Liputan6.com, Jakarta - Ketika Donald Trump kembali menjabat sebagai presiden Amerika Serikat (AS) pada Januari 2025, dia akan merombak politik internasional secara radikal jika dia memang menepati janji-janji kampanyenya.
Dalam kampanyenya, Trump telah sangat jelas bahwa dia percaya perubahan besar pada kebijakan luar negeri AS diperlukan.
Advertisement
"Kita telah diperlakukan dengan sangat buruk, terutama oleh sekutu ... sekutu kita sebenarnya memperlakukan kita lebih buruk daripada pihak yang disebut musuh kita," kata Trump kepada audiens saat kampanye di Wisconsin pada bulan September, seperti dilansir Vox, Jumat (8/11/2024).
"Secara militer, kita melindungi mereka, dan kemudian mereka mengkhianati kita dalam perdagangan. Kita tidak akan membiarkan itu terjadi lagi."
Presiden AS memiliki kebebasan yang luas dalam kebijakan luar negeri dan dapat memasuki atau membatalkan banyak perjanjian internasional secara sepihak.
Pada periode pertamanya, Trump mengejar apa yang dia sebut sebagai kebijakan luar negeri "America First", yang membuatnya menarik AS dari sejumlah perjanjian internasional, meluncurkan perang dagang dengan China, mengganggu sekutu-sekutu secara verbal, dan mencoba negosiasi kompleks dengan beberapa musuh AS.
Dalam masa jabatan keduanya, Trump melontarkan hal serupa.
Dia secara eksplisit mengatakan akan menarik kembali AS dari perjanjian iklim Paris, setelah AS kembali bergabung dengan perjanjian tersebut di bawah Presiden Joe Biden. Dan Trump bisa membatasi kerja sama AS dengan organisasi-organisasi PBB yang dikritiknya, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dia juga telah mengusulkan berbagai tarif baru — pernah menyerukan pajak baru setinggi 20 persen pada mitra dagang AS dan baru-baru ini mengancam akan memberlakukan tarif impor tinggi terhadap Meksiko, mitra dagang terbesar AS untuk barang pada tahun 2024.
Salah satu kemitraan yang akan sulit diubah oleh Trump — setidaknya di atas kertas — adalah perjanjian AS dengan NATO. Piagam NATO tidak memiliki mekanisme penarikan diri.
"Baru-baru ini, Kongres mengesahkan undang-undang yang secara khusus ditujukan untuk NATO yang akan memerlukan persetujuan kongres untuk penarikan dari NATO dalam upaya untuk lebih melindungi keanggotaan AS dalam aliansi tersebut," ungkap peneliti senior dan direktur analisis militer di Defense Priorities Jennifer Kavanagh kepada Vox.
Namun, bahkan dengan langkah pengamanan itu, ada cara bagi pemerintahan periode kedua Trump untuk melemahkan NATO atau aliansi militer AS lainnya, termasuk perjanjian antara AS, Korea Selatan, dan Jepang yang bertujuan untuk membendung pengaruh China dan Korea Utara.
"Trump dapat memutuskan untuk mengubah sikap AS di negara mana pun, baik itu di Asia atau di Eropa, dan menarik pasukan keluar, menutup pangkalan, berhenti berinvestasi dalam infrastruktur bersama dan semua komite serta aspek logistik yang menjaga aliansi tetap berjalan, yang menjaga kita terikat dengan sekutu dan mitra," kata Kavanagh. "Setiap presiden (AS) bisa melakukan itu."
Selama masa jabatan pertamanya, Trump sering mengkritik NATO. Dia mengeluhkan bahwa AS mengeluarkan dana pertahanan lebih besar dibandingkan anggota-anggota lainnya hingga mempertanyakan relevansi NATO. Hal ini kemudian mendorong beberapa negara untuk meningkatkan pengeluaran mereka.
Perang Ukraina, Jalur Gaza, China, Korea Utara hingga Iran
Pengamat politik AS Didin Nasirudin meyakini Trump akan mempercepat akhir dari perang di Ukraina dan Jalur Gaza dengan pendekatan yang masing-masing menguntungkan Rusia dan Israel.
"Saya mungkin percaya bahwa Trump yang menjanjikan akan mengakhiri perang di Ukraina dan konflik Timur Tengah dengan cepat, saya percaya dengan itu. Cuman, term-nya seperti apa. Contohnya, di Ukraina, dengan AS menghentikan dukungan terhadap Ukraina maka Ukraina akan dipaksa untuk berdamai dengan Rusia. Cuma, karena Trump dekat dengan (Vladimir) Putin maka kemungkinan besar, term yang disepakati oleh kedua belah pihak itu tidak akan menguntungkan Ukraina, tapi lebih menguntungkan Putin. Misalnya, berdamai, tetapi mungkin Rusia tidak akan mundur dari wilayah-wilayah Ukraina yang saat ini diduduki. Mungkin seperti itu contohnya," tutur Didin dalam program Liputan6 Update, Kamis (7/11).
"Kemudian, hal serupa mungkin akan terjadi di Timur Tengah, terutama konflik Israel-Palestina ... Mungkin term-nya akan lebih menguntungkan Israel karena (Benjamin) Netanyahu terkenal dekat dengan Donald Trump. Jadi, mungkin misalnya, Israel tetap akan mengontrol ketat wilayah-wilayah Palestina, termasuk Gaza dan mungkin ekspansi permukiman warga Yahudi di wilayah Palestina akan berlanjut."
Terkait hubungan AS dengan China pada periode kedua Trump, Didin yakin itu tidak akan memburuk.
"Pertama, Trump adalah pebisnis, kemudian Elon Musk punya kepentingan besar di China. Kemudian juga para konglomerat yang menjadi pendukung Trump itu juga punya banyak kepentingan dengan China. Jadi, kalau Trump misalnya menaikkan tarif, dampaknya kan akan membuat harga barang-barang China di AS akan meningkat ya, sementara itu tidak sejalan dengan janji dia untuk membuat harga-harga murah, kecuali untuk produk-produk yang sudah diproduksi di dalam negeri. Padahal, untuk membuat manufaktur di AS kan tidak gampang, terutama karena biaya labor cost yang sangat tinggi. Kedua, bahan bangunan dari mana? Karena AS tidak seperti di China yang punya bahan bangunan dan juga labor cost yang sangat rendah," tutur Didin.
Dalam hal Korea Utara, meski Trump membanggakan hubungannya dengan Kim Jong Un, di mana keduanya telah bertemu tiga kali, dia harus menerima kenyataan bahwa situasinya telah berbeda. Kim Jong Un yang mungkin nanti akan ditemuinya telah semakin percaya diri dengan persenjataan rudal yang berkembang dan hubungan yang jauh lebih dekat dengan Rusia.
"Trump menghadapi lanskap geopolitik yang berbeda dibandingkan tahun 2021," kata seorang mantan pejabat di pemerintahan Trump sebelumnya, seperti dilansir Reuters, sehingga keterlibatan substansial apapun dengan Korea Utara masih harus ditunggu.
Namun, Duyeon Kim dari Center for a New American Security, menilai bahwa Korea Utara tampaknya tidak peduli siapa yang duduk di Gedung Putih karena Kim Jong Un telah menjelaskan pihaknya akan melangkah maju menuju tonggak sejarah nuklir dan mendapat dukungan dari China dan Rusia.
Lantas, bagaimana dengan isu Iran di bawah kepemimpinan Trump kelak?
Pada pemerintahannya sebelumnya, Trump secara signifikan meningkatkan tekanan terhadap Iran.
Ahli meyakini bahwa empat tahun ke depan bisa menjadi ujian besar bagi Iran, di mana Trump kemungkinan akan kembalinya melancarkan "tekanan maksimum", meningkatkan isolasi terhadap Iran dan melumpuhkan ekonominya.
Faktor yang tidak kalah penting dalam hubungan Iran dengan Trump adalah bagaimana Trump akan menanggapi laporan intelijen AS baru-baru ini yang mengklaim bahwa Iran berusaha membunuhnya. Tuduhan itu telah dibantah Iran, yang menyebutnya tidak berdasar dan jahat.
Ali Vaez, direktur Proyek Iran dan penasihat senior di International Crisis Group, mencatat bahwa pendekatan "tekanan maksimum" Trump mungkin dipasangkan dengan kebijakan "dukungan maksimum" bagi rakyat Iran. Hal itu, menurutnya, akan membuat kedua negara tidak mungkin kembali ke meja perundingan.
"Saya tidak berpikir siapa pun di tim keamanan nasional (Trump) akan memiliki tujuan yang sama untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dengan rezim Iran," ujarnya seperti dikutip dari CNN.
Advertisement
Tarif Impor Tinggi Menghantui
Kemenangan Trump menimbulkan kekhawatiran soal meningkatnya inflasi jika dia memberlakukan komitmen kampanyenya untuk memangkas pajak, menindak tegas imigran, dan menaikkan tarif impor.
Melansir CNN Business, profesor ekonomi di INSEAD, sekolah bisnis yang berkantor pusat di Prancis, Antonio Fatas menilai bahwa kebijakan yang diusulkan Trump, termasuk mendeportasi imigran hingga tarif impor kemungkinan besar menyebabkan penurunan substansial dalam output ekonomi AS dan peningkatan besar dalam inflasi.
Senada, kepala keuangan dan pasar di platform investasi Hargreaves Lansdown Susannah Streeter juga melihat dolar AS yang lebih kuat mencerminkan ekspektasi bahwa Trump akan memangkas pajak, menaikkan tarif, dan menekan imigrasi, yang semuanya mendorong inflasi dan kemungkinan berarti suku bunga yang lebih tinggi di tahun-tahun mendatang.
"Investor bersiap menghadapi tarif, yang akan menaikkan harga barang impor bagi pembeli AS," papar Sreeter.
"Komitmen Trump untuk mengelurkan imigran dengan gelombang deportasi juga dapat berdampak pada ekonomi, yang berpotensi meningkatkan tagihan upah bagi perusahaan."
Selama masa kampanye, Trump mengusulkan tarif 10-20 persen untuk semua barang impor yang masuk ke AS. Ini menandai peningkatan tajam dari rata-rata tarif impor di AS saat ini sebesar 2 persen atau dalam banyak kasus, nol.
Untuk impor dari China, Trump mengusulkan tarif yang lebih tinggi, setidaknya 60 persen. Dia mengancam pula akan memberlakukan tarif 200 persen untuk mobil pabrikan Meksiko.
"Kami sekarang memperkirakan hanya satu pemotongan The Fed pada tahun 2025, dengan kebijakan (moneter) ditunda hingga guncangan inflasi yang terealisasi dari tarif telah berlalu," tulis analis Nomura dalam sebuah catatan.
Kebijakan Tarif Impor Trump Berisiko Naikkan Inflasi Global?
Dampak buruk dari kebijakan tarif impor Trump, menurut ekonom, akan terasa jauh melampaui batas-batas AS.
Kepala ekonom Investec Philip Shaw dan ekonom Ellie Henderson menilai jika mitra dagang AS membalas dengan tarif mereka sendiri atas impor AS, peningkatan material dalam inflasi global akan terjadi, sementara pukulan berikutnya terhadap perdagangan dunia akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
Dolar yang lebih kuat juga dapat memberikan tekanan pada inflasi secara global.
"Ketika dolar menguat, negara-negara yang mengimpor komoditas dengan harga dalam USD juga dapat mengalami kenaikan harga, yang perlu diserap oleh perusahaan atau diteruskan ke pelanggan," kata Streeter.
China hingga Jerman Berisiko
BMI, firma riset pasar milik Fitch Solutions, berpendapat bahwa Meksiko dan Kanada mungkin berada di garis sasaran langsung dalam hal tarif impor karena ekonomi mereka sangat bergantung pada ekspor ke AS.
"Kami juga percaya bahwa Trump dapat memutuskan untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi pada ekonomi yang memiliki surplus perdagangan besar dengan AS," tulis analis BMI.
Meksiko, ungkap BMI, memiliki surplus perdagangan yang besar dengan tetangganya di kawasan utara Amerika dan bersama dengan negara-negara seperti China, Jepang, Jerman, dan Korea Selatan dapat berada di bawah tekanan lebih besar untuk meningkatkan permintaan barang-barang AS.
BMI menambahkan bahwa tarif 60 persen untuk barang-barang China akan menekan pertumbuhan ekonomi China antara 0,5 poin persentase dan 0,8 poin persentase selama dua tahun ke depan.
"Eksportir Jerman, yang menganggap AS sebagai pasar tunggal terbesar di luar Uni Eropa, juga harus bersiap menghadapi kerugian besar jika Trump mengenakan tarif 20 persen pada semua mitra dagang," ungkap Institut Riset Ekonomi Ifo yang berpusat di Munich.
Lembaga tersebut memperkirakan bahwa ekspor Jerman ke AS dapat anjlok sekitar 15 persen jika tarif impor baru diberlakukan.
"Langkah ekonomi Trump akan menimbulkan masalah besar bagi Jerman dan Uni Eropa," kata lembaga tersebut.
Catatan untuk Indonesia
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M Rachbini menilai kemenangan Trump akan berdampak besar terhadap perekonomian di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Kemenangan Trump dilaporkan sudah diprediksi oleh pelaku pasar keuangan. Dia diyakini akan menjalankan kebijakan proteksionisme seperti saat masa jabatan pertamanya, yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi AS, salah satunya dengan kebijakan menerapkan tarif impor.
"Karena Trump tidak menginginkan trade deficit, misal dengan China," kata Eisha kepada Liputan6.com pada Kamis.
Secara global, jika kebijakan tarif dan perang dagang kembali terjadi maka ketidakpastian akan semakin tinggi, sehingga pemilik modal akan lebih berhati-hati dan arus modal akan masuk ke AS, membuat apresiasi dolar.
"Dampak ke Indonesia pergerakan rupiah bisa berfluktuasi, bergejolak jika risiko global meningkat," ujarnya.
Lebih lanjut, Eisha menilai sama seperti ketika Trump menjabat sebagai presiden AS periode 2017 – 2020, kebijakan ekonominya ditujukan untuk menguatkan ekonomi dalam negeri, sehingga kebijakan-kebijakan Trump nanti akan meningkatkan dan menumbuhkan aktivitas dunia usaha, dengan tax cut yang besar.
Selama empat tahun terakhir, bagaimana pengamat menilai posisi Indonesia di mata AS?
"Saya kira dengan posisi Indonesia sebagai negara keempat terbesar di dunia dalam hal populasi, Indonesia secara geopolitik maupun ekonomi sangat penting buat AS. Secara geopolitik, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia Pasifik yang saat ini masih netral, sehingga AS mudah melakukan pendekatan kepada Indonesia tanpa khawatir bahwa Indonesia sudah terkooptasi oleh negara lain. Kemudian, secara ekonomi, Indonesia menjadi pasar besar, baik sebagai konsumen maupun sebagai produsen ... Jangan lupa, AS masih punya saham besar di Freeport. Indonesia merupakan salah negara terbesar yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Elon Musk punya banyak kepentingan dengan Indonesia, harusnya. Kemudian, ada banyak perusahaan AS yang berbasis agrikultur yang mereka punya basis produksi di Indonesia seperti di CPO, kakao, dan di minyak kelapa. Dan itu adalah basis produksi yang berbasis ekspor. Kemudian juga, kita tahu bahwa ada perusahaan AS yang punya data center di Indonesia. Dan data center itu tidak hanya untuk melayani konsumen Indonesia, tetapi juga konsumen di negara lain di kawasan Asia Tenggara. Jadi, memang pentinglah bagi AS," imbuh Didin.
Advertisement