Hipotiroidisme Kongenital Picu Disabilitas Intelektual, Skrining Sejak Lahir Bisa Ubah Hidup Anak

Hipotiroid kongenital adalah kondisi kurangnya atau tidak adanya hormon tiroid sejak dalam kandungan yang bisa picu disabilitas intelektual jika tak segera ditangani.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 06 Nov 2024, 16:26 WIB
Direktur Eksekutif International Pediatric Association (IPA), Prof. Aman Bhakti Pulungan soal hipotiroidisme kongenital, Jakarta (5/11/2024).

Liputan6.com, Jakarta - Gangguan tiroid seperti hipotiroidisme kongenital dapat memicu disabilitas intelektual jika tidak ditangani sejak dini.

Hipotiroid kongenital adalah kondisi kurangnya atau tidak adanya hormon tiroid sejak dalam kandungan.

Menurut Direktur Eksekutif International Pediatric Association (IPA), Prof. Aman Bhakti Pulungan hipotiroidisme kongenital dapat menyebabkan gangguan perkembangan mental dan fisik yang serius jika tidak terdeteksi sejak dini.

“Oleh karena itu, program skrining bayi baru lahir adalah kunci untuk penanganan yang efektif. Saat ini, Indonesia tengah mengoptimalkan program nasional Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) pada bayi baru lahir guna mencegah potensi beban keluarga pasien dan negara yang muncul akibat dampak dari disabilitas intelektual,” kata Aman dalam Peluncuran White Paper Tiroid bersama Merck di Jakarta, Selasa (5/11/2024).

Tanpa skrining bayi baru lahir, akan ada lebih kurang 32.000 anak Indonesia dengan hipotiroid kongenital yang tidak terobati setiap tahunnya. Sehingga, potensi terjadi disabilitas intelektual sangat tinggi.

Aman setuju bahwa tidak semua penyakit bisa dicegah, tapi skrining bayi baru lahir dapat mengubah hidup anak. Dia mencontohkan, pasien hipotiroid kongenital yang tidak diskrining sejak lahir akan memiliki kualitas hidup yang berbeda dengan pasien yang diskrining dan ditangani sejak dini.


Anak yang Tak Ditangani Sejak Dini Cenderung Miliki IQ Rendah

Beberapa ciri yang ditunjukkan oleh pasien hipotiroid kongenital tanpa skrining sejak lahir adalah:

  • Perkembangan terlambat.
  • Sulit berbicara.
  • Lebih banyak main ponsel dan menonton TV.
  • Tinggi badan 124cm, berat badan 46kg atau di bawah standar sesuai usia.
  • Usia 20 tahun dengan IQ kurang dari 70 atau di bawah rata-rata.

Ciri-ciri ini terlihat dari pasien perempuan yang tidak diskrining sejak lahir dan baru memulai terapi setelah terdiagnosis yakni di umur 10 tahun.


Pasien yang Ditangani Sejak Lahir Miliki Kualitas Hidup yang Baik

Sebaliknya, pasien hipotiroid kongenital yang diskrining sejak lahir dan ditangani sejak dini cenderung memiliki kualitas hidup yang baik.

Salah satu pasien ini adalah anak laki-laki umur 9 tahun yang diskrining sejak lahir. Dia mendapat terapi segera setelah terdiagnosis. Anak ini pun tidak menyandang disabilitas intelektual dan mampu berkembang sesuai usianya.

Dia mampu mengikuti pembelajaran di sekolah bahkan berprestasi di bidang akademis dan non akademis.

Tinggi badannya 138cm dan berat badannya 40kg atau sesuai standar usia. Di umur 9 tahun 6 bulan, anak yang tak disebutkan namanya memiliki IQ 127 atau di atas rata-rata.


Skrining Tiroid Gratis

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono soal skrining tiroid, Jakarta (5/11/2024). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan program skrining kesehatan menjadi salah satu tugas yang diberikan oleh Presiden Prabowo saat ini kepada Kementerian Kesehatan.

“Termasuk skrining untuk tiroid. Hingga September 2024, sebanyak 1,7 juta bayi baru lahir telah menjalani skrining hipotiroid kongenital. Skrining ini penting untuk mencegah risiko gangguan tumbuh kembang dan penurunan kecerdasan pada bayi,” kata Dante.

“Oleh karena itu, kami menyambut menyambut baik dukungan Merck atas White Paper Tiroid, yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya skrining tiroid. Semoga white paper ini juga bisa turut berkontribusi dalam upaya identifikasi dan literasi yang lebih baik mengenai kelainan tiroid di Indonesia," tambahnya.

Sementara, Presiden Direktur PT Merck Tbk Evie Yulin, menyampaikan, White Paper “Closing the gap Prioritising thyroid disease in Asia-Pacific” ini disusun untuk meningkatkan kesadaran tentang penyakit tiroid, khususnya hipotiroidisme. Serta dampaknya terhadap kesehatan, kualitas hidup, dan ekonomi masyarakat di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik.

Dengan menghadirkan data dan hasil riset yang komprehensif, dokumen ini bertujuan memberikan dasar ilmiah bagi pembuat kebijakan dalam memahami pentingnya deteksi dini dan skrining penyakit tiroid. Terutama pada kelompok berisiko tinggi seperti ibu hamil dan bayi baru lahir.

“Skrining universal diharapkan dapat mencegah dampak jangka panjang dari penyakit tiroid yang tidak terdiagnosis, sehingga dapat mengurangi beban kesehatan dan ekonomi bagi individu dan masyarakat,” ujar Evie.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya