Atasi Peredaran Miras di Yogyakarta, Ini Saran dari Sosiolog UGM

Kasus penusukan oleh sejumlah pemuda yang diduga mabuk miras di Prawirotaman, Kota Yogyakarta pada Rabu (30/10) lalu direspon oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X melalui Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 5 Tahun 2024.

oleh Yanuar H diperbarui 15 Nov 2024, 21:00 WIB
Personil Polresta dan Satpol PP Kota Yogyakarta memasang garis polisi di toko penjual miras ilegal, Kamis (31/10/2024). (Dok Polresta Yogyakarta)

Liputan6.com, Yogyakarta - Isu minuman keras (miras) yang dapat dengan mudah ditemui di DIY membuat Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 5 Tahun 2024 oleh Gubernur DIY Sri Sultan HB X lahir. Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto menanggapi Ingub itu dan mengapresiasinya karena peredaran miras selama ini memang belum diawasi secara maksimal. “Kalau dilihat masalah miras ini tidak hanya dari jual-belinya saja, tapi sebagian besar penduduk Jogja kan bukan penduduk asli. Barang bebas masuk dari mana saja,” jelas Derajad.

Derajad mengatakan Instruksi Gubernur usai peristiwa penusukan dinilai cukup responsif, walaupun pemerintah seharusnya sudah mengantisipasi penyebaran miras sejak awal. Industri miras di DIY dilakukan secara underground dan belum dapat dikendalikan pemerintah.

 

“Sudah bagus, walaupun penanganannya bisa dibilang terlambat. Sejauh ini belum ada badan khusus yang ditugaskan mengawasi jual-beli miras. Instruksi tersebut hanya mengatur sektor formal saja,” ucap Derajad.

Ia mengatakan Industri miras yang berperan besar dari sektor informal dan digambarkan seperti fenomena gunung es dimana aktivitas jual beli miras lainnya tidak terkendali. Memang miras berperan besar dalam perekonomian Yogyakarta di sektor pariwisata khususnya.

Selain itu menurut Derajad minimnya pengawasan terhadap industri miras membuat peredaran uangnya juga tidak dapat dideteksi. Baru-baru ini, Polresta Yogyakarta menemukan terdapat lebih dari 90% outlet terbukti menjual miras ilegal dan telah ditutup secara massal.

“Ia memang underground economy, jadi sulit pengawasannya. Selain peredarannya, produknya itu sendiri juga perlu diawasi. Mungkin produk yang resmi beredar bisa terdata, tapi bagaimana dengan produk oplosan, misalnya?,” ujarnya.

Mengatasi masalah ini pemerintah perlu mengetahui dulu industri miras saat ini sebelum menekan peredaran miras dan penjualan miras bisa diatur agar lebih terpusat. Melalui jual beli miras terpusat ini bisa membantu pemerintah mengawasi industri tersebut termasuk untuk mengimplementasi regulasi yang sudah berlaku.

“Sarannya saya kira justru legalkan, tapi penjualannya terpusat. Kalau begitu nanti kita bisa tahu siapa penjualnya, siapa yang beli, perputaran uangnya ke mana. Itu jelas,” ucapnya.

Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2024 Tentang Optimalisasi Pengendalian dan Pengamanan Minuman Beralkohol mengatur inventarisasi peredaran miras, mengoptimalkan peran pemerintah daerah, hingga larangan penjualan secara daring dan pesan antar. Kendati demikian, regulasi tersebut belum mengatur pihak yang bertanggung jawab untuk mengawasi miras secara khusus.

"Hal ini menyebabkan regulasi yang berlaku justru sulit diimplementasikan."

Menurutnya ada dua pihak yang memiliki tugas fungsi pengawasan, pertama, elemen masyarakat perlu dilibatkan secara ad hoc, khususnya mereka yang memiliki keahlian mengenali jenis-jenis miras yang beredar. Sebab, banyak temuan kasus miras racikan sendiri oknum tertentu dan dijual bebas.

"Elemen masyarakat tentu akan lebih mengenal dan mengetahui distribusi dari produk miras tersebut."

Kedua, harus ada lembaga yang mampu mengawasi secara terus menerus dan berlapis peredaran miras. Mulai dari jenis produk, sampai perputaran ekonominya.

“Perlu diawasi dari segi produknya juga. Kalau kita bicara anggur (atau miras) itu kan bermacam-macam kadar alkoholnya. Banyak pakar dan elemen perhotelan itu saya kira lebih tahu. Mereka juga perlu dilibatkan,” katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya