Liputan6.com, Washington, DC - Donald Trump diyakini tidak hanya mengalahkan Kamala Harris dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) 2024. Tapi, dia juga mengalahkan sistem yang mencoba memenjarakannya.
Trump sebelumnya tercatat sejarah AS menjadi mantan presiden pertama yang pernah didakwa dan dihukum karena kejahatan berat. Sekarang, dia menjadi terpidana pertama yang memenangkan pilpres.
Advertisement
Kemenangannya digambarkan sebagai jaminan bahwa dia tidak akan pernah menghadapi pertanggungjawaban hukum atas kasus-kasusnya, setidaknya empat tahun ke depan. Trump sendiri sejak awal membingkai kasus-kasus hukum yang dihadapinya sebagai serangan bermotif politik oleh musuhnya.
Mengutip Time, Kamis (7/11/2024), berikut arti kemenangan Trump dalam Pilpres AS 2024 bagi kasus-kasus hukumnya:
Kasus Federal
Inti dari masalah hukum Trump yang paling mendesak adalah dua kasus federal: satu yang melibatkan dugaan upaya untuk membatalkan hasil Pilpres AS 2020 dan satu lagi seputar dugaan kesalahan penanganan dokumen rahasia negara. Kasus-kasus tersebut diajukan oleh penasihat khusus Kementerian Kehakiman AS Jack Smith.
Kasus federal merujuk pada kasus pidana yang berada di bawah yurisdiksi pengadilan federal.
Jalan Trump untuk menghindari tuduhan-tuduhan itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya. Kementerian Kehakiman AS merupakan bagian dari cabang eksekutif di bawah presiden, meskipun secara tradisional beroperasi dengan tingkat independensi tertentu dari Ruang Oval -- merujuk pada ruang kerja presiden AS.
Trump sendiri telah mengisyaratkan dia akan segera memecat Smith jika hingga dia menjabat Smith belum mengundurkan diri. Yang tidak kalah penting adalah jaksa agung baru yang ditunjuk Trump akan memiliki wewenang untuk mengakhiri kedua penyelidikan dan membatalkan tuduhan terhadapnya. Langkah ini berpotensi menjadi pukulan telak bagi kasus yang menuduh Trump mencoba menggagalkan hasil Pilpres AS 2020, yang melibatkan tuduhan terkait kerusuhan di Capitol pada 6 Januari 2021.
Dalam kasus federal yang diajukan terhadap Trump di Washington DC atas perannya dalam upaya membatalkan hasil Pilpres AS 2020, tim hukum Trump berhasil mendorong jadwal persidangan hingga melewati masa pemilu. Hakim Pengadilan Distrik Tanya Chutkan awalnya menetapkan jadwal yang cepat, namun pengacara Trump meminta penundaan berulang kali.
Setelah Mahkamah Agung AS memutuskan pada musim panas ini bahwa presiden memiliki kekebalan pidana saat menjabat, kasus ini berada dalam posisi genting. Masih belum jelas apakah Chutkan, yang mengaku bertekad mengawal kasus ini, akan memiliki sarana hukum untuk melanjutkan persidangan setelah Trump kembali menjabat.
Sementara itu, dalam kasus penanganan dokumen rahasia negara yang secara luas dianggap sebagai kasus paling berat yang dapat menjerat Trump, hakim bernama Aileen Cannon yang ditunjuk Trump telah membuat keputusan yang menguntungkan Trump. Cannon menolak kasus tersebut dengan alasan Smith ditunjuk secara tidak sah dan tidak memiliki otoritas untuk melakukan penuntutan.
Kabar teranyar yang dilansir ABC News menyebutkan bahwa sosok Cannon masuk daftar calon jaksa agung di kabinet Trump.
Kasus di Negara Bagian
Selain berhadapan dengan kasus federal, Trump juga menghadapi berbagai masalah hukum di tingkat negara bagian, termasuk di Georgia dan New York.
Di Georgia, Trump dituduh berusaha membatalkan hasil Pilpres AS 2020. Para ahli hukum percaya bahwa Trump kelak akan memanfaatkan posisinya sebagai presiden untuk berargumen bahwa berdasarkan doktrin kekebalan presiden, dia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban oleh seorang jaksa negara bagian selama masih menjabat.
Di New York, Trump awal tahun ini dinyatakan bersalah atas 34 tuduhan pemalsuan catatan bisnis untuk menutupi pembayaran suap terhadap bintang film porno Stormy Daniels.
Pembayaran itu dilakukan untuk menjaga agar hubungan mereka tidak terungkap selama kampanye Pilpres AS 2016. Pengadilan menyatakan pembayaran tersebut melanggar aturan dana kampanye.
Kasus tersebut tengah ditangguhkan, di mana tim pengacara Trump telah beberapa kali menunda pembacaan vonis. Mereka kemungkinan akan mengajukan penundaan lebih lanjut atau menantangnya, dengan alasan status Trump sebagai presiden.
Pembacaan vonis yang dijadwalkan pada 26 November menjadi momen penting. Jika Hakim Juan Merchan dari Mahkamah Agung New York, yang memimpin persidangan Trump di Manhattan, melanjutkannya maka dia akan menghadapi tantangan besar: bagaimana menangani konsekuensi hukum dari vonis pidana untuk seorang presiden yang sedang menjabat atau akan segera menjabat.
Pembelaan Trump kemungkinan akan berargumen bahwa tindakan apapun, termasuk hukuman penjara, harus ditunda hingga setelah masa kepresidenannya, dengan alasan tugas konstitusi dan kompleksitas tanggung jawab eksekutif. Bahkan jika Merchan memilih hukuman non-penjara, seperti penahanan rumah atau layanan masyarakat, tim hukum Trump diprediksi akan berargumen bahwa hal semacam itu tidak praktis atau tidak konstitusional selama dia menjabat.
Pada akhirnya, keputusan Merchan dapat menetapkan preseden yang signifikan, termasuk atas pertanyaan yang lebih luas tentang bagaimana sistem hukum menangani seorang presiden yang terjerat dalam tuduhan kriminal.
Advertisement
Kasus Perdata
Sekalipun kasus-kasus pidana mungkin ditunda atau dibatalkan sepenuhnya, Trump masih menghadapi litigasi sipil yang signifikan, terutama terkait kasus pencemaran nama baik dan pelecehan seksual yang diajukan oleh E. Jean Carroll dan penggugat lainnya.
Di New York, Trump diperintahkan untuk membayar USD 83 juta sebagai ganti rugi atas pencemaran nama baik dan dia juga dinyatakan bersalah karena menggelembungkan nilai aset bisnisnya, yang mengakibatkan denda sebesar USD 450 juta.
Trump menghadapi pula tuntutan hukum dari petugas Polisi Capitol AS dan anggota Kongres atas perannya dalam memicu serangan di Capitol pada 6 Januari 2021. Beberapa petugas polisi terluka oleh massa dan menggugat Trump untuk ganti rugi.
Meskipun Trump mungkin memiliki tingkat kekebalan dari penuntutan pidana, perlindungan yang sama tidak ada untuk gugatan perdata. Penggugat sipil telah berhasil mengejar ganti rugi dari presiden yang sedang menjabat di masa lalu.
Faktanya, selama masa jabatan pertamanya, Trump terpaksa membayar denda sebesar USD 2 juta sebagai bagian dari penyelesaian atas penyalahgunaan dana dari Trump Foundation - kasus langka di mana seorang presiden menghadapi sanksi keuangan pribadi saat menjabat.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kasus-kasus sipil ini juga akan tertunda karena kembalinya dia ke Gedung Putih?
Trump dinilai telah berhasil merancang strategi hukum yang kompleks, memanfaatkan persimpangan antara hukum dan politik. Dalam menghadapi kasus pidana dan perdatanya, Trump menggambarkan dirinya sebagai korban dari sistem peradilan yang berpihak, menjadikan pertempuran hukumnya sebagai bagian dari narasi politiknya. Pada setiap tahap proses hukum, dia menunda, mengajukan banding, dan mengalihkan perhatian dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh terdakwa biasa, hingga menjadikan masalah hukumnya sebagai bahan kampanye.
Pria berusia 70 tahun itu juga telah diuntungkan oleh serangkaian keputusan, mulai dari hakim-hakim yang simpatik hingga mayoritas Mahkamah Agung yang semakin konservatif, termasuk tiga hakim yang dia tunjuk. Putusan terbaru dari pengadilan tinggi bahwa presiden menikmati kekebalan luas dari penuntutan pidana telah memberikan Trump lapisan perlindungan tambahan terhadap sistem hukum.
Untuk saat ini, kemenangan dalam Pilpres AS 2024 telah memberi Trump jalan keluar dari ancaman hukum yang paling mendesak sekaligus membuktikan bahwa sistem politik menjadi aset dan perlindungan terbesarnya. Setidaknya untuk empat tahun ke depan, Trump kebal, dilindungi oleh jabatan bahkan dengan mandat yang lebih besar.