Liputan6.com, Baku - Lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan diperkirakan akan menghadiri COP29 yang diselenggarakan di Baku, Azerbaijan, 11-22 November 2024.
Sayangnya, Konferensi Perubahan Iklim ke-29 Perserikatan Bangsa-Bangsa itu dibayangi oleh bau minyak yang menyengat di udara. Ini menjadi bukti melimpahnya bahan bakar fosil di negara kecil di pesisir Laut Kaspia ini.
Advertisement
Dilansir The Guardian, Jumat (8/11/2024), Azerbaijan merupakan negara produsen minyak, yang mengandalkan ekonominya dari produksi minyak mentah dan gas alam.
Suar dari kilang-kilang minyak di negara tersebut bahkan mampu menerangi langit malam, dan sumur minyak kecil memenuhi kota Baku.
Azerbaijan telah dibangun di atas minyak sejak pertengahan abad ke-19, dan bahan bakar fosil sekarang mencapai 90 persen dari ekspornya. Hal ini menjadi dilema ketika para peserta COP29 harus memutuskan apakah Bumi akan dibiarkan terbakar sehingga produsen bahan bakar fosil dapat terus menghasilkan uang, atau apakah akan mengambil jalan yang berbeda.
Donald Trump Jadi Topik Utama
Di sisi lain, presiden baru Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga turut menjadi topik pembicaraan utama bagi puluhan ribu delegasi KTT Iklim COP29.
Sementara saat ini, AS merupakan negara yang memproduksi minyak dan gas paling banyak, dengan 20 persen lebih banyak lisensi minyak dan gas yang dikeluarkan selama pemerintahan Biden daripada selama masa jabatan pertama Trump.
"Hasil dari pemilu ini akan dilihat sebagai pukulan besar bagi aksi iklim global tetapi tidak dapat dan tidak akan menghentikan perubahan yang sedang berlangsung untuk mendekarbonisasi ekonomi dan memenuhi tujuan perjanjian Paris," kata Christiana Figueres, mantan kepala iklim PBB yang merupakan salah satu pendiri lembaga pemikir Global Optimism.
Advertisement
Ilmuwan Desak Perubahan Segera
Pertemuan di Baku merupakan kesempatan para pemimpin dunia untuk kembali menegaskan komitmen mereka terhadap perjanjian iklim Paris 2015, dalam membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius dan tercapainya emisi nol bersih dalam dua decade mendatang.
Para ilmuwan mengatakan masih ada peluang untuk menghindari kerusakan terburuk akibat kerusakan iklim jika dunia bertindak sekarang.
"Realitanya tetap bahwa kecuali dunia secara kolektif meningkatkan upayanya, dampak perubahan iklim akan menjadi semakin parah dan sering terjadi serta akan dirasakan oleh semakin banyak orang di semua negara, termasuk di AS," kata Kaveh Guilanpour, wakil presiden strategi internasional di Center for Climate and Energy Solutions, sebuah lembaga pemikir AS.
"Realitanya adalah tidak ada masa depan yang makmur atau aman dengan karbon tinggi bagi siapa pun."
Prospek hasil yang kuat dari pertemuan puncak Baku mungkin tampak suram, dengan suara-suara sayap kanan dan anti-nol bersih yang meningkat di AS, Eropa, dan tempat lain.
Namun, ada harapan bahwa COP29 akan mengatasi setidaknya satu dari isu utama yang kemungkinan menjadi solusi dari tindakan tersebut, yakni pendanaan.