Italia Promosi Teknologi Mesin Tekstil Ramah Lingkungan di Bandung dan Solo, Bagaimana Respons Pelaku Industri Lokal?

Teknologi mesin tekstil yang ramah lingkungan memerlukan investasi yang tidak sedikit. Di sisi lain, iklim usaha tekstil lokal sedang kembang kempis karena gempuran baju impor.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 15 Nov 2024, 14:01 WIB
Paolo Pinto, Komisaris Dagang dari Italian Trade Agency (ITA) (kiri), Presiden ACIMIT Marco Salvade (tengah), dan David Leonardi, Wakil Ketua Badan Perwakilan Daerah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat (kanan). (dok. ITA)

Liputan6.com, Jakarta - Tekstil sebagai bagian dari eksosistem industri fesyen bergerak ke arah ramah lingkungan. Tak hanya bahan bakunya yang natural, prosesnya juga diupayakan berdampak lingkungan seminimal mungkin. Italia merespons tuntutan itu dengan mendesain beragam mesin tekstil yang diklaim mendukung prinsip sustainability.

Memboyong 44 perusahaan dengan beragam spesialisasi, meliputi Finishing/Digital Printing, Dyeing, Non-Woven, Spinning, Weaving, dan Knitting, dan Textile lab, Italian Trade Agency (ITA) bersama ACIMIT (Asosiasi Produsen Mesin Tekstil Italia) menyelenggarakan Workshop Italian Textile Technology Indonesia di dua kota, yakni Solo dan Bandung, pada 12 dan 14 November 2024. Kedua kota itu didatangi berdasarkan rekomendasi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) agar lebih dekat dengan pasar yang dituju.

"Kami berada di sini tidak untuk menjual harga. Kita di sini bukan karena mesin kami jauh lebih murah. Kami di sini karena kami percaya bahwa teknologi kami adalah salah satu yang terbaik di dunia," ujar Marco Salvade, Presiden ACIMIT, Asosiasi Produsen Mesin Tekstil Italia, dalam sambutan di Bandung, Kamis , 14 November 2024.

Ia menyatakan bahwa mewujudkan teknologi yang dipromosikan dalam acara tersebut memerlukan waktu dan investasi yang tidak sedikit. Tujuannya adalah demi mendukung arah masa depan yang semakin menuntut keberlanjutan. Itu didefinisikannya sebagai teknologi yang minim penggunaan senyawa kimia berbahaya, efisien dalam penggunaan energi, dan juga rendah emisi karbon.

"Kami di sini untuk menjelaskan dan mencoba meyakinkan Anda bahwa masa depan bukan untuk membayar harga yang lebih murah, tetapi masa depan adalah untuk berinvestasi dalam sustainability," ucapnya lagi.

 


Inovasi Teknologi Mesin Tekstil Italia

Salah satu produsen mesin tekstil asal Italia mempromosikan mesin berteknologi ramah lingkungan kepada para pengusaha tekstil di Bandung. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Dengan menekankan pada faktor keberlanjutan, satu per satu perusahaan mesin tekstil Italia mempresentasikan produknya beserta keunggulannya. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah mesin pengering dari STALAM.

Mesin yang diproduksi perusahaan yang berbasis di Vicenza itu diibaratkan seperti microwave. Pasalnya, mereka menggunakan teknologi frekuensi radio untuk menyerap air dari material yang dikeringkan sehingga tidak ada sentuhan manusia selama proses berjalan.

Teknologi itu diklaim bisa menghemat tenaga karena operator tinggal menyetel sistem saja, plus hasilnya lebih kering merata dibandingkan memakai mesin pengering konvensional. Selain itu, energi yang diperlukan juga lebih rendah karena tidak melewati proses pemanasan seperti di mesin pengering konvensional.

Ada pula mesin pewarna untuk membuat sampel kain yang diproduksi Technorama. Mesin robotik itu memungkinkan proses penciptaan warna berlangsung secara otonom selama 24 jam dengan hasil yang lebih akurat. Menurut produsennya, mesin itu akan membantu proses riset di pabrik sebelum maju ke proses produksi yang sebenarnya.

Salvade menyebut bahwa beragam inovasi ramah lingkungan itu merupakan bagian dari Proyek Teknologi Berkelanjutan. Setiap produk yang lolos berhak mendapat sertifikat CLIMA yang bertujuan untuk mengidentifikasi kinerja energi dan lingkungan dari setiap mesin. Sejak 2012, lebih dari 1.800 sertifikat dihasilkan.


Sertifikasi Hijau dan Respons Pasar Lokal

Marco Salvade, Presiden ACIMIT. David Leonardi, Wakil Ketua Badan Perwakilan Daerah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, dan Paolo Pinto, Trade Commissioner dari Italian Trade Agency (kanan). (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

"Mulai 2016 hingga saat ini, jumlah emisi yang dapat dihindari adalah setara dengan 1,2 triliun ton karbon dioksida, setara dengan 221.187 mobil yang menempuh jarak 35.000 km selama setahun," kata Salvade lagi.

Lalu, bagaimana industri lokal menanggapi penawaran tersebut? David Leonardi, Wakil Ketua Badan Perwakilan Daerah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, menyatakan bahwa pihaknya tak meragukan lagi kualitas mesin tekstil Italia. Hanya saja, investasi untuk keberlanjutan lingkungan di sektor tekstil tinggi.

"Teknologinya mereka sudah tidak diragukan. Kami berani membayar apabila ada demand, ada permintaan. Tapi kalau tidak ada permintaan, apa yang mau dibeli?" jawabnya.

Ia pun berharap agar pemerintah membuat regulasi yang membantu memproteksi salah satu industri yang padat karya ini. Salah satunya  mendorong regulasi bea masuk antidumping (BMAD) untuk membatasi praktik dumping produk tekstil yang membanjiri pasar dalam negeri.

"Jadi, kami sekarang terus berupaya tidak berhentinya kepada ke pemerintah supaya ada regulasi disebutnya non-tariff barrier, yaitu salah satunya adalah BMAD anti-dumping," kata David. 


PR Besar Industri Tekstil Dalam Negeri

Ilustrasi fast fashion. (Foto: Unsplash/Becca McHaffie)

Menurut David, industri tekstil di dalam negeri saat ini tengah dibanjiri oleh barang-barang impor. Kondisi tersebut menyebabkan krisis yang mendorong banyak PHK dan penutupan pabrik. Untuk itu, kebijakan bea masuk antidumping, menurut dia, perlu diterapkan untuk melindungi industri tekstil di dalam negeri.

"Karena apabila kita tidak melakukan non-tariff barrier, ini akan membahayakan untuk industri lokal," katanya pula.

Dalam waktu bersamaan, pihaknya berupaya meyakinkan perbankan untuk bersedia mengucurkan pendanaan sembari terus mengedukasi pelaku industri agar mengadopsi konsep sustainability. "Jujur memang mereka melihat kami juga terus berhenti-berhentinya memberitakan kepada mereka ini (perbankan) tolong dibantu, karena masih tidak sedikit perusahaan juga masih optimis terhadap tekstil ini," katanya.

Di sisi lain, Komisaris Badan Perdagangan Italia (ITA), yang merupakan Kantor Promosi Dagang Kedutaan Besar Italia, mengakui bahwa mahalnya harga mesin-mesin Italia menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan serapan pasar Indonesia atas produknya masih minim. Selain karena faktor teknologi, perbedaan jarak kedua negara menyebabkan biaya menjadi tinggi.

Selain itu, ia menilai Indonesia tidak begitu terbuka terhadap pasar Eropa secara politik. "Jadi, kami berharap dengan presiden baru (Indonesia) sesuatu akan berubah dan hubungan dengan Eropa dan Italia khususnya akan menjadi lebih erat," kata Pinto.

 

Macam-macam material fesyen berkelanjutan. (dok. Liputan6.com/Trie Yasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya