Praktik Politik Uang di Pilkada Serentak Dinilai Serupa Sindikat Narkoba

Selain lemahnya pengawasan dana kampanye, di lapangan praktek politik uang itu beroperasi sudah kayak sindikat narkoba. Dimana saat operator tertangkap tangan melakukan politik uang, kadang prosesnya putus di sana, berhenti di sana tidak bisa dilanjutkan ke atas.

oleh Kukuh Setyono diperbarui 09 Nov 2024, 23:00 WIB
Ketua Pandekha, Yance Arizona, Kamis (7/11/2024) menyebut praktik politik uang di pilkada sudah seperti sindikat narkoba. Perlu dibentuk badan khusus dan penegakan aturan. (Kukuh Setyono)

Liputan6.com, Yogyakarta - Maraknya praktik politik uang (money politic) dalam beberapa gelaran pemilu memicu kekuatiran rusaknya demokrasi dan kehidupan berbangsa. Selayaknya sindikat narkoba di lapangan, praktek-praktek politik uang harus ditangani badan khusus dan diperlukan undang-undang pemilu yang komprehensif. Dua pandangan ini dikemukakan terpisah Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan HAM (Pandekha), Yance Arizona dan aktivis Jogja Corruption Watch (JCW), Baharuddin Kamba.

Berbicara kepada awak media di UGM, Kamis (7/11/2024), Yance menilai pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 kali ini sudah sangat ideal dari sisi keberlanjutan kepemimpinan dan efisiensi anggaran. Problem besarnya terletak pada pengawasan pendanaan kampanye dan maraknya praktik politik uang. “Politik uang itu bisa diatasi dengan dua pendekatan. Pertama turun langsung ke masyarakat untuk mengedukasi bahaya politik uang. Juga perlu dilakukan pendekatan ke atas, dengan pengawasan ketat pada pendanaan politik,” kata Yance.

Selain lemahnya pengawasan dana kampanye, di lapangan praktek politik uang itu beroperasi sudah kayak sindikat narkoba. Dimana saat operator tertangkap tangan melakukan politik uang, kadang prosesnya putus di sana, berhenti di sana tidak bisa dilanjutkan ke atas. Melihat kondisi ini, dosen hukum tata negara fakultas hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menyarankan perlu dibentuk badan khusus yang fokus menangani praktek pidana politik uang.

“Atau berikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kewenangan untuk menyelidiki dan menyidik praktek politik uang. Seperti KPK dalam pemberantasan korupsi. Dengan penyidik didatangkan dari instansi kepolisian dan kejaksaan, Bawaslu bisa membawa pelaku politik uang sampai ke penuntutan,” ujarnya.

Saat ini, proses penanganan praktik politik uang menurut Yance banyak terkendala dari minimnya profesionalisme dari penyidik-penyidik yang tergabung di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Polisi dan Jaksa masih melakukan tugas yang lain di institusi induknya. “Ini yang perlu dibenahi, jika dilakukan perubahan saya yakin efek dan hasilnya berbeda. Jika desain penegakan hukum seperti sekarang, maka masalah terkait politik uang yang sama tetap akan muncul,” terangnya.

Sedangkan aktivis JCW, Baharuddin Kamba mendorong sanksi terhadap praktik politik uang diperberat untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku politik uang. Bawaslu di semua level didorong untuk meningkatkan patroli pengawasan. “Kami meminta Bawaslu di semua level meningkatkan patroli pengawasan yang dimulai pada masa kampanye seperti sekarang. Penting untuk mencegah terjadinya praktik politik uang agar tidak terjadi. Lakukan pengawasan setiap tahapan Pilkada," tegasnya.

Hal ini penting agar membuat para pelaku takut melakukan politik uang. Bila ditemukan adanya praktik politik uang, Sentra Gakkumdu langsung memberi tindakan kepada pelaku dengan jerat pidana. JCW juga mendorong pengawasan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak aliran dana kampanye dalam kontestasi Pilkada dari tingkat bawah sampai pusat. “Undang-Undang Pemilu saat ini belum cukup komprehensif mengatur tentang politik uang. sanksi terhadap politik uang tidak terlalu tinggi, baik dari pemberian pidana penjaranya maupun juga pidana dendanya. Hukuman antara satu sampai dua tahun penjara,” tutupnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya