Liputan6.com, Washington, DC - Amerika Serikat (AS) tiba di momen penentuan masa depannya pada 5 November 2024; pemilu presiden (Pilpres).
Ajang tersebut mempertemukan pasangan Donald Trump (78) dan JD Vance (40) dari Partai Republik melawan Kamala Harris (60) dan Tim Walz (60) dari Partai Demokrat.
Advertisement
Dalam berbagai survei Pilpres AS, Trump dan Kamala bersaing ketat. Sebut saja survei teranyar AtlasIntel pada 3-4 November, di mana Trump meraih 50 persen, sementara Kamala 49 persen. NY Times menyebutkan angkanya 49 persen bagi Kamala dan 48 persen bagi Trump.
Survei final NBC News bahkan menghasilkan Trump dan Kamala dalam posisi seri, yakni 49 persen.
"Dalam pemilu AS ini sangat berbeda karena polling bisa jadi tidak menggambarkan keadaan nyata. Nanti kemenangan tidak ditentukan oleh jumlah suara terbanyak, tapi ditentukan oleh jumlah electoral vote, electoral college yang didapatkan makanya kalau potensi kemenangan masih 50-50. Tetapi, di beberapa ahli polling di AS itu mengatakan potensinya dua, either menang sangat tipis atau menang sangat besar sekali, baik Donald Trump maupun Kamala Harris," tutur dosen Universitas Airlangga Agastya Wardhana yang akrab disapa Agas saat dihubungi Liputan6.com, pada Selasa (5/11).
"Ada beberapa orang yang mengatakan, dengan semakin mepet ini, margin yang semakin tipis ini, maka ada kemungkinan besar baik Trump maupun Kamala menang besar besok. Tapi, beberapa pollster ada yang sudah memprediksi bahwa ini Kamala yang akan menang karena trennya itu mengarah ke sana, beberapa indikasi survei. Tapi, it remains to be seen."
Senada, Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia Suzie Sudarman juga menuturkan bahwa potensi kemenangan Kamala Harris jauh lebih tinggi.
"Dia memilih menolak usulan perubahan budaya politik AS menjadi lebih otoriter dan membatasi hak-hak perempuan. Kalangan perempuan sedang melakukan perlawanan dan hal ini perlu di-highlight karena akan menginspirasi gerakan perempuan di seluruh dunia untuk tetap tidak putus asa dalam memperjuangkan hak-hak asasi," ungkap Suzie kepada Liputan6.com.
"Yang paling enggan memilih perempuan adalah mereka yang dipengaruhi budaya patriarki dalam sistem kapitalisme dan juga pemilih kulit."
Sementara itu, pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Rochdi Mohan Nazala atau yang akrab disapa Awang menilai bahwa Pilpres AS 2024 mengulang Pilpres AS 2016 saat Hillary Clinton melawan Trump.
"Isu-isu yang berkembang pun tak jauh beda, terutama soal imigran dan jaminan sosial, seperti kesehatan. Bagi pemilih perempuan, terutama mereka yang progresif/aktivis HAM, memilih Kamala jauh lebih baik daripada Trump yang diidentikkan sebagai simbol patriarki dalam masyarakat, serta tidak memiliki kepedulian atas isu-isu hak asasi manusia," terang Awang saat dimintai pendapatnya oleh Liputan6.com.
Di wilayah-wilayah yang memiliki populasi imigran besar, sebut Awang, data-data menunjukkan Kamala memiliki hasil polling yang bagus.
"Sebaliknya, di negara bagian yang jumlah imigrannya kecil, Trump memiliki keunggulan polling. Namun, Trump memiliki potensi keunggulan dalam pemilihan hari ini meski dengan margin yang relatif kecil. Trump memiliki keunggulan dari pemilih kulit putih yang cenderung enggan memilih presiden dari kulit berwarna sepenuhnya dan ditambah lagi seorang perempuan. Hal ini yang membedakan antara Kamala dan Barack Obama.
"Patut dicatat, kondisi ekonomi AS tidaklah baik-baik saja dengan inflasi yang tinggi. Trump diidentikkan dengan pro pengusaha (liberal), sementara Kamala cenderung pro pekerja (subsidi). Setelah empat tahun pemerintahan Joe Biden dengan pendekatan pro subsidi gagal memperbaiki kondisi ekonomi, kemungkinan pemilih akan rasional untuk mencoba resep Trump."
Siapapun pemenangnya, Pilpres AS 2024 akan tetap mencatat sejarah. Pasalnya, jika terpilih, Kamala akan menjadi presiden perempuan pertama AS.
Sementara bila Trump yang menang, dia akan menjadi presiden kedua dalam sejarah AS yang kembali menjabat dalam periode yang tidak berurutan. Yang pertama adalah Grover Cleveland, yang menjabat dua kali di Gedung Putih dari tahun 1885-1889 dan 1893-1897.
Tidak hanya itu, Trump juga akan tercatat sejarah AS sebagai terpidana pertama yang memenangkan pilpres.
Faktor Pendorong Kemenangan
Lebih lanjut, Agas mengungkap kunci kemenangan Kamala dengan mengatakan, "Nate Silver, salah satu pollster ternama di Amerika Serikat, mengatakan bahwa latino voters itu menjadi penentu sekarang. Salah satu indikasi bahwa Kamala Harris menang itu nanti dari latino voters. Terakhir, 60 persen pro-Kamala, sekitar 30 persen pro-Trump. Itu salah satu kunci kemenangan Kamala Harris," ujarnya.
Namun, menurut Agas faktor pendorong kemenangan Kamala yang terbesar adalah turnout voter.
"Turnout voter dalam artian semakin banyak orang yang memilih itu sangat menguntungkan Kamala Harris karena voter Trump itu sekarang sudah siap, sudah baseline yang dari dulu selalu voting 2016, 2020 ... Kelompok-kelompok termarjinalkan, kelompok-kelompok yang kemudian tidak mendapatkan exposure dari pemilu, itu kebanyakan memilih Kamala Harris, seperti minorities, people of color, immigrants, itu kebanyakan voting-nya ke Harris. Sementara Trump strateginya berbeda, dia fokus ke wilayah-wilayah yang dia menangkan di 2016. Dia coba rebut lagi dari Biden di 2020 makanya dia fokus ke beberapa negara bagian ... dalam beberapa hari terakhir. So, in summary, Kamala mengandalkan turnout voter yang besar, latino voters, minorities, people of color, sementara kalau Trump faktor kemenangannya adalah keberhasilan mengambil (suara) negara bagian-negara bagian yang dia menangkan di 2016, seperti Pennsylvania, North Carolina, Wisconsin, dan Michigan."
Di lain sisi, Suzie menggarisbawahi penolakan perempuan kalangan konservatif terhadap apa yang ditawarkan Trump.
"Lahir kelompok perempuan Republikan yang membawa semboyan we are voting for me. Semboyan lain adalah country over party. Pengaruh kaum Republikan yang mendukung Kamala telah mampu agak mengurangi tendensi memilih Trump dan dengan megaphone mengutarakan kenyataan bahwa Trump itu tidak cocok untuk menjadi presiden," kata Suzie.
"Ini menjadi semacam gerakan kultural bangsa Amerika yang tadinya hanya mengadakan gerakan karena institusinya berbeda dengan nilai mereka, kini jelas bahwa budaya otoriter yang ditawarkan oleh Trump untuk mengubah budaya demokratis ditolak oleh gerakan senyap kaum perempuan Amerika."
Advertisement
Kaitan Pilpres AS dengan Indonesia?
Awang mencatat sejumlah poin dari Pilpres AS 2024.
"Pertama, isu-isu tradisional semacam warna kulit, agama serta jenis kelamin tetaplah penting. Isu semacam ini masih cukup penting di negara seperti AS. Kedua, partai politik dituntut untuk dapat merefleksikan isu-isu yang berkembang di masyarakat baik itu tradisional ataupun kontemporer seperti ekonomi dan lain-lain. Di AS, presiden memiliki kekuasaan yang besar untuk urusan luar negeri. Sedang ke dalam negeri, kekuasaannya mendapat kontrol yang ketat dari partai melalui parlemen dan senat. Kegagalan pemerintahan Biden untuk memperbaiki performa ekonomi dapat memberikan momentum bagi pemilih rasional untuk menghukum Demokrat dengan memilih Trump dalam pilpres ini," beber Awang.
"Ketiga, isu-isu nasionalistik dengan menggunakan atribut-atribut militer justru akan menjadi bumerang. Oleh karenanya, baik kubu Kamala ataupun Trump di minggu-minggu terakhir kampanye tidak lagi menjadikan latar belakang militer masing-masing wakil mereka sebagai bahan kampanye. Nasionalisme diterjemahkan oleh masing-masing kandidat dalam kebijakan ekonomi, sosial, dan luar negeri yang jelas. Tidak hanya jargon-jargon."
Awang meyakini bahwa baik Trump maupun Kamala memiliki keterbatasan dalam opsi hubungan internasional dengan Indonesia.
"Semakin kuatnya sentimen anti-China di AS membuat mereka tidak dapat menyampingkan fakta bahwa Indonesia, setidaknya di era pemerintahan sebelum Prabowo, lebih dekat dengan China. Di sektor ekonomi, Trump akan pragmatis dan sedikit memberikan perhatian terhadap nilai-nilai semacam hak asasi manusia. Kerja sama ekonomi dapat berkembang, namun tentu saja tidak di sektor-sektor strategis di mana parlemen AS jauh-jauh hari sudah menunjukkan keengganannya seperti impor nikel karena perusahaan-perusahan nikel mayoritas dimiliki atau berafiliasi dengan perusahaan atau pemerintahan China," kata Awang.
"Harris, meski memiliki kepedulian yang tinggi atas isu-isu kontemporer seperti lingkungan dan hak asasi manusia, juga akan lebih sedikit pragmatis dengan prioritas membendung pengaruh lebih besar China di ekonomi Asia Tenggara, terutama Indonesia. Di sektor politik keamanan, AS akan mencoba menarik Indonesia kembali dalam orbitnya. Meski Probowo memiliki kedekatan kultural dengan AS, namun kemampuan Prabowo untuk menjaga jarak dengan China masih disangsikan oleh mayoritas politikus AS. Dalam konteks ini, baik Trump ataupun Harris tetap akan melihat Indonesia sebagai partner strategis, namun prioritas di Asia Tenggara tetap akan diberikan kepada negara-negara yang 10 tahun terakhir menunjukkan resistensi terhadap China jauh lebih jelas, semacam Vietnam, Malaysia, dan Filipina."
Tahapan Pilpres AS
Pilpres AS berbeda dengan banyak negara lain karena menggunakan Electoral College alias bukan one man one vote. Berikut penjelasan sederhana tentang apa dan bagaimana Electoral College bekerja.
Electoral College adalah lembaga yang terdiri dari 538 electors (pemilih) yang bertugas memilih presiden dan wakil presiden AS. Jumlah electors tersebut berasal dari total anggota Kongres, yaitu 435 perwakilan di DPR, 100 senator di Senat, plus tiga electors dari Distrik Columbia.
Setiap negara bagian diwakili electors dengan jumlah yang sama dengan perwakilan mereka di Kongres. Sebagai contoh, jika sebuah negara bagian memiliki dua senator dan delapan perwakilan maka mereka memiliki 10 suara. Calon presiden perlu mendapatkan mayoritas suara, yaitu setidaknya 270, untuk menang pilpres.
Ketika warga AS datang ke tempat pemungutan suara pada 5 November, mereka sebenarnya tidak hanya mencoblos calon presiden, namun juga electors.
Nah, calon presiden yang meraih suara terbanyak di sebuah negara bagian lazimnya mendapatkan semua suara electors negara bagian tersebut atau istilahnya winner takes all, kecuali di Maine dan Nebraska yang membaginya secara proporsional.
Dalam kebanyakan kasus, yang diumumkan usai pemungutan suara pada 5 November adalah pemenang yang diproyeksikan. Pemungutan suara Electoral College yang sebenarnya berlangsung pada Desember ketika para electors bertemu di negara bagian masing-masing.
Hasil pemungutan suara electors dihitung dalam sesi gabungan Kongres pada tanggal 6 Januari tahun berikutnya. Wakil Presiden AS, yang juga menjabat sebagai Presiden Senat, memimpin penghitungan tersebut dan mengumumkan hasilnya. Presiden Senat kemudian menyatakan siapa yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden AS.
Presiden dan wakil presiden terpilih akan mengucapkan sumpah jabatan pada tanggal 20 Januari.
Mengutip Arsip Nasional AS, sistem Electoral College dirancang oleh para pendiri AS sebagai kompromi antara pemilihan presiden oleh Kongres dan pemilihan langsung oleh rakyat. Tujuan utamanya adalah menyeimbangkan kepentingan negara bagian besar dan kecil, serta memberikan setiap negara bagian suara yang proporsional dalam pilpres.
Electoral College kerap menjadi sorotan, terutama ketika hasilnya berbeda dengan suara rakyat atau populer vote, seperti yang terjadi dalam Pilpres AS 2016, 2000, dan tiga kali pada tahun 1800-an. Kritikus berpendapat bahwa mekanisme Electoral College tidak sepenuhnya demokratis karena memungkinkan seorang kandidat memenangkan kursi kepresidenan tanpa memenangkan suara rakyat secara keseluruhan. Namun, para pendukungnya meyakini bahwa Electoral College melindungi kepentingan negara bagian kecil dan menjaga keseimbangan federal.
Skenario Tidak Biasa dalam Electoral College
Salah satu skenario yang dapat terjadi adalah ketika seorang calon presiden memenangkan suara electors, namun kalah dalam popular vote. Dalam situasi ini, meskipun seorang calon presiden mendapatkan lebih banyak suara rakyat secara keseluruhan, calon lain yang memenangkan suara electors lebih banyak akan menjadi presiden.
Selain itu, ada kemungkinan lain di mana tidak ada calon presiden yang meraih mayoritas suara. Jika skenario ini terjadi, pemilihan presiden akan diputuskan oleh DPR.
Sejarah mencatat bahwa hal ini pernah terjadi dua kali. Pertama, setelah pemilihan presiden tahun 1800, di mana DPR memilih Thomas Jefferson sebagai presiden. Kedua, setelah pilpres tahun 1824, ketika DPR memilih John Quincy Adams.
Advertisement