Liputan6.com, Batu - Dahulu, Kota Batu dikenal sebagai Kota Apel karena kota salah satu penghasil apel terbesar di Indonesia. Namun, komoditas ini tak lagi menjadi favorit bagi para petani di Batu. Sebab, selama ini kurangnya upaya dari Pemerintah Kota Batu untuk mengembangkan pertanian apel.
Pengusaha muda sekaligus pemilik Pabrik Apel Celup di Kota Batu, Alfredo Dhilan mengakui petani apel di Kota Batu mulai banyak berkurang. Ini karena tidak ada upaya pemerintah setempat untuk mengembangkan komoditas apel yang sejak lama menjadi ikon kota ini.
Advertisement
"Saya terkadang gemas oleh narasi yang dibangun pemerintah saat ini yang mengatakan bagaimana caranya mempertahankan apel. Karena narasi yang pas bukan mempertahankan, tapi mengembangkan pertanian apel dan olahan buah yang seharusnya menjadi keunggulan Kota Batu," kata Alfredo, Senin 4 November 2024.
Menurut politikus muda Partai Golkar Batu ini, pemerintah harus membuka mata bahwa dunia pertanian sudah selayaknya dipandang sebagai sebagai industri. Sehingga ketika bicara soal industri, para petani di Batu harus belajar tentang masalah HPP atau harga pokok produksi. Hingga turunan dari buah apel itu sendiri.
Karena sudah menjadi industri, ada beberapa faktor yang memengaruhi. Misalnya sarana dan prasarana (sarpras), lebih spesifik soal infrastruktur. Pasalnya, di Kota Batu masih banyak jalan-jalan ke kebun-kebun yang masih tanah.
Dengan kondisi akses menuju dan dari kebun masih seperti itu, kata Edo, ini biaya. Karena untuk proses panen misalnya, akses ke dan dari kebun butuh kendaraan untuk mengangkutnya, atau tenaga manusia untuk membawanya ke bawah.
"Kalau hujan, mobil tidak bisa lewat karena becek. Sehingga ketika panen, para petani harus memanggul dari atas (kebun) ke bawah. Itu kan cost buat petani. Ironisnya, kondisi ini bukan hanya di kebun saya tapi juga terjadi di banyak lokasi kebun lainnya," tutur Alfredo.
Sementara itu menurut Calon Wali Kota Batu nomor urut 2, Firhando Gumelar, sejak awal ia sudah memetakan masalah pertanian di Kota Batu, khususnya komoditas apel. Salah satu programnya adalah meningkatkan hasil produksi para petani apel ini, sehingga nilai jual apel dari Kota Batu bisa meningkat.
Dengan adanya curhatan dari Alfredo terkait petani dan komoditas apel, ia yakin jika ada niat yang benar, maka pertanian di Kota Batu bisa dikelola dengan baik, ditata dengan benar, diatur dengan regulasi yang sesuai, dan dipastikan hasil bumi Kota Batu akan naik harga jualnya. Apalagi jika hasil bumi itu dilakukan lagi produksi turunan.
"Harus ada tangan pemerintah yang ikut serta. Baik memberikan pendidikan industri, membuatkan iklim industri, hingga turut serta dalam permodalan atau membangunkan pabrik industri yang bisa digunakan oleh rakyat," katanya.
Ia mengatakan, dalam visi misinya, ia memiliki program khusus untuk pertanian yakni Layanan Tani Satu Atap dan juga Batu Agribisnis Center.
Dua program itu memang ia telurkan khusus mengangkat derajat para petani di Kota Batu. Agar Kota Batu kembali dikenal sebagai kota pertanian yang lebih berkualitas dan berdaya saing global.
Baginya, sebagai negara agraris, sudah seharusnya Indonesia itu fokus dalam pengembangan industri pertanian. Jangan sampai kalah dengan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam yang bisa mengembangkan pertaniannya dengan baik.
Padahal menurut sejarah, Thailand dulu belajar pengembangan pertanian dari orang-orang Jawa. Makanya saat ini di Thailand banyak kampung Jawa yang ditinggali orang-orang Jawa sejak ratusan tahun lalu.
"Kita tidak boleh kalah dengan Thailand yang dulu belajarnya dari leluhur kita di Pulau Jawa. Sekarang kok kita yang tertinggal, kita dulu GURUnya. Nah ketertinggalan itu harus dikejar. Paslon GURU ingin membawa Kota Batu ini bisa bersaing. Jangan lagi ada cerita tomat di petani hanya dihargai Rp 500 per kilogram," ia menambahkan.