Liputan6.com, Jakarta - Nasib RUU Perampasan Aset yang terkatung-katung hampir satu dekade kembali disorot. Apalagi, muncul wacana yang digaungkan DPR untuk mengubah diksi nama payung hukum itu dari perampasan menjadi pemulihan.
Pengamat Hukum Pieter C Zukifli menyebut penggantian diksi perampasan menjadi pemulihan bisa mengurangi semangat tegas yang ingin disampaikan dari RUU tersebut. Pieter mengingatkan jika DPR hanya berfokus pada istilah, RUU ini justru bisa kehilangan esensinya.
Advertisement
"Jelas saja perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah perubahan kata ini hanyalah soal linguistik, atau justru memengaruhi esensi dari RUU tersebut?" kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya.
Dia menyinggung soal tidak sejalannya sikap Parlemen dengan pemerintah terkait penggantian diksi dari RUU tersebut.
Pieter Zulkifli menerangkan jika illicit enrichment atau peningkatan kekayaan ilegal merupakan elemen penting dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, UNCAC sendiri mengamanatkan pengaturan soal illicit enrichment yang memungkinkan penyitaan aset yang diperoleh secara ilegal.
"Tanpa elemen ini, RUU Perampasan Aset hanya akan fokus pada pemulihan aset tanpa memperhatikan asal-usul harta tersebut," kata Pieter Zulkifli.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu memandang RUU Perampasan Aset bukan sekadar masalah terminologi, tetapi juga mencerminkan strategi optimal dalam pemberantasan korupsi.
Dia menekankan urgensi perampasan aset bukan sekadar masalah kepentingan-kepentingan dalam konteks penegakan hukum, contohnya penyitaan perampasan, tapi lebih kepada UNCAC yang berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi yang optimal.
"Penggantian diksi perampasan menjadi pemulihan bisa mengurangi semangat tegas yang ingin disampaikan RUU tersebut. Karena, perampasan aset ilegal bukan sekadar soal pemulihan atau pengembalian aset, melainkan bagian integral dari upaya memberantas akar korupsi di Indonesia," kata dia.
Dia menyebut pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan penggunaan uang kartal dan penyitaan aset yang tidak wajar adalah langkah konkret yang seharusnya menjadi prioritas utama. Sehingga, jika hanya berfokus pada istilah, RUU ini bisa kehilangan esensinya.
Pieter Zulkifli menuturkan RUU Perampasan Aset bukanlah hal baru dalam pembahasan legislasi Indonesia. Diinisiasi sejak 2008 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), RUU ini mengalami bongkar pasang draf beberapa kali.
Mulai dari draf awal 2012, kemudian revisi pada 2019, hingga draf terbaru di 2023, perubahan terus dilakukan, tetapi pengesahan tak kunjung tiba. Isu-isu seperti perampasan aset tanpa proses pidana dan penghapusan hak gugat menjadi kontroversi yang tak kunjung tuntas.
Dia juga mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah beberapa kali mendorong agar DPR mempercepat pengesahan RUU ini. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menekankan bahwa RUU Perampasan Aset sangat penting untuk mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Sayangnya, meski menjadi prioritas, hingga sidang Paripurna terakhir DPR pada Februari 2024, pembahasan RUU ini kembali kandas," kata Pieter Zulkifli.
Kompleksitas
Pieter Zulkifli menyatakan RUU Perampasan Aset menjadi gambaran kompleksitas penegakan hukum di Indonesia. Hambatan legislasi, perdebatan diksi, dan isu-isu substansial terkait pemberantasan korupsi menjadi pertanyaan besar publik.
"Apakah ada kemauan politik yang cukup kuat untuk meloloskan RUU ini? Atau, mungkinkah tarik-menarik kepentingan justru meredam urgensi dari sebuah kebijakan yang diharapkan mampu menekan laju korupsi?" ucapnya.
Dia mengatakan bagi masyarakat, RUU ini diharapkan menjadi alat efektif untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas para penyelenggara negara. Publik juga berharap agar RUU Perampasan Aset ini segera disahkan tanpa lagi terjebak dalam polemik diksi semata.
"Sebab, apa pun istilahnya, yang terpenting adalah keberanian dan komitmen nyata untuk menindak korupsi hingga ke akar-akarnya, demi Indonesia yang lebih bersih dan bebas dari praktik korupsi," tegasnya.
Advertisement