Liputan6.com, Jakarta - Dewan Energi Nasional (DEN) berharap revisi Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional atau KEN, yang antara lain mengatur Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN diterbitkan pada tahun depan. Aturan ini sudah disetujui secara prinsip oleh pemerintah dan DPR periode sebelumnya.
"Kami mulai mengarah ke nuklir. Mudah-mudahan ada rancangan baru pada 2025 dalam bentuk PP yang disepakati pemerintah dan DPR, sehingga nuklir pada 2032 sudah bisa menjadi pilihan energi bersih," ujar Anggota DEN Eri Purnomohadi dalam Katadata Policy Dialogue: Arah Baru Sektor Energi dan Perumahan di Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Advertisement
Ia menjelaskan, dalam aturan PP KEN yang belum direvisi, energi nuklir adalah pilihan terakhir. Ini karena pada penyusunan aturan tersebut, menurut dia, DEN melihat bahwa nuklir menjadi isu sensitif dan muncul banyak penolakan, terutama di Pulau Jawa.
Namun, menurut dia, pembangunan PLTN kini menjadi tuntutan untuk mencapai net-zero emissions dan komitmen terhadap perubahan iklim global.
"Kita harus bergerak dari energi fosil menuju energi bersih. Namun, transisi ini tidak bisa langsung lompat, perlu ada periode transisi yang melibatkan gas sebagai energi peralihan," kata dia.
Menurut dia, energi hijau seperti matahari dan angin memang ada, tetapi tidak bisa menjadi pembangkit listrik beban dasar karena sifatnya yang intermiten atau tidak dapat diprediksi. Kata dia, pembangkit listrik beban dasar masih membutuhkan energi lain, seperti geothermal atau nuklir.
Tidak Menjadi Aset Pasif
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Energi sedang menggodok model bisnis yang cocok untuk meningkatkan cadangan energi nasional. Ini penting karena cadangan energi di dalam negeri hanya mampu bertahan sekitar 20 hari.
Plt Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan. model bisnis tersebut penting agar cadangan energi tidak menjadi aset pasif. Menurut dia, cadangan energi nasional saat ini setara dengan Rp 70 triliun.
"Kami sedang menggodok agar cadangan energi tersebut tidak menjadi stok pasti, namun menjadi stok yang secara mekanisme bisnis bisa menarik," kata Dadan.
RefoMiner Institute mencatat, cadangan energi Indonesia tergolong kecil dibandingkan negara lain seperti Jepang, Cina, Korea Selatan, dan India yang mampu menahan kebutuhan lebih dari tiga bulan. Sementara itu, cadangan energi di Eropa dan Amerika Serikat dapat menopang kegiatan masyarakatnya di atas enam bulan.
Dadan menjelaskan, pemerintah saat ini melirik pengembangan migas di benua Afrika, seperti Afrika Selatan dan Aljazair. Sebab, Dadan mengatakan produksi migas di kedua negara tersebut dapat menjadi hak milik perusahaan migas melalui skema bagi hasil.
Advertisement