Studi: Perubahan Iklim Membuat Makanan Laut Berbahaya untuk Dikonsumsi

Ilmuwan menyebut, ada satu jenis bakteri jahat yang berkembang lebih cepat karena perubahan iklim, sehingga membahayakan hewan laut.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 09 Nov 2024, 14:05 WIB
Nelayan memindahkan ikan laut hasil tangkapan di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Kamis (26/10). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan hasil ekspor perikanan Indonesia menunjukkan peningkatan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Berlin - Dampak perubahan iklim tenyata jauh lebih besar, termasuk makanan. Kenaikan suhu Bumi rupanya telah mengakibatkan hilangnya banyak jenis tumbuhan dalam beberapa dekade terakhir.

Kini, berbagai jenis makanan laut juga terancam berbahaya jika dikonsumsi. Sebuah laporan terbaru dari Otoritas Keamanan Pangan Eropa memperingatkan bahwa pemanasan suhu laut menempatkan konsumen ikan pada risiko besar.

Seperti yang dilaporkan Food & Wine, ada kemunculan bakteri jahat akibat perubahan iklim yaitu Vibrio.

Dikutip dari laman Mentalfloss, Sabtu (9/11/2024) mengkonsumsi makanan laut mentah atau kurang matang dapat menyebabkan infeksi bakteri, meskipun biasanya dapat disembuhkan dengan antibiotik.

Gejalanya mengerikan. Penyakit ini dapat menyebabkan demam, sepsis, muntah, diare dan kerusakan jaringan, bahkan kematian.

Meskipun jarang, Vibrio menyebabkan lebih dari 95 persen kematian terkait makanan yang berasal dari laut di Amerika Serikat. Bakteri itu berkembang di perairan yang hangat dan payau, dan jumlahnya diperkirakan akan meningkat seiring suhu laut terus meningkat karena pemanasan global.

Jika ini dibiarkan, bakteri Vibrio akan menjadi lebih lazim hidup di laut dan masuk ke dalam tubuh ikan. Jika ikan ini dikonsumsi oleh manusia, maka bisa menimbulkan permasalahan.


WHO: Perubahan Iklim Meningkatkan Risiko Gigitan Ular Mematikan

Ilustrasi Mimpi Melihat Ular Kecil Credit: pexels.com/Sagar

Jika dampak perubahan iklim terjadi di laut, makan efek buruknya juga bisa terjadi di daratan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperingatkan bahwa perubahan iklim berpotensi membuat penyebaran ular berbisa muncul wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak terdampak. Sehingga meningkatkan risiko manusia mendapatkan gigitan ular.

Ini akan semakin parah apabila terjadi di negara yang memiliki keterbatasan terhadap akses obat penawaran racun akibat gigitan ular.

Menurut David Williams, seorang pakar gigitan ular dari WHO, seseorang bisa meninggal akibat gigitan ular setiap empat hingga enam menit.

Setiap tahunnya, sekitar 240.000 korban gigitan ular mengalami cacat permanen, kata Williams.

Bisa ular dapat menyebabkan kelumpuhan hingga kematian, gangguan pendarahan yang dapat berujung pada pendarahan fatal, gagal ginjal, serta kerusakan jaringan yang dapat mengakibatkan cacat permanen dan kehilangan anggota tubuh.

Williams juga menekankan bahwa kecacatan akibat gigitan ular tidak hanya berdampak pada individu yang terkena, tetapi juga dapat membuat seluruh keluarganya jatuh miskin karena biaya pengobatan yang sangat tinggi.

Infografis Tips Hadapi Suhu Panas dan Gerah. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya