Badai PHK Bisa Bikin Daya Beli Masyarakat Loyo, Ini Bahayanya

Kondisi ekonomi global dan domestik menjadi faktor yang perlu diantisipasi, terutama terkait daya beli masyarakat.

oleh Arief Rahman H diperbarui 13 Nov 2024, 18:30 WIB
Warga memadati Pasar Tanah Abang untuk berbelanja kebutuhan lebaran, Jakarta, Senin (1/4/2024). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Darmawan Junaidi, mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat yang salah satunya dipicu oleh banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Darmawan menyadari bahwa kondisi ekonomi global dan domestik menjadi faktor yang perlu diantisipasi, terutama terkait daya beli masyarakat.

“Faktor domestik yang perlu kita antisipasi adalah penurunan daya beli masyarakat,” kata Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu (13/11/2024).

Darmawan menekankan bahwa penurunan daya beli masyarakat harus menjadi perhatian bersama. Salah satu solusi yang dia usulkan adalah memberikan stimulus bagi pelaku usaha UMKM untuk membantu mereka mengembangkan bisnisnya.

“Kita perlu memberikan perhatian khusus, terutama kepada masyarakat di kelas bawah. Ini penting agar pertumbuhan tetap terjaga melalui dukungan terhadap UMKM agar mereka bisa terus mengembangkan usahanya,” jelas Darmawan.

PMI Manufaktur Negatif

Darmawan juga mengkhawatirkan tren penurunan indeks Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur yang menunjukkan angka negatif dalam empat bulan terakhir, sebagai indikasi potensi penurunan daya beli akibat PHK di berbagai sektor bisnis.

“PMI manufaktur masih berada pada level yang berisiko terhadap dukungan pertumbuhan. Selama empat bulan berturut-turut, angka ini terus mencatatkan tren negatif,” kata Darmawan.

Ia juga menyoroti risiko penurunan daya beli yang mungkin dipengaruhi oleh banyaknya PHK di berbagai sektor usaha.

 


BRI Mulai Antisipasi

Direktur Utama BRI Sunarso.

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Sunarso, mengaku bersiap menghadapi dampak dari kebijakan ekonomi yang diambil oleh Donald Trump setelah terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Kebijakan proteksionisme Trump dinilai dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sunarso menjelaskan bahwa kebijakan ini bisa direspons oleh China melalui perang dagang. Jika hal tersebut terjadi, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat tertahan.

“Analisis dampaknya terhadap Indonesia sudah kami buat. Jika China membalas dengan perang dagang, ini dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi kita berada di sekitar 4,7 hingga 5,03 persen,” ujar Sunarso dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (13/11/2024).

Sunarso memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa semakin tertekan jika negara lain juga menerapkan kebijakan proteksi serupa.

“Jika negara-negara lain secara serempak membalas proteksionisme Amerika, dampaknya akan lebih buruk, dan kemungkinan pertumbuhan ekonomi kita hanya akan berada di kisaran 4,6 hingga 4,9 persen. Ini perlu kita antisipasi,” tambah Sunarso.

Dampak Penurunan Ekonomi Global terhadap Indonesia

Sunarso juga memaparkan data terkait hubungan ekonomi Indonesia dengan China dan AS. Data yang diperolehnya menunjukkan bahwa Indonesia lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi China daripada AS.

“Data terbaru menunjukkan bahwa korelasi perdagangan kita lebih kuat dengan China, dengan indeks korelasi 0,351. Sementara itu, indeks korelasi dengan AS turun menjadi 0,347. Artinya, kenaikan atau penurunan pertumbuhan ekonomi di China berdampak lebih signifikan pada Indonesia dibandingkan dengan perubahan pertumbuhan ekonomi di AS,” jelas Sunarso.

“Maka dari itu, kita perlu berhati-hati. Jika Amerika menerapkan proteksionisme dan China merespons dengan perang dagang, dampaknya terhadap Indonesia bisa sangat signifikan,” tutup Sunarso.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya