Aliansi Rusia-Belarusia-China Dinilai Bakal Jadi Penyeimbang Kekuatan Barat

Guru Besar ilmu Hubungan Internasional dari Universitas St.Petersburg, Connie Bakrie, menyatakan perkembangan keamanan global yang makin menuju pada multipolaritas membutuhkan kekuatan seimbang untuk menciptakan stabilitas.

oleh Aries Setiawan diperbarui 05 Nov 2024, 07:27 WIB
Pengamat militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie saat bertemu dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. (Sumber Foto: Instagram Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad).

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar ilmu Hubungan Internasional dari Universitas St.Petersburg, Connie Bakrie, menyatakan perkembangan keamanan global yang makin menuju pada multipolaritas membutuhkan kekuatan seimbang untuk menciptakan stabilitas.

"Aliansi Rusia-Belarusia-China mewakili kekuatan yang tangguh untuk stabilitas regional dan keseimbangan kekuatan global," kata Connie Bakrie dalam keterangannya, Senin (4/11/2024).

Connie menyatakan pandangannya itu disampaikan juga ketika mengikuti Konferensi Internasional tentang Keamanan Eurasia, yang berlangsung di Minsk, Belarusia, pekan lalu.

Konferensi Keamanan Eurasia itu digelar selama 2 hari, yaitu 31 Oktober sampai 1 November 2024. Konferensi tersebut dihadiri oleh perwakilan pejabat politik, keamanan, pakar dan juga analis isu pertahanan keamanan dari sekitar 30 negara.

Tujuan dari digelarnya konferensi tersebut adalah untuk mengadakan diskusi yang lebih intensif mengenai prospek masa depan keamanan di kawasan Eurasia, khususnya dalam konteks perkembangan keamanan global yang dirasa sedang mengalami krisis akibat kontradiksi politik dan militer antar negara-negara kunci dunia. Konferensi ini juga diharapkan bisa menjadi jembatan komunikasi bagi negara-negara tersebut.

Menurut Connie Bakrie, gabungan kemampuan militer, teknologi canggih, dan posisi strategis dari Rusia, Belarusia, China bisa menciptakan front yang tangguh dan solid serta mampu menantang dominasi Barat.

"Hubungan yang mendalam dengan wilayah lain di Asia, membentuk kembali dinamika strategis kawasan dan sekitarnya," kata Connie.

Lebih lanjut, analis pertahanan militer dan intelijen itu menjelaskan bahwa saat ini ada pergeseran paradigma tatanan dunia, dari corak monosentrisme yang didominasi oleh kekuatan Barat pascaperang dingin, menjadi ke multipolar yang muncul dari kebangkitan China, Rusia, dan negara-negara lain.

Oleh karena itu, pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana cara untuk meminimalkan risiko keamanan di tengah transisi tatanan dunia yang semakin intensif tersebut.

"Bagaimana menghidupkan kembali diplomasi ketika semua pihak fokus pada penguatan militer untuk menciptakan deterrence effect?" katanya.


Fungsi PBB Sebagai Organisasi Keamanan Dunia Dipertanyakan

Ia juga menyoroti bahwa aliansi keamanan yang ada di dunia ini bisa dipertanyakan, apakah menjadi pembawa perdamaian yang agresif atau penjaga keamanan yang sesungguhnya.

"Dapatkah PBB dan organisasi keamanan regional kembali berfungsi sebagaimana mestinya?" kata Connie.

Peran Rusia yang cukup penting di kawasan Eurasia itu pun menjadi perhatian, agar tidak menjadi ancaman baru bagi keamanan dunia dan menenangkan negara-negara tetangganya.

"Perlu ada rumusan agar terwujud keseimbangan antara menciptakan kekuatan militer dengan daya 'deterrence' dan menjamin keamanan bagi negara-negara sekutunya," pungkas Connie.

 

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya