Liputan6.com, Wellington - Perdana Menteri Selandia Baru Christopher Luxon secara resmi meminta maaf kepada para korban pelecehan di panti asuhan, menyusul penyelidikan atas salah satu skandal terbesar di negara itu.
Permintaan maaf bersejarah, yang disampaikan di parlemen, itu muncul setelah sebuah laporan menemukan bahwa 200.000 anak-anak dan orang dewasa yang rentan menderita pelecehan saat berada di panti asuhan antara tahun 1950 dan 2019.
Advertisement
"Saya menyampaikan permintaan maaf ini kepada semua penyintas atas nama pemerintahan saya dan pemerintahan sebelumnya," kata Luxon pada hari Selasa (12/11/2024), seperti dilansir BBC, Rabu (13/11).
"Itu mengerikan. Itu memilukan. Itu salah. Dan itu seharusnya tidak pernah terjadi. Bagi banyak dari Anda, itu mengubah jalan hidup Anda, dan untuk itu, pemerintah harus bertanggung jawab."
Penyelidikan, yang digambarkan Luxon sebagai penyelidikan publik terbesar dan paling rumit yang pernah diadakan di Selandia Baru, memakan waktu enam tahun untuk diselesaikan dan mencakup wawancara dengan lebih dari 2.300 korban pelecehan di lembaga perawatan berbasis negara dan agama.
Laporan berikutnya mendokumentasikan berbagai macam pelecehan termasuk pemerkosaan, sterilisasi, dan kerja paksa.
Ditemukan bahwa lembaga berbasis agama sering kali memiliki tingkat pelecehan seksual yang lebih tinggi daripada lembaga berbasis negara. Para pemimpin sipil dan agama dilaporkan berjuang untuk menutupi pelecehan dengan memindahkan pelaku ke lokasi lain dan menyangkal kesalahan, di mana banyak korban meninggal sebelum mendapatkan keadilan.
Beberapa korban dan advokat tiba di parlemen pada hari Selasa untuk mendengar permintaan maaf perdana menteri, sementara ratusan lainnya menyaksikannya melalui streaming langsung di seluruh negeri. Luxon sebelumnya menghadapi kritik karena menyampaikan permintaan maaf di parlemen karena itu berarti banyak korban tidak dapat mendengar langsung dari perdana menteri.
Para penyintas berpendapat bahwa permintaan maaf Luxon tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan rencana ganti rugi yang tepat.
"Dampak trauma itu baru terasa di kemudian hari," kata Tupua Urlich, seorang penyintas Maori yang telah memberikan kesaksiannya tentang pelecehan dalam penyelidikan, kepada BBC.
"Bukan hanya pelecehan fisik, tetapi juga pemutusan hubungan dengan keluarga dan budaya saya. Keadilan? Tidak, belum... Kata-kata ini tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan tindakan yang tepat yang diinformasikan oleh para penyintas. Pemerintah telah membuktikan bahwa mereka sendiri tidak bisa dipercaya, maupun mampu, untuk memberikan jenis perubahan dan layanan yang kita butuhkan."
Rincian tentang skema restitusi diyakini tidak akan muncul sampai awal tahun depan.
Pada Selasa, Luxon menuturkan bahwa sementara pemerintah bekerja pada mekanisme ganti rugi keuangan baru untuk para penyintas, pemerintah akan menyuntik tambahan 32 juta dolar Selandia Baru ke dalam sistem saat ini.
Penyelidikan skandal pelecehan ini menghasilkan lebih dari 100 rekomendasi, termasuk permintaan maaf publik dari otoritas Selandia Baru dan para pemimpin agama, serta undang-undang yang mewajibkan pelaporan dugaan pelecehan.
Luxon mengatakan pemerintah telah menyelesaikan atau sedang dalam proses mengerjakan 28 dari rekomendasi ini, namun dia tidak memberikan rincian spesifik.
Sebuah RUU yang ditujukan untuk melindungi anak-anak dalam pengasuhan lebih baik telah dibacakan pertama kali di parlemen pada Selasa, setelah Luxon menyampaikan permintaan maaf. RUU tersebut mengusulkan, antara lain, larangan penggeledahan telanjang dan pembatasan yang lebih ketat bagi orang yang berhubungan dengan anak kecil.
Luxon juga mengumumkan Hari Peringatan Nasional yang akan diadakan pada 12 November tahun depan untuk menandai peringatan permintaan maaf pada hari Selasa.
"Kita semua harus melakukan semua yang kita bisa untuk memastikan bahwa pelecehan yang seharusnya tidak pernah diterima, tidak lagi terjadi," imbuhnya.