Jelang Puncak Pilpres Amerika 2024, Warga AS Juga Diterpa Hoaks dan Disinformasi

Teknologi kecerdasan buatan membuat publik semakin sulit membedakan disinformasi.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 05 Nov 2024, 14:00 WIB
Ilustrasi Pilpres AS. (Liputan6.com/ Trie Yasni)

Liputan6.com, Washington - Menjelang pemilihan presiden (pilpres), warga Amerika Serikat (AS) ternyata juga diterpa dengan informasi palsu atau hoaks yang tersebar secara daring.

Kebohongan tentang berbagai isu, mulai dari kecurangan pemilu hingga cerita palsu tentang para kandidat, telah menyebar dengan cepat di media sosial, yang sering kali diperkuat oleh perangkat Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

"Ini masalah besar. Hampir 60 persen warga AS mengatakan mereka tidak tahu apa yang harus dipercayai tentang pemilu," kata Carah Ong Whaley, wakil presiden perlindungan pemilu di Issue One, sebuah kelompok pengawas pemilu nirlaba, seperti dikutip CNA, Selasa (5/11/2024).

Satu video yang dibagikan secara luas memperlihatkan surat suara Pemilu AS yang diserahkan diduga dirobek di negara bagian Pennsylvania. Badan intelijen AS menyatakan video itu palsu, dengan mengatakan bahwa itu adalah hasil kerja propagandis Rusia.

Washington menuduh aktor asing berusaha mengganggu pemungutan suara dengan menyebarkan klaim palsu, dengan badan intelijen secara khusus menyebut Rusia, Iran, dan China atas kampanye pengaruh pemilu.

Perubahan besar pada lanskap media sosial telah memungkinkan disinformasi menyebar lebih mudah, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa disinformasi dapat memainkan peran penting dalam Pilpres AS.


Sulit Dibedakan

Amerika Serikat (AS) akan menggelar pemilihan presiden pada Selasa 5 November 2024 waktu setempat. (Allison Joyce/AFP)

Sejak Pilpres AS 2020, perusahaan termasuk Meta – induk dari Facebook dan Instagram – telah mengambil langkah mundur besar dari upaya memoderasi konten.

Tanpa kewajiban hukum untuk melakukannya di AS, dan menghadapi tekanan politik dari kedua belah pihak, banyak perusahaan memutuskan bahwa hal itu tidak sepadan.

Justin Buchler, seorang profesor madya ilmu politik di Case Western Reserve University, mengatakan platform daring dapat kesulitan untuk membedakan kebenaran dari kepalsuan.

"Ketika kita menghadapi dilema semacam itu, masalah yang dihadapi perusahaan media sosial adalah jika mereka mulai melabeli suatu informasi sebagai misinformasi dan disinformasi, dan membatasinya dengan cara tertentu - apa yang terjadi jika klaim itu ternyata benar?" tanyanya.

"Sulit untuk mengatakan berapa banyak suara yang dipengaruhi oleh misinformasi atau disinformasi. Namun dalam pemilu yang ketat – seperti pemilu 2024 – pada prinsipnya, bahkan sejumlah kecil suara dapat menentukan hasil."


Disinformasi Menyebar dengan Mudah

Perlengkapan pemilu dimasukkan ke dalam tenda pemungutan suara yang didirikan sehari sebelum pemilihan presiden AS, pada 4 November 2024 di Burnsville, North Carolina. (Allison Joyce/AFP)

Para ahli mengatakan bahwa begitu disinformasi tersebar – apakah tujuannya adalah untuk mendukung kandidat atau sekadar untuk menabur kekacauan – disinformasi dapat dengan mudah menyebar secara organik.

Para peneliti mengatakan bahwa informasi palsu di media sosial, khususnya Facebook, memainkan peran penting dalam menyebarkan kebohongan yang menyebabkan kerusuhan dengan kekerasan pada 6 Januari 2021.

Pada hari itu, pendukung setia presiden saat itu – dan calon dari Partai Republik saat ini – Donald Trump menyerbu Capitol untuk mencegah Joe Biden menjabat, karena meyakini bahwa hasil jajak pendapat itu curang.

Infografis Trump Vs Biden Klaim Kemenangan Pemilu AS 2020 (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya