Rugi Smartfren Telecom Bengkak hingga Rp 1 Triliun per September 2024

FREN membukukan pendapatan usaha sebesar Rp 8,54 triliun, turun 1 persen dibanding pendapatan pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 8,63 triliun.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 15 Nov 2024, 14:41 WIB
IHSG ditutup pada level 7.220,88. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) mengumumkan kinerja periode sembilan bulan yang berakhir pada 30 September 2024. Pada periode tersebut, FREN membukukan pendapatan usaha sebesar Rp 8,54 triliun, turun 1 persen dibanding pendapatan pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 8,63 triliun.

Sementara pendapatan turun, beban usaha naik menjadi Rp 8,71 triliun per September 2024 dibanding September 2023 yang tercatat sebesar Rp 8,31 triliun. Alhasil, perseroan membukukan rugi usaha Rp 164,1 miliar pada September 2024. Padahal, pada September tahun lalu perseroan masih membukukan laba usaha Rp 319,18 miliar.

Beban lain-lain per September 2024 ikut naik menjadi Rp 779,37 miliar dari Rp 966,18 miliar pada September 2023. Setelah memperhitungkan beban pajak, perseroan membukukan rugi periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar RP 1 triliun.

Rugi itu bengkak hampir dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, di mana perseroan membukukan rugi Rp 599,64 miliar.

Melansir laporan keuangan dalam keterbukaan informasi Bursa, Jumat (15/11/2024), perseroan membukukan aset Rp 41,5 triliun per September 2024, turun dari Rp 45,05 triliun pada Desember 2023.

Liabilitas hingga September 2024 turun menjadi RP 20,77 triliun dari RP 29,37 triliun pada Desember 2023. Sementara ekuita sampai dengan akhir September 2024 naik menjadi Rp 21,73 triliun dibanding Rp 15,67 triliun pada akhir tahun lalu.


BEI Luncurkan IDX-Infovesta Multi-Factor 28, Intip Konstituennya

Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (16/5). Sejak pagi IHSG terjebak di zona merah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bursa Efek Indonesia (BEI) dan PT Infovesta Utama meluncurkan indeks baru bertajuk IDX-Infovesta Multi-Factor 28. Indeks ini merupakan indeks saham multifaktor pertama di Indonesia yang terdiri dari 28 saham dengan pertumbuhan tinggi, valuasi wajar, dan volatilitas rendah.

Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik menjelaskan, indeks ini memperkenalkan metode baru dalam pembobotan saham yang tidak hanya fokus pada kapitalisasi pasar.

Namun, juga mempertimbangkan faktor volatilitas berdasarkan nilai beta, dan ukuran likuiditas yang dihitung berdasarkan nilai market cap free flow sebagai salah satu indikatornya. Peluncuran ini merujuk pada tren terhadap pertumbuhan produk investasi pasif meningkat dengan sangat cepat.

Berdasarkan data 2017, terdapat 23 produk dengan AUM sekitar Rp 5,9 triliun. Sementara data per Juli 2024, sudah ada 70 produk dengan pertumbuhan AUM menjadi 17 triliun.

Menurut Jeffrey, investor melihat produk investasi pasif lebih efisien, transparan dan biayanya lebih rendah dibandingkan dengan produk investasi aktif.

"Melihat perkembangan ini tentu bursa juga harus terus-menerus mengembangkan indeks yang bisa digunakan untuk para manajer investasi yang ujung-ujungnya kita harapkan memberikan keuntungan yang optimal kepada para investor," kata Jeffrey dalam edukasi wartawan pasar modal, Jumat (13/9/2024).

 


Saham Perbankan

Karyawan melihat layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Indeks acuan bursa nasional tersebut turun 96 poin atau 1,5 persen ke 6.317,864. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menariknya, saham perbankan raksasa tanah air, seperti BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI tidak masuk dalam indeks ini. Selain itu, sektor properti juga tidak ada dalam konstituen saat ini. Manager Research, Product, and Consulting Infovesta, Irfan Hilman menjelaskan, IDX-Infovesta Multi-Factor 28 merupakan indeks yang berbasis data atau data-driven.

Sehingga pemilihan sahamnya tergantung pada beberapa skor, seperti skor pertumbuhan (growth), skor value, dan skor dari local activity.

"Kebetulan dari semua sektor, saham properti tidak ada yang masuk ke kategori yang memiliki skor tinggi. Mungkin karena sektor properti  mengalami penurunan imbas kondisi ekonomi yang kurang bagus. Jadi memiliki skor pertumbuhan yang kurang bagus, sehingga tidak terpilih ke dalam indeks kami," jelas Irfan.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya