Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, serta wacana kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) terus mendapat kritikan tajam. Menyusul adanya ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi, hingga potensi kehilangan penerimaan negara hingga ratusan triliun rupiah.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek dapat mencapai Rp 308 triliun.
Advertisement
Menurut dia, rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa merek dan identitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran.
"Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi repot memikirkan desain kemasan yang kompleks. Dengan aturan kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar, dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk," ujarnya, Kamis (7/11/2024).
Dari sisi penerimaan negara, Andry melanjutkan, ada potensi hilangnya Rp 160,6 triliun, atau sekitar 7 persen dari penerimaan pajak jika aturan itu disahkan. Jika regulasi ini diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp 218,7 triliun untuk tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.
Pasalnya, lanjut Andry, industri hasil tembakau merupakan salah satu penyumbang signifikan bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebelum pandemi Covid-19, industri ini menyumbang hingga 6,9 persen terhadap PDB, namun angka ini terus menurun setiap tahunnya.
Kedaulatan Ekonomi
Lebih dari itu, ia mengingatkan bahwa industri hasil tembakau adalah sektor yang besar dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data INDEF, sekitar 2,29 juta orang atau sekitar 1,6 persen dari total pekerja akan terdampak langsung oleh regulasi ini. .
"Pada 2019, industri ini menyerap 32 persen dari total pekerja di sektor manufaktur. Namun, tekanan regulasi terus membuat para pekerja di sektor ini rentan terdampak," kata Andry.
Di sisi lain, Rancangan Permenkes yang mengatur penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pun kian dipandang bertentangan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia, dan merupakan ancaman bagi industri hasil tembakau nasional.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menjelaskan, penerapan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sejatinya mirip dengan kebijakan yang diterapkan Australia pada 2012. Saat itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang menolak kebijakan tersebut.
"Sekarang kita justru ingin menerapkan apa yang pernah kita lawan. Ini sangat membingungkan," ungkapnya.
Advertisement
Negara Penghasil Tembakau
Hikmahanto menekankan bahwa Indonesia, sebagai negara penghasil tembakau, seharusnya tidak mengikuti regulasi yang ditentukan oleh negara lain, terutama yang bersumber dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Pasalnya, kebijakan ini dapat mengganggu pendapatan negara yang berasal dari keseluruhan kegiatan ekonomi mata rantai sektor tembakau, termasuk devisa ekspor. "Kita adalah negara penghasil tembakau, tetapi justru kebijakan ini bisa membuat produk kita terpinggirkan di pasar internasional," imbuhnya.