Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur tidak bisa dilakukan dengan hasil yang instan, seperti kisah Roro Jonggrang.
Advertisement
"Pembangunan infrastruktur ini tidak bisa seketika. Tidak ada pembangunan Roro Jonggrang, pasti ada proses dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasinya ini membutuhkan waktu," kata AHY dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 2024, dikutip Kamis (7/11/2024).
Dalam pidatonya, AHY menyoroti sejumlah infrastruktur yang dibangun dengan perencanaan yang kurang matang. Hal itu membuat keberadaan infrastruktur tidak cukup berpengaruh pada roda ekonomi dan masyarakat luas.
"Seringkali ada proyek-proyek infrastruktur yang dibangun atas dasar keinginan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, termasuk karena kapasitas infrastruktur yang sudah ada tidak lagi bisa diperluas. Tetapi seringkali mungkin perencanaannya tidak terintegrasi dengan baik, kurang matang terutama dalam menjawab aspek konektivitas," beber AHY.
"Oleh karena itu, tidak sedikit pembangunan infrastruktur yang sebetulnya bisa menjawab sisi kapasitas, tetapi tidak bisa menjawab dari sisi utilitas dan keberlanjutan. Akibatnya biaya yang cukup mahal itu bisa dikatakan tidak optimal atau kurang berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat," lanjut dia.
Contoh Proyek
Menko Infrastruktur menyebut salah satu contoh proyek yang dipertanyakan optimalisasinya, yaitu Bandara Kertajati di Jawa Barat dan sejumlah proyek lainnya.
"Ada sejumlah bandara misalnya Kertajati, pelabuhan dan lokasi-lokasi lain yang seringkali kita pertanyakan optimalisasinya," sebutnya. AHY pun mengakui, dalam prosesnya, pembangunan infrastruktur kerapa menghadapi pilihan berat antara biaya, waktu dan kualitas.
"Seringkali kita ingin cepat dan murah, artinya kita harus berkompromi dengan waktu. Jika mau murah dan berkualitas, maka waktu pengerjaannya lebih lama dan jika ingin cepat dan berkualitas, pasti anggarannya lebih besar," katanya.
Untuk mencegah masalah tersebut kembali terjadi, AHY menyarankan perlu adanya penyusunan yang kuat hingga pertimbangan matang agar Pemerintah tidak kehabisan waktu dan dana.
"Sumber pendanaan pembangunan infrastruktur berasal dari uang rakyat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika bapak presiden menekankan jangan sampai ada kebocoran. Kita harus mempertanggungjawabkan setiap Rupiah untuk digunakan sebaik mungkin dan sekali lagi, kita pertanggungjawabkan kepada rakyat kita," pungkasnya.
AHY Dilema soal Pengadaan Lahan: 3 Juta Rumah dulu atau Sawah Baru?
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dibenturkan pada dilema soal pengadaan lahan. Pasalnya, pemerintah saat ini membutuhkan banyak lahan baru untuk menjalankan program-program dari Presiden Prabowo Subianto.
Khususnya terkait program pembangunan 3 juta rumah dan swasembada pangan, yang diperkirakan membutuhkan jutaan hektare lahan untuk cetak sawah baru.
Berdasarkan hitungan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, AHY mendapati laporan bahwa negara butuh 3 juta ha sawah baru untuk mencapai swasembada pangan.
"Jadi 3 juta ha yang tadi pak Menteri (Nusron Wahid) sampaikan itu adalah kalkulasi yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia," ujar AHY dalam kunjungan kerja ke Kantor Kementerian ATR/BPN di Jakarta, Selasa (5/11/2024).
"Tentu pembukaan lahan-lahan food estate di berbagai daerah juga harus dikalkulasi dengan matang, tetapi revitalisasi lahan-lahan yang sudah ada juga perlu dilakukan," dia menambahkan.
Namun, ia mengaku menghadapi pilihan sulit. Sebab di saat bersamaan, dirinya juga dihadapi tugas untuk mengkoordinasikan program pembangunan 3 juta rumah.
Sama seperti cetak sawah baru untuk swasembada pangan, pembangunan 3 juta rumah juga membutuhkan alokasi lahan yang tidak sedikit.
"Ini memang kembali kepada pilihan kita. Di satu sisi kita ingin membangun rumah, di satu sisi kita ingin mempertahankan lahan sawah. Jadi tugas ATR/BPN tidak mudah untuk bisa membangun keseimbangan tadi," ungkapnya.
"Termasuk menjaga lingkungan jangan sampai semuanya digunakan untuk beton. Ini juga menjadi tugas-tugas yang penting untuk dilakukan," pinta AHY.
Advertisement
Lahan Tumpang Tindih
Adapun estimasi pengadaan 3 juta ha sawah baru muncul dari perhitungan Nusron Wahid. Angka itu keluar sebelum dilakukan penyusunan Kawasan Pangan Pertanian Berkelanjutan (KP2B) dan Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan (LP2B).
Dalam hal pengadaan sawah baru, Menteri ATR/Kepala BPN tersebut lantas menyoroti masih banyaknya lahan pertanian yang tumpang tindih dengan proyek pembangunan gedung semisal pabrik. Untuk itu, ia menyebut saat ini pemerintah perlu menyusun terlebih dahulu KP2B dan LP2B.
"Itu dulu kita tetapin, kita susun. Dari KP2B kita susun namanya LP2B, Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan. Dalam rangka menopang produktivitas pertanian dan pangan berkelanjutan," ujar dia.
Nusron memperkirakan, negara butuh sekitar 3 juta lahan untuk cetak sawah baru. Namun, melihat kondisi terkini, pengadaan lahan tersebut sulit dilakukan di Pulau Jawa lantaran sudah dipenuhi hutan beton.
"Berapa jumlahnya, tentunya hari ini kalau berdasarkan hitungan kasar, ini belum ada KP2B, masih estimasi kasar, butuh sekitar 3 juta ha sawah baru," kata Nusron.
"Kenapa, karena sawah lama di Pulau Jawa sudah banyak didudukin menjadi pabrik, jadi perumahan, jadi sekolah, jadi rumah sakit. Itu juga baik, tapi kan butuh ganti, gantinya dari sini," ungkapnya.