Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, memberikan tanggapan terkait permasalahan bahan baku milik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Masalah ini muncul karena proses administrasi dan keputusan dari kurator serta hakim pengawas terkait izin impor bahan baku perusahaan tersebut hingga kini belum dikeluarkan.
Askolani menegaskan persoalan bahan baku Sritex sepenuhnya berada di bawah kewenangan kurator. Pihaknya, menurut Askolani, hanya menjalankan peran sesuai arahan yang diberikan oleh pihak yang berwenang.
Advertisement
"Kalau Sritex itu urusan kurator yang pegang kewenangan, kita ikut aja, soal kita nggak punya kewenangan," kata Askolani kepada media, Jakarta, Kamis (13/11/2024).
Lebih lanjut, Askolani menekankan pentingnya menghormati proses hukum yang berlaku. Ia menyatakan pihak Bea Cukai tidak terlibat dalam pengambilan keputusan terkait izin impor bahan baku tersebut.
"Nggak, itu urus pembahasan mereka, kita harus hormatin hukum yang pegang kewenangan itu kurator, jadi kita ikutin apa kata kurator," tegasnya.
Masalah Bahan Baku Sritex
Permasalahan bahan baku ini menjadi perhatian publik karena dapat memengaruhi kelangsungan produksi Sritex, salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia.
Sebelumnya, Presiden Komisaris Sritex, Iwan S. Lukminto, mengungkapkan adanya potensi PHK jika suplai bahan baku di pabrik tidak terpenuhi dalam waktu dekat.
Iwan menjelaskan stok bahan baku yang dimiliki Sritex saat ini hanya cukup untuk tiga minggu ke depan. Jika dalam waktu tersebut proses administrasi di Bea Cukai tidak terselesaikan dan bahan baku baru tidak masuk, maka perusahaan menghadapi risiko serius terkait keberlangsungan operasional.
"Jadi ketersediaan bahan baku ini sekarang hanya sampai tiga minggu ke depan. Jadi ini kalau tidak ada going constant. Atau daripada keberlangsungan itu. Itu malah jadi ancaman. Ancaman PHK ada," kata Iwan dalam konferensi pers, Jakarta, Rabu (13/11).
Reporter: Siti Ayu Rachma
Sumber: Merdeka.com
Isu PHK Massal Sritex Disorot Ombudsman RI, Bakal Terjadi?
Ombudsman Republik Indonesia (RI) memberikan perhatian khusus terhadap percepatan penanganan kasus PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang saat ini berstatus pailit.
Status tersebut telah berdampak langsung pada pemblokiran aktivitas ekspor-impor oleh Bea Cukai, yang menyebabkan terhentinya transaksi barang masuk dan keluar.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengungkapkan dampak status pailit ini sudah dirasakan oleh 2.500 karyawan Sritex yang dirumahkan sementara. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah jika izin usaha tidak segera diterbitkan sebagai hasil dari proses kasasi yang sedang berlangsung di Mahkamah Agung.
Selain itu, Yeka menyoroti krisis bahan baku yang dialami Sritex. Persediaan bahan baku perusahaan hanya cukup untuk tiga minggu ke depan, dan jika tidak ada langkah cepat, potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran akan sulit dihindari.
“Jadi, diperkirakan, PHK besar besaran akan terjadi 3 Minggu ke depan. Kami mendorong Pemerintah untuk melakukan upaya-upaya percepatan dalam penyelesaian permasalahan ini untuk mencegah terjadinya gelombang PHK besarbesaran di PT Sritex,” kata Yeka dalam keterangannya, Rabu (13/11).
Yeka juga menilai kasus Sritex pailit menunjukkan adanya potensi maladministrasi dalam pelayanan publik. Ia menyebut bahwa prosedur dalam putusan pailit tidak mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk asas kepentingan umum.
“Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino yang besar pada penyelenggaraan pelayanan publik sektor industri, perdagangan dan ketenagakerjaan yang secara lebih lanjut akan membawa keterpurukan sektor tersebut,” jelas Yeka.
Advertisement
Revisi Kebijakan
Lebih lanjut, pihaknya mendesak adanya revisi kebijakan dan Undang-Undang Kepailitan. Menurut Yeka, regulasi tersebut berpotensi menciptakan maladministrasi di masa mendatang.
Ombudsman juga meminta Kementerian Perdagangan untuk mengambil langkah kebijakan yang lebih tegas dalam meningkatkan daya saing produk dalam negeri serta menangani maraknya impor ilegal.
“fenomena ini tidak hanya mengancam pelaku industri lokal, tetapi juga dapat mengganggu ekosistem perdagangan secara keseluruhan di tingkat global. Terutama pada sektor tekstil dalam negeri yang sangat rentan terhadap serbuan produk impor murah dari luar negeri,” tambah Yeka.
Sebagai langkah lanjutan, Ombudsman RI berencana menyampaikan rekomendasi dan masukan langsung kepada Presiden RI. Mereka berharap pemerintah segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan permasalahan ini dan melindungi tenaga kerja serta industri nasional.