulai jadi penyelam sejak usia 9-15 tahun ini, memimpin protes sipil terbesar yang digelar wanita, sebagai perlawanan terhadap pasukan Jepang.
Diikuti oleh sekitar 17.000 peserta, salah satu tujuan gerakan ini adalah mengatasi eksploitasi ekonomi pemerintah kolonial terhadap sumber daya laut dan tenaga kerja.
Hanya saja, dalam aksi ini mereka ditangkap militer Jepang, dan dipenjara sembari menunggu persidangan. Sayang, Bu Deok Ryang meninggal dalam usia 28 tahun di tahanan akibat penyiksaan yang diterimanya.
Jumlah Haenyeo Merosot
Tahun 2016 silam, haenyeo telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Badan PBB tersebut mengakui tradisi ini sebagai identitas budaya unik yang bertahan hingga kini, sekaligus praktik penangkapan hasil laut yang ramah lingkungan.
Namun bukan hal mudah untuk menjadi seorang haenyeo. Dibutuhkan kemampuan fisik dan mental yang jelas bukan hal sepele. Jumlah haenyeo pun terus merosot.
UNESCO mencatat, jumlah haenyeo pernah mencapai 15 ribu-20 ribu penyelam, tapi kini hanya tersisa sekitar 3.200 hingga 3.300. Sebagian bahkan sudah berusia senja.
Semoga tradisi unik ini tetap bertahan, ya!
Advertisement