Liputan6.com, Jakarta Dalam sistem hukum pidana Indonesia, terdapat berbagai jenis delik atau tindak pidana yang dikenal. Salah satu pembagian penting adalah antara delik formil dan delik materil. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang delik formil, pengertiannya, karakteristik, jenis-jenis, serta contoh penerapannya dalam hukum pidana di Indonesia.
Pengertian Delik Formil
Delik formil merupakan salah satu jenis tindak pidana yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Secara sederhana, delik formil dapat didefinisikan sebagai tindak pidana yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang, tanpa mensyaratkan timbulnya akibat tertentu dari perbuatan tersebut.
Dalam delik formil, suatu perbuatan sudah dapat dipidana apabila telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tanpa harus menimbulkan akibat yang dilarang. Fokus utamanya adalah pada dilakukannya perbuatan yang dilarang, bukan pada akibat yang ditimbulkan.
Beberapa karakteristik utama dari delik formil antara lain:
- Menitikberatkan pada dilakukannya perbuatan yang dilarang
- Tidak mensyaratkan timbulnya akibat tertentu
- Selesainya delik cukup dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan
- Lebih mudah pembuktiannya karena tidak perlu membuktikan akibat
Dengan demikian, dalam delik formil yang penting adalah apakah seseorang telah melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak, tanpa perlu mempersoalkan apakah perbuatan tersebut telah menimbulkan akibat tertentu atau tidak.
Advertisement
Perbedaan Delik Formil dan Delik Materil
Untuk lebih memahami konsep delik formil, penting untuk membandingkannya dengan delik materil. Berikut beberapa perbedaan utama antara delik formil dan delik materil:
- Delik formil menitikberatkan pada perbuatan, sedangkan delik materil pada akibat
- Delik formil selesai dengan dilakukannya perbuatan, delik materil selesai jika akibat telah timbul
- Delik formil tidak mensyaratkan timbulnya akibat, delik materil mensyaratkan timbulnya akibat tertentu
- Pembuktian delik formil lebih mudah karena cukup membuktikan perbuatan, delik materil harus membuktikan akibat
- Percobaan pada delik formil sulit dibedakan dengan delik selesai, pada delik materil lebih mudah dibedakan
Pemahaman akan perbedaan ini penting dalam penerapan hukum pidana, terutama terkait pembuktian dan penentuan telah selesainya suatu tindak pidana.
Jenis-Jenis Delik Formil
Delik formil dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan karakteristik khususnya. Beberapa jenis delik formil yang dikenal dalam hukum pidana antara lain:
1. Delik Formil Murni
Delik formil murni adalah delik yang perumusannya hanya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang, tanpa menyebutkan akibat sama sekali. Contohnya adalah delik penghinaan dalam Pasal 310 KUHP.
2. Delik Formil Tidak Murni
Delik formil tidak murni adalah delik yang selain merumuskan perbuatan yang dilarang, juga menyebutkan akibat tertentu, namun akibat tersebut bukan sebagai syarat selesainya delik. Contohnya adalah delik pemalsuan surat dalam Pasal 263 KUHP.
3. Delik Formil Berlanjut
Delik formil berlanjut adalah delik formil yang perbuatannya berlangsung terus-menerus dalam waktu tertentu. Contohnya adalah delik penyekapan dalam Pasal 333 KUHP.
4. Delik Formil Seketika
Delik formil seketika adalah delik formil yang perbuatannya selesai dalam waktu singkat. Contohnya adalah delik pencurian dalam Pasal 362 KUHP.
Pemahaman akan jenis-jenis delik formil ini penting dalam penerapan hukum pidana, terutama terkait penentuan telah selesainya suatu tindak pidana dan pembuktiannya.
Advertisement
Contoh-Contoh Delik Formil dalam KUHP
Untuk lebih memahami konsep delik formil, berikut beberapa contoh delik formil yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
1. Pencurian (Pasal 362 KUHP)
Pasal 362 KUHP berbunyi: "Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah."
Delik pencurian merupakan delik formil karena yang dilarang adalah perbuatan "mengambil barang", tanpa mensyaratkan timbulnya kerugian pada korban. Delik ini telah selesai begitu pelaku mengambil barang, tanpa perlu membuktikan apakah korban telah menderita kerugian atau tidak.
2. Penghinaan (Pasal 310 KUHP)
Pasal 310 ayat (1) KUHP berbunyi: "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Delik penghinaan merupakan delik formil karena yang dilarang adalah perbuatan "menyerang kehormatan atau nama baik", tanpa mensyaratkan timbulnya perasaan terhina pada korban. Delik ini telah selesai begitu pelaku melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.
3. Pemalsuan Surat (Pasal 263 KUHP)
Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi: "Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun."
Meskipun dalam rumusannya disebutkan "dapat menimbulkan kerugian", delik pemalsuan surat tetap merupakan delik formil karena yang dilarang adalah perbuatan "membuat surat palsu atau memalsukan surat". Delik ini telah selesai begitu pelaku membuat surat palsu atau memalsukan surat, tanpa perlu membuktikan apakah telah timbul kerugian atau tidak.
Penerapan Delik Formil dalam Sistem Peradilan Pidana
Pemahaman tentang delik formil memiliki implikasi penting dalam penerapan hukum pidana, terutama dalam sistem peradilan pidana. Beberapa aspek penting terkait penerapan delik formil antara lain:
1. Pembuktian
Dalam pembuktian delik formil, jaksa penuntut umum cukup membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Tidak perlu dibuktikan apakah perbuatan tersebut telah menimbulkan akibat tertentu atau tidak.
Hal ini tentu berbeda dengan pembuktian delik materil, di mana selain harus membuktikan perbuatan, jaksa juga harus membuktikan bahwa perbuatan tersebut telah menimbulkan akibat yang dilarang.
2. Percobaan
Dalam delik formil, sulit untuk membedakan antara percobaan dengan delik selesai. Hal ini karena begitu perbuatan yang dilarang dilakukan, delik tersebut sudah dianggap selesai. Berbeda dengan delik materil di mana percobaan lebih mudah dibedakan dengan delik selesai berdasarkan timbul tidaknya akibat.
3. Penyertaan
Dalam konteks penyertaan (deelneming), delik formil memungkinkan bentuk penyertaan yang lebih luas. Hal ini karena setiap orang yang terlibat dalam perbuatan yang dilarang dapat dianggap sebagai pelaku, tanpa harus membuktikan kontribusinya terhadap akibat yang timbul.
4. Concursus
Dalam hal terjadi perbarengan (concursus), delik formil memungkinkan terjadinya concursus realis yang lebih banyak. Hal ini karena setiap kali perbuatan yang dilarang dilakukan, sudah dapat dianggap sebagai satu delik yang berdiri sendiri.
Pemahaman akan aspek-aspek penerapan delik formil ini penting bagi para penegak hukum, terutama dalam konteks penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di pengadilan.
Advertisement
Kritik dan Perdebatan Seputar Delik Formil
Meskipun konsep delik formil telah lama dikenal dan diterapkan dalam sistem hukum pidana, namun tidak berarti konsep ini bebas dari kritik dan perdebatan. Beberapa kritik dan perdebatan seputar delik formil antara lain:
1. Potensi Overcriminalization
Kritik utama terhadap delik formil adalah potensinya untuk menyebabkan overcriminalization atau kriminalisasi berlebihan. Karena delik formil tidak mensyaratkan timbulnya akibat, maka ada kemungkinan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak merugikan atau membahayakan masyarakat tetap dipidana.
2. Prinsip Ultimum Remedium
Delik formil juga dianggap bertentangan dengan prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana, yang menyatakan bahwa hukum pidana seharusnya menjadi upaya terakhir dalam menyelesaikan masalah sosial. Dengan delik formil, ada kecenderungan untuk terlalu cepat menggunakan instrumen hukum pidana.
3. Keadilan Substantif
Dari perspektif keadilan substantif, delik formil juga mendapat kritik karena dianggap terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan konteks dan akibat nyata dari suatu perbuatan. Ada kemungkinan seseorang dipidana meskipun perbuatannya tidak menimbulkan kerugian atau bahaya nyata bagi masyarakat.
4. Perkembangan Hukum Pidana Modern
Dalam perkembangan hukum pidana modern, ada kecenderungan untuk lebih memperhatikan akibat dan bahaya nyata dari suatu perbuatan, bukan hanya formalitas undang-undang. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang relevansi delik formil dalam konteks hukum pidana kontemporer.
Meskipun demikian, para pendukung delik formil berargumen bahwa konsep ini tetap penting untuk menjamin kepastian hukum dan efektivitas penegakan hukum, terutama untuk jenis-jenis kejahatan tertentu yang sulit dibuktikan akibatnya.
Delik Formil dalam Perspektif Perbandingan Hukum
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang delik formil, penting untuk melihatnya dalam perspektif perbandingan hukum. Berikut beberapa perbandingan penerapan konsep delik formil di berbagai sistem hukum:
1. Sistem Common Law
Dalam sistem common law seperti di Inggris dan Amerika Serikat, konsep yang mirip dengan delik formil dikenal dengan istilah "conduct crimes" atau "per se offenses". Namun, penerapannya tidak sekaku di sistem civil law. Ada kecenderungan untuk tetap mempertimbangkan akibat dan konteks dari suatu perbuatan.
2. Sistem Civil Law Kontinental Eropa
Di negara-negara civil law Eropa seperti Jerman dan Belanda, konsep delik formil (formele delicten) juga dikenal, namun penerapannya lebih fleksibel. Ada kecenderungan untuk mengintegrasikan elemen materil dalam interpretasi delik formil.
3. Sistem Hukum Islam
Dalam hukum pidana Islam, tidak dikenal pembagian delik formil dan materil secara eksplisit. Namun, ada konsep "jarimah" yang mirip dengan delik, di mana beberapa jenis jarimah lebih menekankan pada perbuatan (seperti zina), sementara yang lain lebih menekankan pada akibat.
4. Sistem Hukum Sosialis
Dalam sistem hukum sosialis seperti yang pernah berlaku di Uni Soviet, konsep delik lebih ditekankan pada bahaya sosial (social danger) dari suatu perbuatan, bukan pada formalitas undang-undang. Hal ini membuat pembagian delik formil dan materil menjadi kurang relevan.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun konsep delik formil dikenal di berbagai sistem hukum, penerapan dan interpretasinya dapat bervariasi sesuai dengan konteks dan tradisi hukum masing-masing negara.
Advertisement
Perkembangan Konsep Delik Formil di Indonesia
Konsep delik formil di Indonesia telah mengalami perkembangan sejak masa kolonial Belanda hingga saat ini. Beberapa aspek penting dalam perkembangan konsep delik formil di Indonesia antara lain:
1. Warisan Kolonial
Konsep delik formil di Indonesia awalnya merupakan warisan dari sistem hukum kolonial Belanda. KUHP yang berlaku saat ini, yang merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, masih memuat banyak delik formil.
2. Perkembangan Yurisprudensi
Melalui berbagai putusan pengadilan, konsep delik formil di Indonesia telah mengalami penafsiran dan pengembangan. Beberapa putusan Mahkamah Agung telah memberikan interpretasi yang lebih fleksibel terhadap delik-delik formil.
3. Undang-Undang di Luar KUHP
Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, banyak undang-undang di luar KUHP yang memuat delik-delik baru. Beberapa di antaranya merupakan delik formil, namun ada kecenderungan untuk merumuskan delik yang lebih berorientasi pada akibat.
4. Rancangan KUHP Baru
Dalam Rancangan KUHP baru, ada upaya untuk mereformulasi beberapa delik formil menjadi lebih berorientasi pada akibat. Namun, konsep delik formil tetap dipertahankan untuk jenis-jenis kejahatan tertentu.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa meskipun konsep delik formil masih dipertahankan dalam sistem hukum pidana Indonesia, ada kecenderungan untuk menerapkannya secara lebih fleksibel dan kontekstual.
Tantangan dan Prospek Delik Formil di Era Digital
Perkembangan teknologi dan era digital membawa tantangan baru bagi penerapan konsep delik formil. Beberapa tantangan dan prospek delik formil di era digital antara lain:
1. Kejahatan Siber
Munculnya berbagai bentuk kejahatan siber menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas delik formil dalam menghadapi jenis kejahatan baru ini. Di satu sisi, delik formil dapat memudahkan penegakan hukum karena tidak perlu membuktikan akibat. Namun di sisi lain, ada risiko overcriminalization jika diterapkan secara kaku.
2. Lintas Batas Negara
Karakteristik kejahatan di era digital yang sering bersifat lintas batas negara menimbulkan tantangan dalam penerapan delik formil. Perlu ada harmonisasi hukum antar negara untuk mengatasi hal ini.
3. Bukti Digital
Dalam konteks pembuktian, delik formil di era digital menghadapi tantangan terkait validitas dan reliabilitas bukti digital. Perlu ada pengembangan metode forensik digital yang dapat diterima secara hukum.
4. Perlindungan Privasi
Penerapan delik formil di era digital juga harus mempertimbangkan aspek perlindungan privasi. Ada risiko pelanggaran privasi jika penegakan hukum terlalu agresif dalam mengejar bukti formal tanpa mempertimbangkan konteks.
5. Reformulasi Delik
Ada kemungkinan perlunya reformulasi beberapa delik formil agar lebih sesuai dengan karakteristik kejahatan di era digital. Misalnya, memasukkan unsur "potensi bahaya" dalam rumusan delik.
Menghadapi tantangan-tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual dalam penerapan delik formil di era digital, tanpa mengorbankan kepastian hukum dan efektivitas penegakan hukum.
Advertisement
Kesimpulan
Delik formil merupakan konsep penting dalam hukum pidana yang menitikberatkan pada dilakukannya perbuatan yang dilarang, tanpa mensyaratkan timbulnya akibat tertentu. Meskipun memiliki kelebihan dalam hal kepastian hukum dan kemudahan pembuktian, konsep ini juga menghadapi berbagai kritik dan tantangan, terutama di era digital.
Dalam perkembangannya, penerapan delik formil di Indonesia dan berbagai negara lain cenderung menjadi lebih fleksibel dan kontekstual. Ada upaya untuk mengintegrasikan pertimbangan materil dalam interpretasi delik formil, tanpa menghilangkan esensinya sebagai instrumen penegakan hukum yang efektif.
Ke depan, diperlukan kajian dan diskusi lebih lanjut untuk merumuskan pendekatan yang tepat dalam penerapan delik formil, terutama menghadapi tantangan-tantangan baru di era digital. Harmonisasi antara kepastian hukum, keadilan substantif, dan efektivitas penegakan hukum akan menjadi kunci dalam pengembangan konsep delik formil di masa mendatang.