Sri Mulyani: Manufaktur Indonesia Loyo, Tertinggal dari Thailand, Filipina, hingga Vietnam

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, kondisi manufaktur Indonesia tidak jauh berbeda jika dibandingkan negara-negara besar lain di dunia.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 08 Nov 2024, 19:12 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti kinerja manufaktur Indonesia yang lesu. (Maul/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti kinerja manufaktur Indonesia yang lesu. Pelemahan itu terlihat dari realisasi Purchasing Managers' Index (PMI) Manufacturing yang terkontraksi selama empat bulan beruntun.

"Secara global aktivitas manufaktur juga masih melemah 49,4. Ini kontraksi sejak Juli 2024," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, di kantor Kemenkeu pada Jumat (8/11/2024).

Sri Mulyani mengatakan, kondisi manufaktur Indonesia tidak jauh berbeda jika dibandingkan negara-negara besar lain di dunia.  "Sebagian besar negara lain adalah dalam posisi stagnan atau kontraksi," bebernya.

Namun, jika dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara, manufaktur Indonesia tertinggal. Salah satunya Singapura, Filipina, Vietnam, hingga Thailand masih mencatat ekspansi.

"Negara kita masih kontraksi 49,2. Sedangkan Filipina, Vietnam dan Singapura dan bahkan Thailand sudah di level 50," ujar Sri Mulyani.

Lesunya kinerja manufaktur di dalam negeri pun menjadi perhatian Pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Prabowo menyampaikan masalah yang dihadapi manufaktur Indonesia dapat ditangani lebih serius.

 


Indeks Kepercayaan Industri September 2024 Naik, Bukti Manufaktur Indonesia Ekspansi

Indeks ini adalah yang tertinggi sejak Oktober 2021 atau dalam 29 bulan terakhir. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada September 2024 berada di poin 52,48. Nilai tersebut naik dibandingkan IKI Agustus 2024 yakni 52,40.

"IKI pada bulan September 2024 bernilai 52,48 yang beraarti IKI diatas 50 dengan demikian kita menyatakan bahwa industri manufaktur Indonesia pada September 2024 pada level ekspansi," kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, dalam konferensi pers rilis IKI, Senin (20/9/2024).

Febri menjelaskan, IKI pada September 2024 jika dibandingkan dengan IKI Agustus 2024 cenderung stabil. Nilai IKI juga melambat 0,03 poin dibandingkan dengan nilai IKI September tahun lalu yang sebesar 52,51.

Dari 23 Subsektor industri pengolahan yang dianalisis, terdapat 21 subsektor mengalami ekspansi dan 2 subsektor kontraksi. Dari 20 subsektor ekspansi memiliki kontribusi sebesar 97,3 persen terhadap PDB industri pengolahan nonmigas kuartal II-2024.

Adapun dua subsektor yang memiliki nilai IKI tertinggi adalah industri barang galian non logam dan industri peralatan listrik. Sedangkan subsektor yang mengalami kontraksi adalah industri komputer, barang elektronik, dan optik, serta industri pengolahan lainnya.

"Kenapa industri galian non logam nilai IKI-nya tertinggi? disebabkan karena idnustri subsektor semen yang mengalami kenaikanna besar. Sementara pada subsektor industri ubin keramik masih tetap. Industri semen dan keramik merupakan industri galian non logam. Jadi, kalau industri barang galian non logam naik itu karena industri semen," ujar dia.

Febri mengungkapkan, terdapat perlambatan ekspansi nilai IKI variabel pesanan baru sebesar 2,71 poin dari 54,66 pada bulan Agustus 2024 menjadi 51,95 pada September 2024. Sebaliknya, nilai IKI variabel persediaan produk mengalami peningkatan sebesar 0,31 poin enjadi 55,85.

"Selanjutnya, nilai IKI variabel produksi kembali mengalami ekspansi, naik sebesar 4,58 poin dari 46,54 pada bulan Agustus menjadi 51,12 poin pada September 2024," ujarnya.

 


Kepastian Hukum jadi Kunci Picu Kinerja Industri Manufaktur di Indonesia

Sebelumnya, kepastian hukum menjadi salah satu faktor penting yang dapat memacu kinerja industri manufaktur di Indonesia. Oleh sebab itu, Kementerian Perindustrian konsisten untuk turut menciptakan iklim usaha yang kondusif di tanah air sehingga produktivitas sektor industri manufaktur tetap berjalan baik.

Hal tersebut diungkapkan Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reni Yanita dalam diskusi bertajuk 'Permendag No 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional, di Jakarta, Senin (8/7/2024).

“Optimisme para pelaku industri menurun karena dipengaruhi oleh regulasi yang kurang mendukung. Hal ini tercemin dari melemahnya PMI manufaktur Indonesia dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI), meskipun kedua indikator itu masih dalam fase ekspansi,” kata dia.

Adapun regulasi yang dinilai oleh pelaku industri tidak probisnis, yaitu penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Peraturan tersebut merelaksasi impor barang-barang dari luar negeri yang sejenis dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri.

“Dampak dari pemberlakukan Permendag 8/2024, antara lain menurunnya minat investasi karena terlalu cepatnya perubahan regulasi tersebut,” ungkap Reni.

Padahal, di sektor IKFT, terdapat beberapa investor yang berencana merealisasikan modalnya untuk memproduksi bahan baku plastik(BBP).

“Namun dikarenakan regulasi yang bertujuan mengontrol impor dicabut, yakni Permendag 36/2023, membuat investor berpikir kembali untuk melakukan investasi di Indonesia,” imbuhnya.

 


12 Pos Tarif

Pada Permendag 36 tahun 2023, sebanyak 12 pos tarif untuk komoditas BBP diusulkan pengaturan impornya. Sedangkan, pada Permendag 8 Tahun 2024, pengaturan impor untuk komoditas BBP dikurangi jumlahnya menjadi satu pos tarif.

Pada tahun 2023, total impor produk petrokimia sebesar 8,5 juta ton, naik dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 7,75 juta ton. Oleh karena itu, Kemenperin fokus untuk menjalankan kebijakan substitusi impor dan terus meningkatkan investasi di industri petrokimia agar memperkuat strukturnya di dalam negeri sehingga terintegrasi dari hulu sampai hilir.

“Saat ini, kapasitas pasokan untuk komoditi Polivinil klorida (PVC), Polietilen tereftalat (PET) dan Polistirena (PS) sudah dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sementara, kapasitas pasokan Polietilena (PE) dan Polipropilena (PP) masih belum mecukupi kebutuhan dalam negeri, namun saat ini sedang dalam tahap pengembangan,” tuturnya.

Kemenperin memprediksi, sejumlah proyek industri kimia di Indonesia sampai tahun 2030, total nilai investasinya akan mencapai USD31.415 juta. Adapun para investor tersebut, di antaranya dari PT. Chandra Asri Perkasa, PT. Lotte Chemical Indonesia, PT. Sulfindo Adiusaha, proyek olefin TPPI Tuban, dan proyek GRR Tuban.

 

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya