Liputan6.com, Jakarta - Sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman usaha mikro dan kecil (UMK) serta pedagang kaki lima (PKL) masih menjadi polemik di masyarakat. Hingga akhirnya kebijakan tersebut ditunda yang semula wajib dilaksanakan pada 18 Oktober 2024 menjadi Oktober 2026.
Kebijakan kelonggaran yang diberikan terkait sertifikat halal harus dilakukan, lantaran banyak pelaku usaha yang belum benar-benar siap. "Produk impor juga diberi kelonggaran sampai maksimal 17 Oktober 2026 menyesuaikan dengan kesiapan akreditasi lembaga sertifikasi luar negeri," ungkap Direktur Utama LPPOM, Muti Arintawati, dalam wawancara tertulis pada Jumat, 8 Novemeber.
Advertisement
Lebih lanjut, Muti mengatakan bahwa kebijakan pelonggaran tersebut harus diimbangi dengan sosialisasi yang semakin gencar dan pengawasan serta penegakan hukum yang tegas. Sebab, perlu diingat bahwa sertifikasi halal suatu produk tidak hanya didorong oleh regulasi, tetapi juga dorongan permintaan baik konsumen akhir, maupun industri pengguna yang kena kewajiban sertifikasi halal.
"Jadi pelaku usaha tidak bisa serta merta berleha-leha dengan adanya kebijakan pelonggaran tersebut," sambungnya.
Untuk mendukung sertifikasi halal terutama UMKM, LPPOM pun mendorong pemerintah untuk terus mengupayakan ruang edukasi hingga fasilitasi pembiayaan, khususnya bagi produk yang kritis dan berada di hulu seperti jasa sembelih atau Rumah Potong Hewan/Unggas (RPHU). "Jika sektor tersebut telah terpenuhi, maka UMKM penggunanya akan lebih mudah mendapatkan bahan baku bersertifikat halal," cetusnya.
Masalah utama yang menjadi kendala adalah biaya yang harus dikeluarkan pelaku bisnis. Muti menyebut bahwa terkait pembiayaan perlu ditekankan bahwa saat ini ada dua jalur proses sertifikasi, yaitu self-declare dan regular. "Secara rinci, tarif sertifikasi halal tercantum dalam Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Nomor 14 Tahun 2024," paparnya.
Tarif Sertifikasi Halal Mulai dari Nol Rupiah
Ia menjelaskan sertifikasi halal self-declare mencakup pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen, lembaga pendampingan proses produk halal, pendamping proses produk halal, penyelenggaraan sidang fatwa kehalalan produk oleh Komite Fatwa Produk Halal dan penerbitan sertifikat halal. Biaya ini akan ditanggung pemerintah hingga Rp0,00 (nol rupiah) atau tidak dikenai biaya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
Sementara untuk sertifikasi halal jalur regular, tarif sertifikasi halal mencakup pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen, pemeriksaan kehalalan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), penyelenggaraan sidang fatwa kehalalan produk oleh MUI, penerbitan sertifikat halal.
Muti menyebut, untuk mendorong pelaku UMK dalam sertifikasi halal, LPPOM bekerjasama dengan sejumlah lembaga, instansi pemerintah dan perusahaan dalam fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal. Selain itu, LPPOM juga secara mandiri menyelenggarakan program Festival Syawal sebagai bentuk Corporate Social Responsibility (CSR).
Program ini berupa bimbingan teknis dan fasilitasi sertifikasi halal secara gratis ataupun bersubsidi. Tahun ini, fasilitasi sertifikasi halal gratis melalui program Festival Syawal telah digelar untuk sejumlah UMK, utamanya di lima destinasi wisata prioritas, yakni Borobudur, Danau Toba, Likupang, Mandalika, dan Labuan Bajo.
Advertisement
Biaya Sertifikasi Dipakai untuk Apa?
Dalam konteks jalur regular, sertifikasi halal sama dengan sertifikasi atau akreditasi lainnya, misalnya layak hygiene atau keamanan pangan. Untuk lebih obyektifnya, tarif sertifikasi halal sebaiknya dibandingkan dengan tarif sertifikasi lainnya yang diproses oleh pihak swasta sehingga dapat dilihat bahwa tarif ini relatif lebih terjangkau dibandingkan sertifikasi lainnya.
Sertifikasi halal bukan sekadar pengecekan bahan, tapi ada sistem yang perlu dibentuk sehingga perusahaan mampu memenuhi seluruh kriteria Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Dengan terpenuhinya kriteria ini, masyarakat mendapat jaminan kehalalan produk.
Dalam seluruh rangkaian proses sertifikasi halal, LPH memerlukan sejumlah biaya untuk menutupi setiap jasa yang dilakukan, mulai dari biaya administrasi, pemeriksaan kehalalan (audit), maintenance sistem online yang memudahkan perusahaan dalam monitoring proses sertifikasi halal, uji laboratorium jika diperlukan, dan biaya operasional lainnya. Selain itu, ada juga biaya untuk pendaftaran ke BPJPH dan biaya penetapan fatwa ke MUI yang perlu dikeluarkan pelaku usaha.
Perlu edukasi secara massif bahwa sertifikasi halal ini merupakan salah satu bentuk investasi untuk meningkatkan daya saing sebuah produk. Singkatnya, halal bukan sebatas pemeriksaan bahan baku atau fasilitas produksi, melainkan bagaimana memberikan jaminan kehalalan yang berkesinambungan setelah sertifikat halal diperoleh.
Karena itu, mulai dari bahan masuk hingga sampai ke tangan konsumen, produk dapat dipastikan halal. Terkait biaya, perlu ada kerjasama berbagai pihak yang dapat memberikan skema pembiayaan sehingga UMKM yang kesulitan membayar dapat mendapat keringanan.
Sertifikat Halal Elemen Krusial Bagi Pelaku Bisnis
"Kami memandang sertifikasi Halal sebagai elemen yang krusial karena beberapa alasan strategis," ungkap CEO PT Bumi Berkah Boga yang membawahi merek Kopi Kenangan, Edward Tirtanata dalam wawancara tertulis dengan Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat 8 November 2024.
Pertama, sertifikasi halal sudah diakui sebagai tolak ukur penting untukmemberikan jaminan kepada konsumen, terutama di Indonesia yang memiliki mayoritaspenduduk beragama Islam. Dengan sertifikasi Halal, Kopi Kenangan ingin memastikan setiap produk yang dijual sesuai dengan ketentuan syariah, sehingga pelanggan dapat mengkonsumsi produk dengan rasa aman dan nyaman.
Selain itu, di tengah kompetisi ketat di industri F&B, sertifikasi halal menurut Edward memberikan keunggulan kompetitif karena menjadi nilai tambah yang relevan dan diharapkan oleh konsumen Muslim. "Hal ini terbukti mendorong pertumbuhan Kopi Kenangan yangsignifikan sejak memperoleh sertifikat Halal pertama kali pada 2020," bebernya lagi.
Sejak itu, Kopi Kenangan berkembang pesat dari 320 gerai menjadi lebih dari 900 gerai di seluruh Indonesia. Sertifikasi ini juga membantu perusahaan mematuhi regulasi pemerintah, yang mewajibkan industri F&B untuk mendapatkan sertifikasi Halal pada produk-produknya.
Untuk biaya sertifikasi halal, Kopi Kenangan sendiri mengacu ke KEPKABAN BPJPH no. 141. Biaya tersebut menurut Edward tergantung dari berapa banyak produk, fasilitas dan bahan yang didaftarkan, serta kategori perusahaan yang dapat dilihat dari Nomor Induk Berusaha (NIB).
"Meskipun ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk memperoleh Sertifikat Halal, namun keuntungan yang di dapat dalam jangka waktu panjang dalam hal kepercayaan konsumen, masa berlaku sertifikat serta akses pasar yang lebih luas sebanding denga ninvestasi biaya tersebut," papar Edward lagi.
Advertisement
Pelaku Bisnis Berharap Sertifikasi Halal Lebih Sederhana dan Efisien
Setelah memperoleh sertifikasi Halal, Kopi Kenangan merasakan dampak yang signifikan di berbagai aspek bisnis. Salah satunya adalah peningkatan kepercayaan danloyalitas konsumen. Sertifikasi ini memberi rasa aman bagi pelanggan yangmengutamakan makanan dan minuman yang Halal (dibolehkan secara syariat) dan Thayyib (baik, bersih dan berkualitas), sehingga mendorong mereka untuk lebih loyal dan membuat Kopi Kenangan menjadi pilihan yang meyakinkan.
Dengan kepercayaan konsumen yang semakin kuat, sertifikasi halal ini menjadi dasar penting dalam mempertahankan dan memperluas pasar. Selain manfaat di pasar domestik, sertifikasi Halal juga membuka jalan bagi Kopi Kenangan untuk memasuki pasar internasional, terutama di negara-negara dengan populasi Muslim yang besar.
Lebih jauh, meski sudah mendapat sertifikat halal, Edward berharap agar proses sertifikasi halal di masa depan bisa lebih sederhana dan efisien, terutama bagi pelaku industri F&B yang baru memulai. Selain itu, Kopi Kenangan juga menyarankan adanya dukungan lebih lanjut dalam bentuk konsultasi atau pendampingan dari pihak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sehingga pelaku usaha bisa lebih memahami standar yang diperlukan, termasuk penyiapan dokumen, implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), dan audit.
Di sisi lain, peningkatan transparansi dan kejelasan persyaratan juga diharapkan agarlebih mudah diikuti oleh pelaku usaha, terutama UKM yang mungkin memiliki sumber daya terbatas. "Dukungan ini diharapkan akan membantu perusahaan-perusahaan kecil untuk memenuhi kewajiban Halal tanpa mengorbankan produktivitas atau biaya yang besar, sehingga industri F&B di Indonesia secara keseluruhan dapat terus berkembangdan memberikan pilihan yang lebih aman bagi konsumen," tutupnya.