Pengertian Ijtihad Menurut Bahasa dan Istilah
Liputan6.com, Jakarta Ijtihad menurut bahasa adalah usaha yang sungguh-sungguh atau pengerahan segala kemampuan untuk mencapai suatu tujuan. Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab "jahada" yang berarti bersungguh-sungguh atau berusaha keras. Secara etimologi, ijtihad mengandung makna mengerahkan segenap kemampuan dan tenaga.
Adapun pengertian ijtihad menurut istilah, para ulama memiliki definisi yang beragam namun intinya sama, yaitu:
Advertisement
- Menurut Imam al-Ghazali: Ijtihad adalah pengerahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara'.
- Menurut al-Amidi: Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syara' yang bersifat zhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu lagi mencari tambahan kemampuannya itu.
- Menurut Imam asy-Syaukani: Ijtihad adalah pengerahan kemampuan dalam memperoleh hukum syara' yang bersifat praktis dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum).
Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijtihad menurut istilah adalah upaya sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang mujtahid untuk menemukan hukum syara' yang bersifat zhanni (dugaan kuat) dengan menggunakan sumber-sumber hukum Islam. Ijtihad dilakukan terhadap persoalan-persoalan yang belum ada ketetapan hukumnya secara pasti dan jelas dalam Al-Qur'an maupun Hadits.
Ijtihad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Ia menjadi sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur'an dan Hadits. Melalui ijtihad, para ulama dapat merumuskan hukum terhadap persoalan-persoalan baru yang belum ada ketentuannya dalam nash. Dengan demikian, ijtihad menjadi instrumen yang membuat hukum Islam tetap relevan dan dapat menjawab tantangan zaman.
Sejarah dan Perkembangan Ijtihad
Praktik ijtihad sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah SAW, meskipun dalam bentuk yang masih sederhana. Para sahabat sering melakukan ijtihad ketika menghadapi persoalan yang belum ada ketentuannya, kemudian mereka mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah. Jika benar, Rasulullah membenarkannya, dan jika salah Rasulullah meluruskannya.
Setelah Rasulullah wafat, ijtihad semakin berkembang karena banyak persoalan baru yang muncul seiring dengan perluasan wilayah Islam. Para sahabat, terutama Khulafaur Rasyidin, sering melakukan ijtihad untuk menyelesaikan berbagai permasalahan umat. Misalnya, Umar bin Khattab pernah berijtihad untuk tidak membagikan harta rampasan perang kepada para tentara dan menjadikannya sebagai aset negara.
Pada masa tabi'in dan tabi'ut tabi'in, ijtihad semakin berkembang pesat. Muncul berbagai mazhab fikih dengan metode ijtihadnya masing-masing. Imam Abu Hanifah dikenal dengan metode qiyas dan istihsan-nya, Imam Malik dengan konsep mashlahah dan amal ahli Madinah, Imam Syafi'i dengan qiyas-nya, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang lebih mengedepankan hadits.
Puncak kejayaan ijtihad terjadi pada abad ke-2 hingga ke-3 Hijriyah. Pada masa ini lahir karya-karya monumental dalam bidang ushul fiqh yang menjadi landasan metodologis ijtihad. Imam Syafi'i menulis kitab Ar-Risalah yang dianggap sebagai kitab ushul fiqh pertama.
Namun setelah itu, semangat ijtihad mulai menurun. Banyak ulama yang lebih memilih untuk taqlid (mengikuti pendapat ulama terdahulu) daripada melakukan ijtihad sendiri. Kondisi ini berlangsung cukup lama hingga muncul gerakan pembaharuan Islam pada abad ke-18 yang kembali menggaungkan pentingnya ijtihad.
Di era modern, ijtihad kembali mendapat perhatian serius dari para ulama dan cendekiawan Muslim. Mereka menyadari bahwa ijtihad sangat diperlukan untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer yang belum ada pada masa lalu. Muncul berbagai lembaga fatwa di berbagai negara yang melakukan ijtihad kolektif (ijtihad jama'i) untuk merumuskan hukum Islam yang sesuai dengan konteks kekinian.
Advertisement
Metode-metode Ijtihad dalam Hukum Islam
Para ulama telah merumuskan berbagai metode ijtihad yang dapat digunakan untuk menetapkan hukum Islam. Beberapa metode ijtihad yang populer antara lain:
-
Qiyas (Analogi)
Qiyas adalah menetapkan hukum suatu persoalan yang belum ada nashnya dengan cara menganalogikan pada persoalan lain yang sudah ada hukumnya karena adanya persamaan 'illat (alasan hukum). Misalnya, menganalogikan keharaman narkoba dengan keharaman khamr karena sama-sama memabukkan.
-
Istihsan
Istihsan adalah meninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara' dan mengambil hukum lain karena adanya dalil syara' lain yang menghendaki demikian. Metode ini sering digunakan oleh Imam Abu Hanifah.
-
Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah adalah menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan yang tidak ada dalil syara' yang mendukung maupun menolaknya. Metode ini banyak digunakan oleh Imam Malik.
-
Istishab
Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang yakin telah berwudhu kemudian ragu apakah wudhunya sudah batal atau belum, maka hukum asalnya ia masih dalam keadaan suci.
-
Urf (Adat Kebiasaan)
'Urf adalah kebiasaan mayoritas masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara terus menerus dan diakui sebagai sesuatu yang baik. 'Urf yang tidak bertentangan dengan syariat dapat dijadikan landasan hukum.
-
Sadd adz-Dzari'ah
Sadd adz-Dzari'ah adalah menutup jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Misalnya, larangan berkhalwat (berduaan) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram untuk mencegah terjadinya zina.
-
Qaul Shahabi
Qaul Shahabi adalah pendapat sahabat Nabi SAW tentang suatu hukum yang belum ada nashnya dalam Al-Qur'an dan Hadits. Sebagian ulama menganggap qaul shahabi dapat dijadikan hujjah (landasan hukum).
Dalam praktiknya, seorang mujtahid tidak hanya terpaku pada satu metode saja, melainkan dapat menggunakan berbagai metode secara komprehensif untuk sampai pada kesimpulan hukum yang paling tepat. Penggunaan metode-metode ini harus tetap memperhatikan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan.
Syarat-syarat Melakukan Ijtihad
Tidak semua orang dapat melakukan ijtihad. Para ulama telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, antara lain:
-
Menguasai Bahasa Arab
Seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab dengan baik, termasuk ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah. Hal ini penting karena sumber-sumber hukum Islam utama (Al-Qur'an dan Hadits) menggunakan bahasa Arab.
-
Memahami Al-Qur'an dan Ilmu-ilmunya
Mujtahid harus memahami Al-Qur'an secara mendalam, termasuk asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), nasikh mansukh (ayat yang menghapus dan dihapus), muhkam mutasyabih, 'am dan khas, serta berbagai ilmu Al-Qur'an lainnya.
-
Menguasai Ilmu Hadits
Seorang mujtahid harus menguasai ilmu hadits, termasuk kemampuan untuk membedakan hadits shahih, hasan, dan dha'if. Ia juga harus memahami asbabul wurud (sebab munculnya hadits) dan berbagai istilah dalam ilmu hadits.
-
Memahami Ijma' dan Khilaf Ulama
Mujtahid harus mengetahui masalah-masalah yang telah disepakati (ijma') oleh para ulama dan masalah-masalah yang masih diperselisihkan (khilafiyah). Hal ini penting agar ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma' yang telah ada.
-
Menguasai Ushul Fiqh
Ushul fiqh merupakan metodologi penetapan hukum Islam. Seorang mujtahid harus menguasai kaidah-kaidah ushul fiqh agar dapat melakukan istinbath hukum dengan benar.
-
Memahami Maqashid Syariah
Mujtahid harus memahami tujuan-tujuan syariat Islam (maqashid syariah) agar ijtihadnya selaras dengan spirit dan nilai-nilai Islam.
-
Memiliki Akhlak yang Baik
Seorang mujtahid harus memiliki akhlak yang mulia, taqwa, wara' (kehati-hatian dalam beragama), dan amanah. Hal ini penting agar ijtihadnya benar-benar untuk mencari ridha Allah, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
-
Memahami Realitas Sosial
Mujtahid harus memahami kondisi dan permasalahan masyarakat di zamannya agar dapat memberikan solusi hukum yang tepat dan kontekstual.
Syarat-syarat ini menunjukkan bahwa ijtihad bukanlah pekerjaan mudah yang bisa dilakukan sembarangan. Diperlukan kualifikasi keilmuan yang mendalam dan integritas moral yang tinggi untuk menjadi seorang mujtahid. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa melakukan ijtihad, dan bagi yang tidak memenuhi syarat dianjurkan untuk bertanya atau meminta fatwa kepada ulama yang kompeten.
Advertisement
Fungsi dan Tujuan Ijtihad
Ijtihad memiliki fungsi dan tujuan yang sangat penting dalam pengembangan hukum Islam, di antaranya:
-
Menjawab Persoalan Kontemporer
Ijtihad berfungsi untuk menemukan jawaban hukum Islam terhadap berbagai persoalan baru yang belum ada pada zaman Nabi SAW. Misalnya, hukum tentang bayi tabung, transplantasi organ, dan berbagai transaksi ekonomi modern.
-
Mengembangkan Hukum Islam
Melalui ijtihad, hukum Islam dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Ijtihad memungkinkan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi dinamika kehidupan masyarakat.
-
Mewujudkan Kemaslahatan
Tujuan utama ijtihad adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat dan menolak kemudharatan. Setiap hasil ijtihad harus mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadat bagi masyarakat.
-
Menunjukkan Universalitas Islam
Ijtihad membuktikan bahwa Islam adalah agama yang universal dan relevan untuk segala zaman dan tempat. Melalui ijtihad, Islam dapat memberikan solusi terhadap berbagai problematika umat di setiap era.
-
Menjaga Eksistensi Syariat
Ijtihad berperan dalam menjaga keberlangsungan syariat Islam agar tetap hidup dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan umat Muslim.
-
Menghindari Kejumudan Berpikir
Ijtihad mendorong umat Islam untuk terus berpikir dan mengembangkan wawasan keilmuan. Hal ini mencegah terjadinya kejumudan (stagnasi) dalam pemikiran Islam.
-
Memelihara Maqashid Syariah
Ijtihad berfungsi untuk memelihara dan mewujudkan tujuan-tujuan syariat (maqashid syariah) yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
-
Memberikan Solusi Hukum
Ijtihad bertujuan memberikan solusi hukum terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Dengan fungsi dan tujuan tersebut, ijtihad menjadi instrumen yang sangat penting dalam menjaga dinamisasi hukum Islam. Ijtihad memungkinkan syariat Islam tetap relevan dan dapat menjawab berbagai tantangan zaman tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
Jenis-jenis Ijtihad
Ijtihad dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan berbagai sudut pandang. Berikut adalah beberapa jenis ijtihad:
-
Berdasarkan Pelakunya
- Ijtihad Fardi (Individual): Ijtihad yang dilakukan secara perorangan oleh seorang mujtahid.
- Ijtihad Jama'i (Kolektif): Ijtihad yang dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok ulama atau lembaga fatwa.
-
Berdasarkan Objeknya
- Ijtihad Istinbathi: Ijtihad untuk menggali hukum dari sumbernya (Al-Qur'an dan Hadits).
- Ijtihad Tathbiqi: Ijtihad dalam penerapan hukum yang sudah ada terhadap kasus-kasus tertentu.
-
Berdasarkan Metodenya
- Ijtihad Bayani: Ijtihad dengan cara menjelaskan hukum-hukum yang ada dalam nash.
- Ijtihad Qiyasi: Ijtihad dengan menggunakan metode qiyas (analogi).
- Ijtihad Istishlahi: Ijtihad dengan mempertimbangkan kemaslahatan umum.
-
Berdasarkan Cakupannya
- Ijtihad Kulliy: Ijtihad yang mencakup seluruh aspek hukum Islam.
- Ijtihad Juz'i: Ijtihad yang hanya mencakup sebagian masalah atau bidang hukum tertentu.
-
Berdasarkan Kualifikasinya
- Ijtihad Muthlaq: Ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid yang memenuhi semua syarat ijtihad.
- Ijtihad Muqayyad: Ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid yang hanya memenuhi sebagian syarat ijtihad.
Dalam praktiknya, seorang mujtahid atau lembaga fatwa dapat menggunakan berbagai jenis ijtihad ini secara kombinatif untuk menghasilkan kesimpulan hukum yang komprehensif dan kontekstual. Misalnya, dalam merumuskan fatwa tentang asuransi syariah, Dewan Syariah Nasional MUI melakukan ijtihad jama'i (kolektif) dengan metode istishlahi (mempertimbangkan kemaslahatan) dan menggunakan pendekatan ijtihad tathbiqi (penerapan) terhadap prinsip-prinsip muamalah dalam Islam.
Advertisement
Hukum Melakukan Ijtihad
Hukum melakukan ijtihad dapat berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi. Para ulama ushul fiqh telah merumuskan beberapa ketentuan hukum ijtihad sebagai berikut:
-
Fardhu 'Ain
Ijtihad menjadi fardhu 'ain (kewajiban individual) bagi seorang mujtahid dalam dua kondisi:
- Ketika ia menghadapi persoalan pribadi yang memerlukan keputusan hukum segera, sementara tidak ada mujtahid lain yang bisa dimintai fatwa.
- Ketika ia diminta untuk memberikan fatwa tentang suatu masalah yang memerlukan jawaban segera, sementara tidak ada mujtahid lain yang bisa memberikan fatwa tersebut.
-
Fardhu Kifayah
Ijtihad menjadi fardhu kifayah (kewajiban kolektif) ketika ada suatu persoalan yang memerlukan keputusan hukum, namun ada beberapa mujtahid yang mampu melakukannya. Jika salah satu dari mereka telah melakukan ijtihad, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain.
-
Sunnah
Ijtihad hukumnya sunnah ketika dilakukan untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang mungkin terjadi di masa depan, atau untuk memperdalam pemahaman tentang hukum-hukum yang sudah ada.
-
Mubah
Ijtihad menjadi mubah (boleh) ketika dilakukan untuk persoalan-persoalan yang tidak mendesak atau tidak memiliki implikasi hukum yang signifikan.
-
Haram
Ijtihad menjadi haram dalam beberapa kondisi:
- Ijtihad terhadap masalah yang sudah ada nash qath'i (pasti) dari Al-Qur'an atau Hadits mutawatir.
- Ijtihad yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat-syarat mujtahid.
- Ijtihad yang bertujuan untuk menentang ijma' (konsensus) ulama yang sudah mapan.
Penting untuk dicatat bahwa hukum melakukan ijtihad ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid. Bagi orang awam yang tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad, maka kewajibannya adalah bertanya atau meminta fatwa kepada ulama yang kompeten (taqlid).
Dalam konteks kekinian, ijtihad kolektif (ijtihad jama'i) melalui lembaga-lembaga fatwa resmi seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Dewan Syariah Nasional (DSN) menjadi sangat penting. Hal ini karena kompleksitas permasalahan kontemporer seringkali memerlukan kajian multidisipliner yang sulit dilakukan oleh individu.
Penerapan Ijtihad dalam Pengembangan Hukum Islam
Ijtihad memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan hukum Islam, terutama dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer. Berikut beberapa contoh penerapan ijtihad dalam pengembangan hukum Islam:
-
Ekonomi dan Keuangan Syariah
Ijtihad telah menghasilkan berbagai produk hukum dalam bidang ekonomi dan keuangan syariah, seperti:
- Fatwa tentang perbankan syariah, asuransi syariah, dan pasar modal syariah.
- Pengembangan akad-akad baru dalam transaksi keuangan syariah seperti murabahah, ijarah muntahiya bittamlik, dan sukuk.
- Regulasi zakat profesi dan investasi zakat produktif.
-
Bioetika dan Kedokteran
Ijtihad diperlukan untuk menjawab berbagai isu bioetika dan kedokteran modern, seperti:
- Hukum transplantasi organ dan donor darah.
- Fatwa tentang bayi tabung dan bank sperma.
- Euthanasia dan penentuan kematian otak.
-
Teknologi dan Media
Perkembangan teknologi dan media juga memerlukan ijtihad, contohnya:
- Hukum transaksi elektronik dan cryptocurrency.
- Fatwa tentang penggunaan media sosial dan etika bermedia.
- Hukum tentang privasi data dan keamanan siber.
-
Hukum Keluarga
Ijtihad dalam hukum keluarga telah menghasilkan beberapa pembaruan, seperti:
- Pencatatan pernikahan sebagai syarat administratif yang wajib.
- Pembatasan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
- Pengaturan harta bersama dalam perkawinan.
-
Lingkungan dan Ekologi
Isu-isu lingkungan juga menjadi objek ijtihad kontemporer, misalnya:
- Fatwa tentang pelestarian lingkungan dan konservasi alam.
- Hukum pengelolaan sampah dan limbah industri.
- Etika pemanfaatan sumber daya alam.
-
Politik dan Kenegaraan
Ijtihad dalam bidang politik dan kenegaraan menghasilkan beberapa konsep seperti:
- Konsep negara bangsa (nation-state) dalam perspektif Islam.
- Prinsip-prinsip demokrasi yang selaras dengan nilai-nilai Islam.
- Konsep kewarganegaraan dalam negara majemuk.
Dalam melakukan ijtihad untuk pengembangan hukum Islam, para ulama kontemporer menggunakan berbagai pendekatan, antara lain:
- Pendekatan Maqashid Syariah: Mempertimbangkan tujuan-tujuan syariat dalam menetapkan hukum.
- Pendekatan Kontekstual: Memahami nash dengan mempertimbangkan konteks sosio-historis.
- Pendekatan Interdisipliner: Melibatkan berbagai disiplin ilmu dalam proses ijtihad.
- Pendekatan Komparatif: Membandingkan berbagai pendapat ulama klasik dan kontemporer.
Penerapan ijtihad dalam pengembangan hukum Islam ini menunjukkan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun, ijtihad tetap harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan prinsip-prinsip dasar syariat agar tidak keluar dari koridor Islam.
Advertisement
Tantangan dan Kritik terhadap Ijtihad
Meskipun ijtihad memiliki peran penting dalam pengembangan hukum Islam, namun praktik ijtihad juga menghadapi berbagai tantangan dan kritik, antara lain:
-
Kualifikasi Mujtahid
Salah satu tantangan utama adalah menemukan ulama yang benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid. Kompleksitas permasalahan modern memerlukan penguasaan tidak hanya ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu-ilmu umum terkait.
-
Perbedaan Pendapat
Ijtihad seringkali menghasilkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan di masyarakat, terutama jika perbedaan tersebut menyangkut masalah-masalah fundamental.
-
Pengaruh Kepentingan
Ada kekhawatiran bahwa ijtihad dapat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik politik, ekonomi, maupun ideologi. Hal ini dapat mengurangi objektivitas dan keabsahan hasil ijtihad.
-
Keterbatasan Metodologi
Beberapa pihak mengkritik bahwa metodologi ijtihad yang ada saat ini masih terbatas dan perlu dikembangkan lebih lanjut untuk menghadapi kompleksitas permasalahan modern.
-
Resistensi Terhadap Perubahan
Sebagian masyarakat Muslim masih resisten terhadap hasil-hasil ijtihad baru, terutama jika berbeda dengan pemahaman yang sudah mapan. Hal ini dapat menghambat proses pengembangan hukum Islam.
-
Dikotomi Ilmu
Adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum seringkali menjadi hambatan dalam melakukan ijtihad yang komprehensif terhadap isu-isu kontemporer.
-
Globalisasi dan Pluralisme
Era globalisasi dan pluralisme menimbulkan tantangan tersendiri dalam melakukan ijtihad. Bagaimana merumuskan hukum Islam yang tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah namun juga dapat diterima dalam konteks masyarakat global yang plural.
-
Otoritas Fatwa
Munculnya berbagai lembaga fatwa dan kemudahan akses informasi di era digital menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa.
-
Taqlid dan Kejumudan
Masih kuatnya budaya taqlid (mengikuti pendapat ulama terdahulu tanpa mengetahui dalilnya) di sebagian masyarakat Muslim dapat menghambat semangat ijtihad dan menyebabkan kejumudan pemikiran.
-
Radikalisme dan Liberalisme
Ijtihad menghadapi tantangan dari dua ekstrem: kelompok radikal yang menolak ijtihad sama sekali, dan kelompok liberal yang melakukan ijtihad tanpa batasan metodologis yang jelas.
Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Meningkatkan kualitas pendidikan Islam, terutama dalam bidang ushul fiqh dan metodologi ijtihad.
- Mendorong ijtihad kolektif (ijtihad jama'i) yang melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
- Mengembangkan metodologi ijtihad yang lebih komprehensif dan kontekstual.
- Meningkatkan literasi hukum Islam di masyarakat untuk mengurangi taqlid buta dan resistensi terhadap pembaruan.
- Membangun dialog antara berbagai mazhab dan aliran pemikiran dalam Islam.
- Memperkuat lembaga-lembaga fatwa yang kredibel dan independen.
- Mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu modern dalam kurikulum pendidikan Islam.
Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan praktik ijtihad dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi positif dalam pengembangan hukum Islam yang relevan dengan konteks kekinian tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
FAQ Seputar Ijtihad
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan seputar ijtihad beserta jawabannya:
-
Apakah ijtihad masih diperlukan di zaman modern?
Ya, ijtihad sangat diperlukan di zaman modern. Bahkan, kebutuhan akan ijtihad semakin mendesak mengingat banyaknya persoalan baru yang muncul akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ijtihad memungkinkan hukum Islam tetap relevan dan dapat menjawab tantangan zaman.
-
Siapa yang berhak melakukan ijtihad?
Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid, yaitu memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-Qur'an, Hadits, bahasa Arab, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu pendukung lainnya. Di era modern, ijtihad kolektif (ijtihad jama'i) yang melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu lebih dianjurkan.
-
Apakah hasil ijtihad bersifat mutlak benar?
Tidak. Hasil ijtihad bersifat zhanni (dugaan kuat), bukan qath'i (pasti). Oleh karena itu, hasil ijtihad dapat berbeda antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya. Dalam hadits disebutkan bahwa jika seorang mujtahid benar dalam ijtihadnya, ia mendapat dua pahala, dan jika salah, ia tetap mendapat satu pahala.
-
Bagaimana jika hasil ijtihad bertentangan dengan nash Al-Qur'an atau Hadits?
Jika hasil ijtihad bertentangan dengan nash yang qath'i (pasti) dari Al-Qur'an atau Hadits mutawatir, maka ijtihad tersebut tidak dapat diterima. Ijtihad hanya berlaku pada masalah-masalah yang tidak ada nash qath'i-nya atau pada nash yang zhanni (tidak pasti) dalalahnya.
-
Apakah orang awam boleh melakukan ijtihad?
Orang awam yang tidak memiliki kapasitas keilmuan yang cukup tidak diperbolehkan melakukan ijtihad. Mereka diwajibkan untuk bertanya atau meminta fatwa kepada ulama yang kompeten (taqlid).
-
Bagaimana sikap terhadap perbedaan hasil ijtihad?
Perbedaan hasil ijtihad adalah hal yang wajar dan telah terjadi sejak zaman sahabat. Sikap yang tepat adalah menghormati perbedaan tersebut selama masih dalam koridor syariah. Kita dapat memilih pendapat yang paling kuat dalilnya atau yang paling sesuai dengan konteks kita.
-
Apakah ijtihad dapat membatalkan hukum yang sudah ada?
Ijtihad tidak dapat membatalkan hukum yang sudah qath'i (pasti) dari Al-Qur'an atau Hadits mutawatir. Namun, ijtihad dapat menghasilkan pemahaman baru terhadap nash-nash yang zhanni atau menghasilkan hukum baru untuk masalah-masalah yang belum ada ketentuannya.
-
Bagaimana hubungan antara ijtihad dan taqlid?
Ijtihad dan taqlid adalah dua hal yang berbeda. Ijtihad adalah upaya menggali hukum dari sumbernya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui dalilnya. Bagi yang mampu berijtihad, maka ijtihad lebih utama. Namun bagi yang tidak mampu, taqlid kepada ulama yang kompeten adalah jalan yang diperbolehkan.
-
Apakah ijtihad hanya berlaku dalam bidang fiqh?
Meskipun ijtihad lebih sering dikaitkan dengan fiqh, namun sebenarnya ijtihad juga dapat dilakukan dalam bidang-bidang lain seperti aqidah, akhlak, dan muamalah. Yang penting, ijtihad tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
-
Bagaimana peran ijtihad dalam pembaruan hukum Islam?
Ijtihad memiliki peran sangat penting dalam pembaruan hukum Islam. Melalui ijtihad, hukum Islam dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Ijtihad memungkinkan Islam tetap relevan dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer.
Pemahaman yang benar tentang ijtihad dan aplikasinya sangat penting bagi umat Islam. Dengan memahami konsep ijtihad, kita dapat lebih bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat dan lebih terbuka terhadap pembaruan pemikiran Islam yang konstruktif.
Advertisement
Kesimpulan
Ijtihad menurut bahasa adalah usaha yang sungguh-sungguh atau pengerahan segala kemampuan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam konteks hukum Islam, ijtihad merupakan upaya seorang mujtahid dalam menggali dan merumuskan hukum syariat berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits untuk menjawab persoalan-persoalan yang belum ada ketetapan hukumnya secara eksplisit.
Ijtihad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Ia menjadi instrumen yang memungkinkan hukum Islam tetap relevan dan dapat menjawab berbagai tantangan zaman. Melalui ijtihad, para ulama dapat merumuskan hukum terhadap persoalan-persoalan baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW.
Dalam melakukan ijtihad, para ulama menggunakan berbagai metode seperti qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dan lainnya. Namun, tidak semua orang dapat melakukan ijtihad. Ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, di antaranya penguasaan mendalam terhadap Al-Qur'an, Hadits, bahasa Arab, dan ushul fiqh.
Di era modern, ijtihad menghadapi berbagai tantangan baru seperti kompleksitas permasalahan, globalisasi, dan pluralisme. Namun, tantangan ini justru semakin menegaskan pentingnya ijtihad. Ijtihad kolektif (ijtihad jama'i) yang melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu menjadi solusi yang banyak ditempuh.
Meskipun hasil ijtihad dapat berbeda antara satu mujtahid dengan lainnya, perbedaan ini harus disikapi dengan bijak. Yang terpenting adalah bahwa ijtihad dilakukan dengan metodologi yang benar dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar syariat Islam.
Pada akhirnya, ijtihad bukan hanya sebuah metode penetapan hukum, tetapi juga cerminan dari dinamika dan vitalitas pemikiran Islam. Ijtihad membuktikan bahwa Islam adalah agama yang senantiasa relevan untuk setiap zaman dan tempat. Dengan terus menghidupkan semangat ijtihad, umat Islam dapat menghadapi berbagai tantangan modern tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai keislamannya.