Menurut Gus Baha Masuk Surga Itu Gampang, tapi..

Bagi Gus Baha, salah satu ciri utama seorang hamba sejati adalah ketenangan hati atau nafsul muthmainnah, jiwa yang tenang dan selalu ridha pada ketetapan Allah. Jiwa seperti ini memiliki kebesaran hati untuk menerima apa pun yang terjadi sebagai bagian dari kehendak Allah.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Nov 2024, 12:30 WIB
KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) (SS TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Masuk surga bagi sebagian orang mungkin tampak sulit karena mereka memandangnya sebagai sesuatu yang memerlukan pengorbanan luar biasa atau ibadah yang berat. Padahal, sebenarnya jalan masuk surga bisa menjadi mudah jika seseorang benar-benar menundukkan hati dan mengabdikan diri kepada Allah.

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa menjadi "hamba" yang sejati adalah syarat utama untuk mencapai surga. Artinya, yang terpenting bukan hanya banyaknya ibadah atau amal, tetapi ketulusan dalam penyerahan diri, menjalani perintah Allah dengan hati yang tenang, serta ridha pada segala ketetapan-Nya.

Surga terbuka bagi siapa saja yang ikhlas, mengutamakan kehambaan, dan tidak hanya berfokus pada capaian dunia.

KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang kerap disapa Gus Baha, menekankan pentingnya menjadi hamba sejati untuk mencapai surga dalam sebuah ceramahnya. Menurut Gus Baha, meskipun jalan menuju surga terbuka lebar bagi siapa pun, tantangan terbesar bagi setiap muslim adalah mendapatkan pengakuan sebagai "hamba sejati" di mata Allah.

Dalam penjelasannya, Gus Baha merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an, yang secara khusus menyoroti pentingnya kehambaan sebelum memasuki surga:

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى وَٱدْخُلِى جَنَّتِى

“Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’i ila rabbiki radiyatam mardiyyah. Fadkhuli fi ibadi, wadkhuli jannati.”

Artinya: "Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai. Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku!" (QS. Al-Fajr: 27-30).

 

Simak Video Pilihan Ini:


Gus Baha Berikan Perumpamaan Sederhana Tapi Dalam

ilustrasi surga ©Ilustrasi dibuat Stable Diffusion

Ayat ini mengandung makna mendalam. Gus Baha menjelaskan, surga sudah dijanjikan, tetapi ada syarat utama: seseorang harus terlebih dahulu mencapai status kehambaan yang sejati. Hal ini tidak sekadar tentang menjalankan perintah atau menghindari larangan, tetapi tentang totalitas penyerahan diri kepada Allah.

Dinukil dari kanal YouTube @Pek_ID, Gus Baha memberikan perumpamaan yang sederhana namun mendalam, menyamakan status kehambaan ini dengan visa atau paspor. Seperti orang yang hanya bisa memasuki suatu negara jika ia memiliki visa yang sah, seseorang juga hanya bisa memasuki surga jika diakui status kehambaannya oleh Allah.

Menurut Gus Baha, kehambaan ini tidak hanya berupa pengakuan lisan atau tindakan fisik, tetapi mencakup sikap batin dan ketundukan hati yang total. Secara fisik, hamba sejati menundukkan diri dalam sujud. Kepala, yang secara simbolis merupakan bagian terhormat dari tubuh, harus ditempatkan di titik terendah dalam sujud sebagai bentuk penyerahan diri yang ikhlas kepada Allah.

Namun, Gus Baha menambahkan bahwa kehambaan bukan hanya soal sujud fisik. Hati, akal, dan ambisi juga harus ditundukkan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali dikuasai oleh keinginan dan ambisi untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Gus Baha mengingatkan bahwa ambisi ini harus diarahkan sesuai dengan kehendak Allah.

Menjadi hamba sejati berarti menempatkan aturan-aturan Allah di atas segalanya, mengendalikan keinginan duniawi, dan menaklukkan ego yang sering kali membawa manusia menjauh dari jalan yang lurus. Gus Baha mengajarkan, manusia yang sadar akan keterbatasan dan ketergantungan dirinya pada Allah akan lebih mudah meraih kehambaan.

Gus Baha juga menjelaskan bahwa kehambaan sejati mencakup kesadaran penuh bahwa semua yang dimiliki, baik kemampuan maupun kekuatan, adalah karunia Allah. Ketika manusia memahami hal ini, tidak ada ruang bagi kesombongan atau rasa ingin diakui. Status hamba sejati lahir dari ketulusan menerima takdir dan ridha atas apa yang diberikan Allah.


Kehambaan Sulit Dicapai

Umat muslim bertadarus Al Qur;an di Masjid Kubah Emas, Depok, Jawa Barat. (merdeka.com/ Arie Basuki)

Dalam penjelasannya, Gus Baha juga mengingatkan bahwa status kehambaan ini adalah tingkatan yang sulit dicapai karena godaan duniawi yang kerap membelokkan fokus dan hati manusia. Kehambaan menuntut konsistensi dalam menjalani perintah Allah dan kebersihan hati yang sulit dipertahankan.

Mengutip contoh dari kehidupan sehari-hari, Gus Baha mengatakan bahwa menjadi hamba sejati berarti mampu menahan diri dari rasa iri atau marah, karena hamba sejati percaya bahwa semua yang terjadi telah diatur oleh Allah dengan adil dan bijaksana. Keyakinan ini membuat seseorang menjadi lebih sabar dan tawakal.

Bagi Gus Baha, salah satu ciri utama seorang hamba sejati adalah ketenangan hati atau nafsul muthmainnah, jiwa yang tenang dan selalu ridha pada ketetapan Allah. Jiwa seperti ini memiliki kebesaran hati untuk menerima apa pun yang terjadi sebagai bagian dari kehendak Allah.

Status kehambaan ini, menurut Gus Baha, adalah pencapaian tertinggi dalam perjalanan spiritual seorang muslim. Ia menjelaskan bahwa surga adalah tujuan, tetapi kehambaan adalah jalan yang harus dilalui dengan sungguh-sungguh. Status kehambaan adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah tanpa pamrih, tanpa syarat.

Mengakhiri ceramahnya, Gus Baha menekankan bahwa tujuan utama hidup bukan sekadar mencapai kebahagiaan duniawi atau meraih kesuksesan, tetapi mencapai kedekatan dengan Allah melalui kehambaan yang tulus. Surga hanyalah bonus bagi mereka yang berhasil meraih status hamba sejati.

Kisah ini memberikan inspirasi bagi siapa pun yang ingin mengarahkan hidupnya menuju ridha Allah. Gus Baha menyampaikan bahwa ketenangan hidup dan kesuksesan akhirat akan tercapai jika seseorang fokus menjadi hamba sejati, bukan hanya sekadar beribadah tanpa memahami makna dan tujuan di baliknya.

Dengan menjadi hamba yang benar-benar tunduk kepada Allah, seseorang dapat menikmati keindahan iman yang sesungguhnya.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya