Liputan6.com, Gaza - Pagi hari tanggal 8 Juni, Ahmed Damoo mendapat telepon bahwa rumahnya di kamp pengungsi Nuseirat di Jalur Gaza tengah, dihantam roket Pasukan Keamanan Israel (IDF). Ketika kembali ke sisa-sisa rumahnya, dia mengetahui bahwa keluarganya terkubur di bawah reruntuhan.
Satu per satu, tetangganya menyeret mayat-mayat dari reruntuhan. Di antara yang tewas adalah mertua Damoo dan kedua anaknya, Hala (13) dan Mohannad (10), yang sedang bermain di ruang tamu ketika mereka terbunuh. Istrinya, Areej, dan balita, Tala, mengalami luka serius.
Advertisement
Anak terakhirnya, Mazyouna yang berusia 12 tahun, tidak dapat ditemukan. Ketika Damoo akhirnya menemukannya, dia hampir pingsan.
"Wajahnya hancur dan rahangnya benar-benar terkulai," kenangnya, seperti dilansir The Guardian, Sabtu (16/11/2024). "Gadis kecilku yang cantik sama sekali tidak dapat dikenali."
Di Rumah Sakit al-Aqsa, para dokter menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk menjahit kembali wajah Mazyouna dan menahan struktur yang tersisa agar tetap pada tempatnya.
Mohammed Tahir, seorang dokter Inggris yang menjadi relawan di Jalur Gaza, menemuinya saat dia melakukan pemeriksaan di bangsal.
"Itu adalah salah satu kasus paling mengejutkan yang pernah saya lihat," tutur Tahir. "Separuh pipinya hilang dan tulang-tulangnya terlihat.
"Para dokter telah berusaha sebaik mungkin, tetapi pekerjaan rekonstruksi ekstensif yang dibutuhkannya tidak dapat dilakukan di sini, di Jalur Gaza."
Sejak Juni, keluarga dan FAJR Scientific, sebuah organisasi nirlaba AS yang menyediakan perawatan medis gratis bagi warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat, telah mencoba mengevakuasi Mazyouna untuk dirawat di Amerika Serikat (AS), di mana mereka memiliki dokter bedah yang siap merawatnya.
Lima kali permintaan mereka ditolak tanpa penjelasan oleh badan militer Israel yang bertanggung jawab atas urusan kemanusiaan di Jalur Gaza yakni, Koordinasi Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT).
Sekarang, lima bulan kemudian, situasinya semakin buruk. Masih ada serpihan peluru di leher Mazyouna dan dia kesakitan setiap kali bergerak. Dia tidak bisa makan atau berbicara. Platina yang digunakan oleh dokter bedah untuk membangun kembali wajahnya mulai retak, hanya tersisa perban yang menahan rahangnya.
Dokter mengatakan lukanya kini terinfeksi dan tidak banyak yang dapat mereka lakukan untuk menghentikan penyebarannya. Jika dia tidak segera diizinkan menjalani operasi, dia bisa meninggal.
"Setiap hari saya melihat putri saya yang cantik, yang bahkan tidak tahan lagi untuk melihat dirinya sendiri di cermin," tutur Damoo.
"Hal tersulit bagi orang tua mana pun adalah melihat anak mereka menderita dan tidak dapat berbuat apa-apa. Saya telah kehilangan dua anak saya – kehilangan anak lainnya akan menghancurkan kami sepenuhnya."
Kegeraman terhadap Israel
Pekan ini, organisasi bantuan Medecins Sans Frontieres (MSF) mengatakan pemerintah Israel memblokir, tanpa penjelasan, evakuasi medis delapan anak dan pengasuh mereka dari Jalur Gaza yang membutuhkan perawatan medis, termasuk seorang anak berusia dua tahun dengan amputasi kaki, ke rumah sakit MSF di Yordania.
Dari 32 anak yang telah diminta untuk dievakuasi secara medis dari Jalur Gaza ke Yordania dalam beberapa bulan terakhir, hanya enam yang diizinkan untuk pergi.
"Prosedur yang panjang dan penolakan yang tidak dapat dijelaskan menghalangi penyediaan perawatan medis bagi anak-anak yang terluka parah di Gaza," kata Country Director MSF di Yordania Moeen Mahmood.
"Sangat mengejutkan dan keterlaluan bahwa anak-anak yang membutuhkan perawatan penting dihalangi oleh Israel untuk meninggalkan Gaza. Penolakan Israel terhadap evakuasi medis yang mendesak menentang akal sehat dan kemanusiaan."
UNICEF mengatakan anak-anak dievakuasi dari Jalur Gaza dengan kecepatan kurang dari satu anak per hari. Sementara itu, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menekankan bahwa sejak Mei, evakuasi medis hampir terhenti.
"Anak-anak di Gaza sekarat - bukan hanya karena bom, peluru, dan granat yang menghantam mereka - tetapi karena, bahkan ketika mukjizat terjadi (dan) mereka selamat, mereka kemudian dicegah meninggalkan Gaza untuk menerima perawatan darurat yang akan menyelamatkan hidup mereka," tegas James Elder dari UNICEF.
"Ini bukan masalah logistik – kami memiliki kemampuan untuk mengangkut anak-anak ini keluar dari Gaza dengan aman. Ini bukan masalah kapasitas – bahkan, kami baru saja mengevakuasi anak-anak dalam jumlah yang lebih banyak beberapa bulan lalu. Ini hanya sebuah masalah yang sama sekali diabaikan."
Orang tua Mazyouna tidak diberi alasan mengapa putri mereka tidak diizinkan meninggalkan Jalur Gaza untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya. Orang tua lainnya mengatakan kepada The Guardian bahwa mereka juga ditolak izinnya untuk bepergian dengan anak-anak mereka yang sakit. Masalah keamanan menjadi alasannya tanpa elaborasi lebih lanjut.
COGAT dan IDF bungkam.
Dalam banyak kasus, organisasi kemanusiaan menuturkan ketika COGAT menyetujui evakuasi anak-anak, mereka menolak permintaan orang tua atau kerabat untuk ikut serta.
"Tidak seorang pun dapat memastikan apakah keluarga-keluarga ini akan bersatu kembali," kata Somaya Ouazzani, salah seorang pendiri organisasi bantuan medis Inggris Children Not Numbers, yang sejauh ini telah membantu mengevakuasi lebih dari 100 anak yang terluka dari Jalur Gaza.
"Benar-benar tidak dapat diterima bahwa situasi ini harus terjadi."
Advertisement