Tolak Perhitungan Upah Minimum Pemerintah, Buruh: Hormati Putusan MK!

Putusan MK sebelumnya menyatakan bahwa beberapa norma hukum terkait pengupahan tidak sesuai dengan konstitusi dan harus dicabut. Karena itu, kelompok buruh mendesak agar setiap aturan turunan, termasuk PP Nomor 51 Tahun 2023 juga tidak lagi diberlakukan.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 05 Nov 2024, 10:15 WIB
Ratusan karangan bunga dari serikat buruh memenuhi Gedung Mabes Polri dan Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Sejak pagi ratusan karangan bunga berdatangan ke Mabes Polri dari berbagai serikat buruh dari seluruh Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Kelompok buruh yang terkumpul dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menentang rumusan upah minimum, yang bakal tersusun dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tentang pengupahan.

Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan, pemerintah perlu memastikan kebijakan pengupahan selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan tetap mengedepankan keadilan bagi buruh.

"Permenaker tentang upah minimum saat ini dalam tahap penyusunan. Namun sayangnya, ada indikasi kuat bahwa proses tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut pasal-pasal terkait pengupahan dalam Omnibus Law atau UU Cipta Kerja," ungkapnya, Selasa (5/11/2024).

Putusan MK sebelumnya menyatakan bahwa beberapa norma hukum terkait pengupahan tidak sesuai dengan konstitusi dan harus dicabut. Karena itu, kelompok buruh mendesak agar setiap aturan turunan, termasuk PP Nomor 51 Tahun 2023 juga tidak lagi diberlakukan.

Iqbal menyatakan, pemerintah wajib mematuhi keputusan MK terkait pencabutan 21 norma hukum. Termasuk ketentuan pengupahan yang diatur dalam pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku. "Putusan MK tidak dapat ditafsirkan secara sepihak. Segala aturan yang didasarkan pada norma yang telah dicabut harus dihentikan," pintanya.

Said Iqbal juga mengkritik metode penyusunan Permenaker, lantaran dinilai tidak memberikan ruang diskusi yang substansial bagi perwakilan buruh untuk bernegosiasi. Ia juga mengkritisi formula perhitungan upah minimum yang disebut menggunakan batas atas dan batas bawah dengan indeks tertentu. Formula ini dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

"Kami menolak penggunaan formula alpha atau indeks tertentu dalam perhitungan upah minimum yang tidak memiliki dasar undang-undang," tegasnya. Ia lantas meminta agar Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terlibat dalam pembuatan formula upah, yang dianggap dapat mengurangi daya beli buruh.

 


Kebutuhan Hidup Layak

Ribuan buruh dari berbagai elemen melakukan longmarch menuju depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (29/9). Dalam aksinya mereka menolak Tax Amnesty serta menaikan upah minumum provinsi (UMP) sebesar Rp650 ribu per bulan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Buruh juga menyoroti perubahan metode penentuan kebutuhan hidup layak (KHL) yang kini menggunakan Survei Biaya Hidup (SBH) oleh BPS. Iqbal menyebut metode SBH seharusnya tidak menggantikan KHL dalam menentukan upah minimum. Lantaran SBH lebih relevan untuk kebutuhan perusahaan, bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar buruh.

Lebih lanjut, ia pun menuntut agar gubernur tidak lagi memiliki wewenang untuk membatalkan rekomendasi kenaikan upah minimum yang diajukan oleh bupati atau wali kota.

"Keputusan MK sudah sangat jelas, dewan pengupahan daerah wajib dilibatkan aktif dalam penetapan upah minimum, dan gubernur tidak boleh lagi membatalkan usulan daerah," pungkas dia.


Pengusaha Minta Penetapan UMP 2025 Tak Pakai Putusan MK

Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam menilai Pemerintah Indonesia telah berhasil merumuskan formula penghitungan UMP yang adil bagi pekerja dan pengusaha seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. PP tersebut merupakan revisi dari dua aturan terdahulu yaitu PP Nomor 36 Tahun 2021 dan PP Nomor 78 Tahun 2015.

Sebelumya, penetapan upah minimum 2025 tinggal menghitung hari. Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta rumus penetapannya menggunakan ketentuan lama.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam turut menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sektor ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya, adalah penetapan upah minimum yang mencakup variabel kebutuhan hidup layak (KHL). Bob bersikukuh, penetapan UMP 2025 sepatutnya masih menggunakan rumus yang sudah ada.

"Namun khusus terkait dengan proses penetapan Upah Minimum untuk tahun 2025 yang sudah diambang pintu, Apindo berharap agar proses penetapan upah minimum untuk tahun 2025 masih tetap mengikuti ketentuan yang ada sebelum terbitnya putusan MK No. 168/PUU-XX1/2023 tanggal 31 Oktober 2024," ujar Bob dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Sabtu (2/11/2024).

Dia menilai, jika penetapannya dilakukan mengikuti keputusan MK, akan menimbulkan kerumitan. Keadaan tersebut dikatakan bisa terjadi baik di tingkat daerah maupun perusahaan.

"Hal ini mengingat kerumitan yang akan terjadi di seluruh daerah bahkan di tingkat perusahaan apabila putusan MK terkait tentang upah minimum langsung diberlakukan dan menjadi acuan penetapan upah minimum tahun 2025," urainya.

Bob menegaskan harapannya dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan ke depan. Dia meminta keputusan-keputusan yang diambil agar mempertimbangkan situasi ekonomi makro yang dihadapi dunia usaha.

"Kebijakan yang adaptif dan proporsional akan memberikan dampak positif tidak hanya bagi pekerja, namun juga bagi dunia usaha secara keseluruhan, untuk mempertahankan daya saing Indonesia di kancah internasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, utamanya untuk penciptaan kesempatan kerja yang lebih luas," pungkasnya.


Pengusaha Khawatir Investasi Terganggu

Suasana di luar Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat saat berlangsungnya sidang sengketa Pilpres 2024. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) turut menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Cipta Kerja. Pengabulan sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja dikhawatirkan mengganggu iklim investasi di Indonesia.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam menilai putusan MK yang membatalakn sejumlah pasal sektor ketenagakerjaan bisa berpengaruh pada ketidakpastian regulasi. Pada ujungnya, mengganggu iklim investasi.

"Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa ketentuan kunci UU Cipta Kerja, hal ini dapat memicu ketidakpastian regulasi yang berdampak pada iklim investasi," kata Bob dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Jumat (1/11/2024).

Menurutnya, stabilitas regulasi dan kepastian hukum adalah faktor kunci bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang. Tanpa kepastian ini, Indonesia berisiko menurunkan daya tariknya sebagai tujuan investasi.

"Pada gilirannya dapat memperlambat aliran modal baru dan bahkan memengaruhi ketahanan investasi yang sudah ada," ucapnya.

Bob mengatakan, perubahan 21 pasal yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan membuat dunia usaha mengukur kembali dampak yang ada terhadap kondisi dan perencanaan perusahaan ke depan, terutama yang berpotensi meningkatkan beban operasional.

Dia menilai, dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, peningkatan beban biaya ini akan berdampak pada kemampuan perusahaan untuk menjaga daya saing.

"Beban operasional yang lebih tinggi akan menekan stabilitas produksi, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur, yang mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar dan sensitif terhadap perubahan biaya tenaga kerja," bebernya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya