Hati-hati dengan Tren Lemak Sapi Jadi Skincare yang Viral di TikTok, Apa Alasannya?

Benarkan bahan skincare "alami," seperti lemak sapi selalu lebih bagus daripada produk sintetis yang diformulasikan di lab?

oleh Asnida Riani diperbarui 12 Nov 2024, 05:00 WIB
Ilustrasi lemak sapi jadi tren skincare. (Sumber foto: Pexels.com)

Liputan6.com, Jakarta - Eksplorasi tren skincare telah sampai pada lemak sapi jadi perawatan kulit terkini. Para pecintanya percaya bahwa bahan tersebut bermanfaat untuk segala hal, mulai dari membersihkan kulit hingga menyembuhkan eksim.

Melansir Sydney Morning Herald, Senin, 11 November 2024, lemak sapi pada dasarnya adalah lemak hewani, dan sering digunakan untuk memasak secara komersial, pembuatan lilin, dan dimanfaatkan para penggemar sabun. "Lemak ini keras, seperti lilin, tidak berbau, dan tidak berasa, yang diambil dari jaringan lemak sapi, biasanya dari lemak di sekitar ginjal," kata dokter umum dan dokter kosmetik yang berdomisili di Sydney, Dr. Prasanthi Purusothaman.

Ia mengatakan, lemak sapi digunakan orang Mesir kuno, Romawi, dan Yunani, serta di daerah lain yang banyak menggunakan peternakan untuk mengobati luka dan menyembuhkan kulit. Pada masa itu, lemak sapi sering dicampur dengan rempah-rempah atau minyak dan digunakan sebagai balsem maupun losion.

Seorang dokter kulit di Chroma Dermatology dan Royal Melbourne Hospital, Dr. Celestine Wong, mengatakan bahwa lemak sapi kaya akan trigliserida, jenis lemak yang umum, serta vitamin A, D, E, dan K. Kandungannya memberikan sifat pelembap pada bahan tersebut.

Lemak sapi terutama berfungsi sebagai agen pelembap oklusif, kata Purusothaman. Artinya, lemak sapi membentuk penghalang di atas kulit yang menahan kelembapan. Lemak sapi dapat sangat bermanfaat bagi mereka yang memiliki kulit sangat kering, dan asam lemaknya dapat bersifat antiradang dan penyejuk kulit.

 


Seberapa Aman?

Ilustrasi lemak sapi sebagai pelembap. (dok. pexels.com/Raw Pixel)

Namun, Purusothaman memperingatkan, "penggunaan kronis dalam jangka waktu lama dapat menyumbat pori-pori dan menyebabkan timbulnya jerawat pada jenis kulit yang rentan." Ini mungkin tidak muncul selama beberapa minggu setelah pemakaian pertama.

Jadi, bagaimana dengan klaim bahwa lemak sapi dapat membantu mengatasi kondisi seperti eksim atau psoriasis? Mengingat keduanya merupakan kondisi multifaktorial yang belum dapat disembuhkan dan memerlukan berbagai strategi penanganan, Wong mengatakan bahwa tidak ada satu produk pun yang dapat "mengobatinya."

Ia mengatakan, "Lemak sapi dapat merujuk pada satu faktor: penghalang, dan faktor pelindung yang dapat dibantunya sampai batas tertentu. (Namun), agak mengada-ada untuk mengatakan bahwa lemak sapi benar-benar dapat menyembuhkan kondisi itu sendiri."

Baik Purusothaman maupun Wong merujuk pada satu penelitian yang menemukan bahwa emulsi lemak sapi dan minyak kenari bermanfaat untuk dermatitis atopik dan psoriasis melalui sifat-sifatnya yang melembapkan. Tapi, ini hanyalah penelitian kecil dan penelitian lebih lanjut perlu dilakukan.


Meningkatnya Minat terhadap Produk Perawatan Alami

Ilustrasi lemak sapi jadi tren skincare. (foto: Pexels/Karolina Grabowska)

Minyak esensial dan wewangian yang sering kali disertakan dalam produk-produk ini diketahui dapat menyebabkan iritasi. Maka itu, Wong mengatakan, orang-orang dengan riwayat dermatitis kontak atau eksim sebaiknya menghindari formula dengan bahan-bahan tersebut, terutama karena beberapa produk alami sering kali tidak teregulasi secara resmi.

Banyak pecinta lemak sapi untuk perawatan kulit juga merupakan bagian dari gerakan karnivora yang sedang berkembang, yang mengacu pada masa pra-industri untuk panduan tentang pola makan dan gaya hidup. "Para penggemar perawatan kulit yang mendukung lemak sapi saat ini sering merujuk pada sejarahnya, dengan membayangkan sapi-sapi yang bahagia berkeliaran di rumput hijau," kata Purusothaman

"Itu adalah taktik pemasaran yang menampilkan lemak sapi sebagai sesuatu yang sehat dan alami, kontras dengan produk yang 'dibuat di laboratorium' atau dengan 'bahan kimia keras,' dan penghujatan terhadap formulasi modern." Wong mengatakan bahwa ia melihat lebih banyak pasien yang tertarik pada produk alami, banyak di antaranya yang terpengaruh oleh TikTok.

"Dalam empat hingga lima tahun terakhir, terjadi peningkatan eksponensial dalam industri produk yang dianggap alami atau bersih. Banyak pasien lebih condong ke arah itu,” katanya.


Tidak Selalu Lebih Baik

Ilustrasi lemak sapi jadi tren skincare. Credit: Freepik

Munculnya perawatan kulit yang diproduksi secara industri telah membawa pemahaman yang lebih mendalam tentang manfaat formula sintetis. Dengan kata lain, yang alami tidak selalu lebih baik.

"Formula kini dapat meniru komposisi dan rasio lipid alami kulit kita secara lebih efektif tanpa menyumbat pori-pori, bersama tambahan bahan-bahan lain yang menghidrasi dan mencerahkan kulit yang tidak dimiliki (kandungan) lemak sapi," kata Purusothaman.

Ia menegaskan, "Kata-kata 'bersih' dan 'alami' adalah istilah pemasaran non-regulasi yang memangsa konsumen, membuat mereka berpikir bahwa mereka melakukan hal yang lebih baik untuk tubuh dan kulit mereka." Wong mengatakan, membandingkan produk "alami" seperti perawatan kulit lemak sapi dengan formula sintetis yang mungkin Anda temukan di apotek seperti membandingkan apel dan jeruk.

"Pelembap arus utama di pasaran telah diuji secara ketat dan didukung sains yang baik," katanya.

Karena sapi merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca yang besar, Purusothaman mengatakan, konsumen juga harus mempertimbangkan dampak lingkungan dari penggunaan produk lemak sapi. Kurangnya regulasi seputar lemak sapi dapat mempersulit dalam memastikan kualitas dan efektivitas yang konsisten, katanya.

Infografis Skincare Lokal. (Liputan6.com/Triyasni)  

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya