Liputan6.com, Jakarta - COP29 di Baku, Azerbaijan, akan menjadi titik penting dalam perundingan perubahan iklim global, dengan lima isu utama tuai sorotan. Perundingan sangat krusial dalam menentukan langkah-langkah konkret untuk masa depan planet ini.
Dikutip dari Channel News Asia, Kamis, 7 November 2024, Baku, Azerbaijan, sebagai tuan rumah Konferensi Para Pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2024 (COP29) menjadi pusat perhatian perubahan iklim selama dua minggu ke depan, yakni pada 11--22 November 2024. Para pemimpin dunia, negosiator, investor global, dan tokoh industri akan memulai pembicaraan di Baku sebagai bagian dari upaya terbaru untuk mengatasi pemanasan global dan mengubah ekonomi dunia menuju keberlanjutan yang lebih hijau.
Advertisement
Perhatian utama akan diberikan pada penggalangan dana besar dari sektor publik dan swasta untuk mengatasi bencana iklim. Menurut Presiden COP29 Baku, Mukhtar Babayev, tuan rumah berfokus meningkatkan ambisi dan mendorong tindakan konkret melalui pertemuan puncak ini.
Konferensi itu tidak berjalan tanpa tantangan besar. Para negosiator harus bekerja keras selama pertemuan puncak COP29 yang dibayang-bayangi ketegangan regional di Eropa dan Timur Tengah. Perang yang berlangsung dapat mengancam kelangsungan sistem multilateral yang sangat bergantung pada kesepakatan bersama.
Sementara itu, di balik layar, ilmuwan terus mengingatkan bahwa kondisi planet ini semakin memburuk, dan waktu untuk mencapai kemajuan yang signifikan sangat terbatas. Meskipun peserta COP29 diperkirakan tidak akan sebanyak 100.000 orang seperti pada COP28 di Dubai, pertemuan ini tetap menjadi momen penting.
Pendanaan Iklim Titik Krusial
Isu pertama kepemimpinan COP Azerbaijan tegas menempatkan keuangan sebagai inti dari perundingan. Agenda akan membahas pentingnya memahami pendanaan iklim.
"Suka atau tidak, keuangan akan menjadi inti negosiasi iklim tahun ini," kata CEO COP29 Elnur Soltanov kepada CNA. "Keuangan tidak dapat dipahami secara abstrak. Keuangan ada untuk memungkinkan tindakan."
Negosiasi terkait New Collective Quantified Goal (NCQG) menjadi salah satu hal paling krusial. NCQG dirancang untuk menggantikan janji pendanaan iklim USD100 miliar (sekitar Rp1.600 triliun) yang seharusnya disalurkan negara maju ke negara-negara berkembang setiap tahun sejak 2020. Faktanya, dana tersebut belum tersalurkan sehingga memicu upaya merombak jalur impor agar keuangan dapat menjangkau negara-negara yang membutuhkan dukungan iklim.
Jumlah yang dijanjikan pada awalnya bersifat acak dan tidak terkait dengan kebutuhan nyata negara lain namun menjadi patokan komitmen kolektif. Efektivitasnya banyak dipertanyakan, terutama oleh negara berkembang yang kebutuhan pendanaannya terus meningkat.
Forum Ekonomi Dunia menekankan pentingnya mekanisme keuangan yang lebih kuat dan efektif. Para negosiator utama NCQG mengatakan bahwa kebutuhan pendanaan mencapai triliunan dolar setiap tahun. "Kita butuh pendukung, kita butuh sarana implementasi. Kita punya dana, teknologi, dan pengembangan kapasitas, dan dana jelas merupakan hal terpenting di luar sana," kata Soltanov.
Advertisement
Memperhatikan Rekor Suhu Global dan Tantangan Transisi Energi di COP29
Dalam isu kedua mengenai rekor suhu global, ilmuwan mengatakan, planet berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada 12 bulan lalu. Suhu global terus meningkat, jumlah suhu permukaan dan lautan mencapai rekor tertinggi.
Suhu rata-rata menjadikan periode 12 bulan antara September 2023 dan Agustus 2024 sebagai periode terpanas sepanjang tahun, 1,64 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Munculnya perjanjian Paris ditujukan untuk menjaga suhu dalam 1,5 derajat Celsius di atas tingkat ini. Rekor panas tercatat di 19 negara, termasuk Laos dan Kamboja.
Konsentrasi karbon dioksida dan metana - polutan penyebab pemanasan global - mencapai level tertinggi akibat terus meningkatnya produksi bahan bakar fosil. Perubahan iklim juga sangat terkait dengan meningkatnya kekeringan, badai, dan banjir di seluruh dunia pada 2024. Enam bulan setelah COP28 pada 2023, perkiraan kerusakan akibat cuaca ekstrem menelan biaya USD 41 miliar (Rp636,5 triliun) secara global
Sementara isu ketiga berfokus pada bahan bakar fosil, Azerbaijan akan memimpin peralihan dunia dari masa depan yang bergantung pada bahan bakar tersebut. Namun, minyak dan gas adalah sumber daya yang telah mendorong kemakmuran negara selama beberapa generasi.
Ketergantungan pada sumber daya bahan bakar tersebut masih berlanjut. Sektor-sektor diperkirakan menyumbang 90 persen dari ekspor dan setengah dari total produk domestik bruto.
Memperhatikan Bayangan Perang dan Menyimpulkan Aturan Karbon
Pada 2024, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev menyebut minyak sebagai "anugerah dari Tuhan." Selama tiga tahun berturut-turut, negara penghasil minyak ini telah menjadi tuan rumah pertemuan puncak, setelah Uni Emirat Arab pada tahun lalu dan Mesir pada 2022.
Sementara 2023 untuk pertama kalinya, kesepakatan akhir COP memuat kata-kata tentang bahan bakar fosil, yang menyerukan "transisi dari bahan bakar fosil dalam sistem energi, dengan cara yang adil, tertib, dan setara". "Butuh waktu 30 tahun untuk mencapai titik awal berakhirnya bahan bakar fosil," demikian pernyataan Uni Eropa saat itu, mengacu pada tiga dekade pertemuan puncak COP yang dimulai pada 1995.
Pernyataan tersebut mencerminkan perdebatan yang menghambat pengurangan bahan bakar fosil. Di COP28, tidak ada kesepakatan soal pengurangan bertahap bahan bakar fosil, memberi kebebasan pada para pencemar. Situasi serupa diperkirakan akan terjadi berulang di Baku.
Isu keempat penting adalah bayang-bayang perang yang semakin intensif dan menyebar di Timur Tengah. Konflik juga terus berlangsung di Ukraina, Sudan, dan Myanmar. Padahal, sukses tidaknya COP sangat bergantung pada kerja sama antarnegara dan membutuhkan konsensus untuk membuat deklarasi resmi. Hilangnya kepercayaan antarnegara menjadi hambatan besar bagi langkah-langkah penyelamatan bumi.
Advertisement
Seruan Gencatan Senjata di Tengah COP29
"Biasanya, negosiasi iklim bersifat tertutup. Namun, tingkat ketegangan ini belum pernah terjadi sebelumnya di zaman modern," kata Dr Jennifer Allan, dosen senior hubungan internasional di Universitas Cardiff. "Sumber daya dialokasikan untuk anggaran pertahanan dan perhatian tidak tertuju pada iklim."
Perang itu menyumbang emisi gas rumah kaca yang signifikan, dengan operasi militer di Gaza diperkirakan menghasilkan 61 juta ton CO2. Itu setara dengan emisi tahunan dari 135 negara, menurut peneliti Inggris dan AS.
Pihak penyelenggara menyerukan agar COP29 menjadi 'COP gencatan senjata'. Mereka juga menekankan perdamaian sebagai tema penting untuk pertama kalinya.
Isu kelima penting menyimpulkan aturan karbon mencakup aturan dan kerangka kerja untuk pasar karbon internasional, yang dapat digunakan oleh negara-negara untuk memenuhi target pengurangan emisi dan membuat pencapaian tujuan tersebut lebih murah. Pada COP29, fasilitator berharap menyelesaikan mekanisme untuk pembelian dan penjualan kredit karbon.
Negara dengan polusi tinggi dapat membeli kredit karbon untuk meningkatkan batas emisi mereka. Kredit ini diperoleh dari negara yang berhasil mengurangi emisi, misalnya melalui pemulihan hutan hujan.
Beberapa inisiatif ini sudah berjalan dalam bentuk percontohan bahkan melalui perjanjian regional atau bilateral. Singapura telah menandatangani perjanjian perdagangan pengimbangan karbon bilateral dengan Papua Nugini dan Ghana.