Menuju Wajib Sertifikasi Halal Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan PKL 2026

Ditunda dari 2024 menjadi 2026, bagaimana tanggapan para PKL dan UMK di bidang kuliner menanggapi kewajiban sertifikasi halal tersebut?

oleh Henry diperbarui 09 Nov 2024, 10:00 WIB
Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) berjualan di kawasan Pasar Lama Tangerang, Banten, Sabtu (18/9/2021). Pemerintah akan meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk 1,2 juta PKL dan pemilik warteg dengan total Rp 1,2 triliun pada pekan depan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menunda pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman usaha mikro dan kecil (UMK) dan pedagang kaki lima (PKL) dari 18 Oktober 2024 menjadi Oktober 2026. Adapun bagi selain produk UMK yang terkategori self declare, misalnya produk usaha menengah dan besar, menurut Kementerian Agama (Kemenag) kewajiban sertifikasi halalnya tetap diberlakukan mulai 18 Oktober 2024.

Dikutip dari laman resmi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), 16 Mei 2024, kebijakan penundaan kewajiban sertifikasi halal produk makanan dan minuman UMK ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pelaku UMK. Dengan penundaan ini, pelaku UMK diberi kesempatan untuk mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB) dan mengajukan sertifikasi halal sampai Oktober 2026.

Keputusan ini juga untuk melindungi pelaku usaha, khususnya UMK, agar tidak bermasalah secara hukum atau terkena sanksi administratif. Lalu bagaimana tanggapan para PKL dan UMK di bidang kuliner menanggapi kewajiban sertifikasi halal tersebut?

Pak Sukat, seorang pedagang bakso keliling di sekitar kawasan Kemanggisan, Jakarta Baratr, mengaku tak masalah jika diminta untuk mengurus sertifikasi halal. Menurut dia, yang terpenting adalah tidak memberatkan PKL dengan biaya tinggi, dan kalau bisa digratiskan.

Namun, Pak Sukat juga menuturkan, pengurusan sertifikasi halal akan merepotkan pelaku usaha lantaran memakan waktu yang lama. Dirinya juga menyayangkan bahwa penjual makanan keliling juga terimbas wajib sertifikasi. 

"Biasanya kalo pedagang-pedagang kecil kayak kita kan enggak pake sertifikat halal, merepotkan sih, saya kan pedagang keliling bukan mangkal atau punya warung,” katanya pada Liputan6.com, Kamis, 7 November 2024.

Bukan itu saja, berdasarkan pengalamannya berdagang, ia juga mengaku tak pernah bertemu pembeli yang menanyakan kehalalan produk jualannya. Di sisi lain, pemilik restoran Chic N' Chiz di kawasan kampus Bina Nusantara (Binus) di Jakarta Barat, Suryanto Wijaya mengakui, sangat penting bagi konsumen unruk mengetahui bahwa restoran miliknya menyajikan makanan halal. Ia pun mencantumkan label halal di tempat usahanya.

 


Beda Pendapat Soal Sertifikasi Halal

Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) berjualan di kawasan Pasar Lama Tangerang, Banten, Sabtu (18/9/2021). Pemerintah akan meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk 1,2 juta PKL dan pemilik warteg dengan total Rp 1,2 triliun pada pekan depan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Meski begitu, Suryanto mengakui belum memiliki sertifkat halal yang kini dikelola oleh Kemenag. "Kalau menurut saya, sertifikat halal memang penting, tapi rasanya lebih penting buat restoran-restoran besar. Kalau bagi kita yang termasuk restoran UMKM, rasanya agak ribet prosesnya," terang Suryanto pada Liputan6.com, Jumat, 18 Agustus 2023.

Ia mengakui, terkadang ada yang menanyakan apakah tempat makan miliknya menyajikan makanan halal atau tidak. Ia selalu menerangkan dan meyakinkan para pengunjung bahwa mereka adalah restoran yang menghidangkan makanan halal

"Soal rencana kewajiban punya sertifikasi halal, terus terang saya belum tahul beritanya seperti apa. Ya kalau nantinya memang wajib tentunya saya harus mengurusnya. Kita lihat saja nanti perkembaangannya<” lanjutnya.

Lalu ada Ruli, pemilik warung Tegal (warteg) di kawasan Mampang, Jakarta Selatan yang juga baru mendengar ada kewajiban sertifikasi halal bagi PKL dan UMK.  Selama ini warteg Ruli selalu menyajikan makanan dan minuman halal dan para pelanggannya juga sudah mengetahui hal itu. Ia mengaku permah dapat informasi soal sertifikasi halal beberapa tahun lalu tapi tidak tahu kalau itu akan jadi kwajiban di masa mendatang.

"Ya kalau memang wajib, mau nggak mau harus diurus biar usaha kita lancar. Cuma informasinya selama ini belum jelas dan setahu saya belum ada petugas atau siapa saja dari pemerintah buat kasih tahi soal sertifikat halal ini, jadi wajar banyak yang belum tahu," tutunya pada Liputan6.com, Rabu, 6 November 2024.


Informasi dari Pemerintah

Ussy Sulistiawaty saat memborong bakso yang dijual dua orang pedagang keliling. (YouTube Ussy Andhika Official)

"Jadi kalau bisa ada informasi yang jelas dan resmi dari pemerintah, supaya kita sebagai pemilik usaha bisa tahu imformasi yang sejelas-jelasnya. Saya juga belum tahu bagaiaman mengurus sertifikasi halal, berapa biayanya. Ya mungkin setelah inu harus rajin cari informasi tentang sertifikasi halal ini,” tambahnya.

Mantan Wakil Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar kebijkan sertifikasi halal untuk semua pelaku usaha kuliner ini sudah disiapkan sejak lama, bahkan sudah sejak 2013 siap untuk diterapkan. Namun ternyata beberapa kali mengalami penundaan sampai kemudian bsru diberlakukan di tahun ini, terkecuali untuk pedagang dan usaha kecil baru diwajibkan pada dua tahun mendatang.

Menurut Pendiri Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) dan Indonesia Tourism Forum (ITF) ini, ada beberapa kekurangan yang membuat para UMK dan PKL banyak yang belum tergerak dan bahakn tidak tahu-menahu soal rencana kewajiban sertifikasi halal ini.

"Kenapa belum banyak yang tahu, ya kerena sosialosainya masih sangat kurang, informasinya juga belum banyak yang tahu. Ini jadi tantangan karena memang pedagang kuliner ini sangat banyak sampai di pelosok-pelosok," jelas Sapta pada Liputan6.com, Jumat, 8 November 2024.

Jika dibandingkan dnegan sembilan atau 10 tahun lalu, kata Sapta, sudah ada peningkatan kesadaran para pedagang kecil tentang sertifikasi halal. Meski begitu, jumlahnya masih sangat kecil apalagi dibandingkan dengan jumlah PKL maupun UMK kuliner yang jumlahnya begitu banyak di Indonesia.


Kurang Sosialisasi pada PKL dan UMK

Chairman Tour de Singkarak Sapta Nirwandar menyampaikan sambutan saat jumpa pers penyelenggaraan Tour de Singkarak 2015 di Jakarta, Jumat (12/6). Tour de Singkarak dijadwalkan berlangsung pada 3-11 Oktober 2015. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

"Indonesia seharusnya bisa, karena negara tetangga kita yang muslimnya minoritas yaitu Thailand bisa menerapkan ini. Pedagang makanan seperti street food di Thailand sudah punya kesadaran memiliki sertifikasi halal karena di terjalin kerja sama yang bagus antara yang muslim dengan yang non-muslim,” ungkapnya.

"Selain itu mereka memahami sistem '2 in 1', yaitu dagangan mereka bukan hanya dibeli oleh pembeli non-muslim tapi juga yang muslim, karena yang muslim jadi lebih yakin dengan adanya sertifikat halal yang resmi mereka akan menbeli, jadi pasarnya jadi lebih luas," sambungnya.

Sapta menambahkan, itu adalah pemikiran yang simpel tapi bisa sangat berpengaruh secara psikologis pada para konsumen. Mereka (konsumen) merasa hak-hak mereka dipenuhi dan dilindungi sehingga mereka merasa tenang dan aman membeli produk makanan dan minuman.

"Ini memang tidak mudah karena penduduk kita sangat banyak/ Tapi kita harus tetap optimistis, kita hanya perlu waktu lebih lama dan jangan lupa untuk terus mensosialisasikan dan menginformasikan sertifikasi halal," pungkasnya.

 

Infografis Prosedur Pengajuan Sertifikat Halal. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya