Liputan6.com, Jakarta - Donald Trump memenangkan pemilihan presiden AS (Pilpres AS) 2024. Laporan yang dirilis pada 1 November oleh JP Morgan Wealth Management mencatat bahwa setelah pemilihan umum, volatilitas di pasar saham mungkin meningkat.
Namun, sejak 1984 hanya ada satu tahun pemilihan umum di mana pasar lebih rendah 12 bulan setelah pemilihan umum—pada tahun 2000, ketika pasar ekuitas bergulat dengan pecahnya gelembung teknologi.
Advertisement
“Sektor teknologi Nasdaq 100 dan S&P 500 dijual dengan harga dua digit, sementara penurunan sektor lain jauh lebih tenang atau dalam beberapa kasus menghasilkan keuntungan,” tulis seorang ahli strategi investasi global Alan Wynne, dikutip dari Fortune, Kamis (7/11/2024).
Namun, ada kemungkinan bahwa inisiatif kebijakan pemenang pemilu dapat berdampak pada pasar modal di tingkat sektor. "Misalnya, jika Partai Republik menang, kemungkinan akan ada dorongan lebih besar untuk pengembangan bahan bakar fosil, sementara kemenangan Partai Demokrat dapat lebih mendorong pengembangan energi terbarukan," kata Rob Haworth, direktur strategi investasi senior untuk US Bank Asset Management.
Trump mewacanakan sejumlah kebijakan proteksionis yang lebih berfokus pada perkembangan ekonomi domestik. Antara lain menurunkan pajak korporasi menjadi 15% dari sebelumnya 21%. Lalu menetapkan bea impor sebesar 10–20% atas seluruh barang impor. Khusus untuk China, bea impor yang akan dikenakan sebesar 60%.
Merespons proyeksi kemenangan Trump tersebut, indeks dolar AS (DXY) menguat 1,32% ke level 104,8 pada Rabu (6/11), sementara yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik 12 bps ke level 4,4%.
Tekan Rupiah
Di Indonesia, kabar kemenangan Trump menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turun 0,6% ke level 15.840 pada hari ini, menandai level terendah dalam 3 bulan terakhir. Sementara itu, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun naik 11 bps ke level 6,85%. Perlu dicatat, pelemahan kurs juga terlihat pada mata uang negara berkembang (emerging market) lain, dengan nilai tukar ringgit Malaysia turun 1,3% dan peso Filipina turun 0,58%.
"Kami melihat kebijakan proteksionis dari Trump berpotensi memperkuat dolar AS. Secara umum, hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap IHSG karena memicu outflow dari investor asing, khususnya terhadap perusahaan yang memiliki eksposur (utang/impor) besar dalam dolar AS," mengutip riset Stockbit Sekuritas.
Dari aspek ekonomi, kebijakan proteksionis dari Trump juga dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat AS merupakan sumber net ekspor terbesar kedua bagi Indonesia.
Pada perdagangan Rabu (6/11), investor asing mencatatkan foreign outflow sebesar 1,1 triliun rupiah, dengan big banks seperti BMRI dengan outflow Rp 583 miliar, BBNI foreign outflow Rp 132 miliar, dan BBRI outflow Rp 480 miliar. Sementara itu, beberapa emiten dengan utang atau impor dolar AS yang besar juga mengalami penurunan, seperti ICBP, PWON, dan MAPI.
"Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat mempersempit ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga. Konsensus Bloomberg mengekspektasikan pemangkasan suku bunga BI sebanyak -25 bps hingga akhir 2024," tulis Tim Riset Stockbit.
Advertisement