Liputan6.com, Langkat Anggota Kelompok Putri Mangrove di Dusun Lubuk Jaya, Desa Kwala Serapuh, Kabupaten Langkat, mengikuti workshop kewirausahaan dan produksi cocopeat. Desa Kwala Serapuh berada di ujung pesisir timur Sumatera, jaraknya 80 km lebih dari Kota Medan.
Ada 22 orang perempuan Anggota Kelompok Putri Mangrove yang mengikuti workshop pada Selasa, 5 November 2024. Penghasilan utama masyarakat di desa ini berasal dari hasil laut dan nipah.
Sebenarnya mereka memiliki potensi sumber daya alam yang kurang dimaksimalkan, yaitu kelapa. Sebagai desa yang berada di pesisir, kelapa tumbuh tanpa ditanam. Dari kelapa, serabutnya bisa diolah menjadi cocopeat dan coco fiber.
Baca Juga
Advertisement
Kegiatan digagas oleh sebuah lembaga yang bergerak di isu lingkungan, Green Justice Indonesia (GJI), dan juga Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut), terkait dengan pengolahan limbah kelapa.
Direktur GJI, Panut Hadisiswoyo mengatakan, bersama Walhi Sumut sudah setahun mendampingi masyarakat Desa Kwala Serapuh. Pihaknya ingin berbagi bagaimana menciptakan peluang baru untuk berwirausaha, salah satunya memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia.
"Kami awalnya menawarkan ide untuk membantu usaha pembuatan gula nipah. Setelah berkonsultasi, ternyata gula nipah kurang diminati," Panut menuturkan.
Masyarakat berpendapat, pembuatan gula nipah cukup sulit. Biaya produksinya kurang efisien, sehingga muncul cocopeat sebagai salah satu alternatif peningkatan ekonomi masyarakat yang bisa melibatkan tidak hanya dari laki-laki atau suami.
"Kenapa pesertanya ibu-ibu atau perempuan, karena diharapkan mereka memiliki kekuatan ekonomi sendiri untuk membantu keluarga. Sehingga tercipta ketangguhan ekonomi dalam keluarga," Panut menjelaskan.
Narasumber Berpengalaman
Disebutkan Panut, narasumber yang dihadirkan adalah Hawarina Simbolon, yang sudah berpengalaman menjajaki pasar internasional. Hawarina baru pulang dari Texas, Amerika Serikat, untuk memasarkan produk fesyen dengan bahan baku ulos.
Tidak hanya Hawarina, juga dihadirkan praktisi cocopeat, M Chandra, yang tidak hanya memberi pemahaman tentang pentingnya mengolah serabut kelapa menjadi bernilai ekonomis, tetapi juga membantu secara teknis mengoperasikan alat sekaligus pemasaran.
"Harapannya, dengan pelatihan dan alat yang diberikan dapat membantu masyarakat berwirausaha, kemudian meningkatkan ekonomi keluarga dengan bahan baku yang ada di sekitar, yang selama ini kurang dimaksimalkan," sebut Panut.
Hawarina sendiri menjelaskan tentang definisi kewirausahaan sebagai kemampuan menciptakan, mengelola, dan mengembangkan usaha secara inovatif, kreatif, dan berani mengambil resiko, serta berorientasi pada solusi dalam upaya meningkatkan ekonomi.
Sebagai contoh di Desa Kwala Serapuh yang bahan baku pembuatan cocopeat melimpah, sangat menarik untuk dikembangkan. Selain kebutuhan di pasar lokal juga banyak, peluang ekspor juga terbuka lebar.
"Begitupun dengan kerajinan tangan yang dibuat dari cocopeat," ujarnya.
Menurut Hawarina, pasar luar negeri sangat menghargai produk kerajinan tangan. Dia sudah membuktikan saat memasarkan ulos. Harga jualnya bahkan bisa 10 kali lipat dari harga di lokal.
"Selain melakukan analisis pasar, juga penting untuk mengemas strategi pemasaran. Misalnya dengan media sosial," bebernya.
Hawarina juga mengatakan, yang sangat penting adalah memberi cerita pada produk yang dihasilkan. Untuk pasar luar negeri, tidak cukup hanya menjual produk saja, melainkan pada produk tersebut harus ada cerita yang bisa menggugah orang untuk membeli.
"Namanya harus menarik, juga harus eco friendly. Misalnya, kemasan ramah lingkungan. Tidak dengan plastik, harganya kompetitif. Ada cerita bahwa dengan membeli produk ini, mereka juga membantu memberdayakan perempuan-perempuan di pesisir," ungkapnya.
Advertisement
Tingkatkan Ekonomi dari Bahan Baku yang Ada
Narasumber lainnya, M Chandra berbagi pengalaman tentang usaha cocopeat. Dia mengatakan, bermula saat Covid-19 melanda dan membuat perekonomian keluarga sulit. Dia berpikir bagaimana bisa meningkatkan ekonomi dari bahan baku yang ada di sekitar desanya.
Chandra bertemu dengan teman-temannya yang sudah memproduksi cocopeat lebih dulu. Dia pun mencari tahu di YouTube. Lalu, mulai membeli mesin pencacah serabut kelapa dan bahan bakunya di desa sekitar.
"Sedikit demi sedikit menjadi bukit. Saya berhasil memproduksi dan memasarkannya," Chandra bercerita.
Diterangkan Chandra, cocopeat ini terbuat dari sabut kelapa bermanfaat untuk menyuburkan tanah, menjadi kompos. Bisa dilah menjadi coco fiber sebagai media tanam atau pengganti kain mulsa. Atau bahan pembuat kasur dan sora.
Bahan baku serabut kelapa melimpat di Langkat. Harga serabut kelapa sebanyak 1 mobil pikap, hanya Rp 75.000. Dapat diolah menjadi 30 hingga 50 karung, yang mana dalam 1 karung beratnya sekitar 18 kg. Sedangkan harga jual cocopeat, mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 38.000.
"Pada awalnya memasarkan produk ini cukup sulit. Sekarang cocopeat banyak diminati untuk proyek pembibitan, konstruksi seperti jalan tol. Bahkan kami sering kewalahan memenuhi permintaan. Satu mesin itu bisa menghasilkan pendapatan bersih Rp 150.000 hingga Rp 200.000," katanya.
Saat ini permintaan cocopeat cukup tinggi dan belum bisa dipenuhi oleh 29 mesin yang beroperasi di Langkat, di antaranya di Desa Pulau Banyak, Sangga Lima, Sungai Rebat.
"Harapan saya dengan beroperasinya mesin cocopeat di Kwala Serapuh ini, bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Pemasaran tidak perlu khawatir. Kita bisa membuka dan berbagi pasar bersama," sebutnya.
Pacu Masyarakat Maksimalkan Potensi
Ketua Kelompok Putri Mangrove, Putri Handayani mengatakan, selama ini bahan baku cocopeat, yakni serabut kelapa di desanya tidak pernah dimanfaatkan. Dengan adanya mesin pencacah dan pelatihan ini, dia yakin dapat memacu masyarakat untuk memaksimalkan potensi.
Dengan cocopeat, menurutnya, akan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga, yang mana sebelumnya ibu-ibu rumah tangga umumnya tidak memiliki pekerjaan. Apalagi, pasar untuk cocopeat ternyata terbuka lebar saat ini, sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
"Harapan saya agar ibu-ibu yang tidak punya pekerjaan bisa terlibat, sehingga dapat meningkatkan ekonomi keluarga, bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan mendukung suami," ujarnya.
Manajer Program GJI, Sofian Adly mengatakan, selain pelatihan juga dilakukan pembibitan nipah sebanyak 3.000 batang untuk ditanam di wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang dikelola Kelompok Tani Nipah seluas 242 hektare.
"Tujuan utamanya melestarikan ekosistem dan menyediakan habitat yang baik bagi ikan, udang dan kepiting," ujarnya.
Manfaat paling nyata dan penting dari hutan nipah adalah sebagai salah satu sumber mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat, yakni pucuk nipah yang menjadi sebagai bahan dasar pembuatan kertas rokok.
"Didinya dapat diolah menjadi berbagai kerajinan tangan, seperti piring lidi dan produk lainnya," bebernya.
Pria yang akrab dipanggil Ali ini mengatakan, di desa ini masyarakat telah berupaya melakukan pelestarian. Meski demikian, masih dibutuhkan peran serta pihak lain melalui kolaborasi positif misalnya dalam hal mitigasi perubahan iklim.
Kawasan ini memiliki banyak potensi sebagai tempat penelitian di bidang pertanian, kelautan, dan kehutanan. Desa Kwala Serapuh bisa menjadi laboratorium alami bagi perguruan tinggi untuk penelitian sosial-ekonomi masyarakat, ekologi, serta vegetasi dan habitat yang sangat kompleks di sungai tersebut.
"Saat berkeliling, saya melihat betapa teduhnya hutan nipah yang terjaga dengan baik. Namun, ada juga hutan nipah di pinggir sungai yang terganggu yang telah dialihfungsikan menjadi sawit, yang berdampak pada kerusakan vegetasi dan habitatnya," terangnya.
Dalam kasus ini, menurutnya, negara harus hadir untuk menyelamatkan hutan mangrove di wilayah ini dengan mempertegas batas wilayah kelola masyarakat.
"Negara seharusnya tidak lagi memberikan wilayah kelola masyarakat kepada perusahaan sawit. Negara harus hadir menengahi agar konflik tidak terus terjadi," tandasnya.
Advertisement