Liputan6.com, Hong Kong - Di era 1990an, film-film laga Hong Kong begitu terkenal di seantero dunia. Aktor seperti Bruce Lee, Jackie Chan, Stephen Chow dan Andy Lau bahkan begitu dikenal di Indonesia sampai sekarang.
Kini industri film Hong Kong masih diwarnai dengan beragam film action dengan aktor-aktor baru. "Tapi popularitas mereka belum sampai di titik seperti yang dialami aktor-aktor senior Hong Kong dulu," ungkap Carolus, pemandu wisata yang menemani Tim Lifestyle Liputan6.com dan rombongan wartawan dari Indonesia, begitu tiba di Bandara Hong Kong, Senin, 11 November 2024.
Advertisement
Tampak ingin membangkitkan lagi industri perfilmannya, Hong Kong mempromosikannya ke turis dengan membuat setting sebuah film produksinya yang cukup sukses di pasaran orang lokal. Film itu berjudul "Twilight of the Warriors: Walled In", yang bersetting di Kowloon Hong Kong.
Pengalaman sinematik film tersebut bisa dilihat di terminal kedatangan Bandara Hong Kong. Pameran ini berlangsung sejak 7 Oktober hingga akhir November 2024 yang menarik para wisatawan karena bisa menjadi spot foto Instagramable.
Wajah aktor pemeran filmnya yang tampak familiar adalah Louise Koo, Sammo Hung, Richie Jen, dan beberapa nama lain yang belum begitu tenar. Beberapa nama baru kemungkinan hanya dikenal warga lokal Hong Kong dan kawasan di China.
Sementara filmnya terbilang menarik karena dari kisah nyata yang sebelumnya dibuat menjadi novel berjudul City of Darkness karya Yuyi dan manhua berjudul sama karya Andy Seto. Menceritakan tentang kondisi sosial masyarakat Hong Kong pasca Perang Dunia II tepatnya era 1980an, di mana masyarakat penuh pergolakan karena ekonomi saat itu sangat sulit.
Bangunan ala Hong Kong Era 1980an
Telah rilis 1 Mei 2024, "Twilight of The Warriors: Walled In" masuk box office Hong Kong dan China, mencetak pendapatan 95,3 juta dolar Amerika. Film ini menjadi film domestik terlaris kedua sepanjang masa di Hong Kong.
Twilight of The Warriors: Walled In juga terpilih sebagai perwakilan resmi Hong Kong untuk Film Fitur Internasional Terbaik di Academy Awards ke-97. "Film yang seperti ini sudah lama tidak muncul di Hong Kong," sambung Carolus.
Adegan aksi menjadi highlight film karena bercerita kekacauan di Kota Bertembok Kowloon yang terkenal kejam di masa itu. Bangunan bertumpuk saat sistem sosial masyarakat penghuninya yang berada di garis kemiskinan mencoba bertahan hidup, membuat setting film juga menarik.
Aksi pukul-pukulan, silat ala China yang populer sejak zaman aktor Bruce Lee beraksi mendominasi keseluruhan cerita film. "Bangunan ini akhirnya sudah dibongkar pemerintah, karena sangat bahaya di paling bawahnya tidak ada fondasi," beber Carolus, mengungkap bahwa sudut bandara yang didekorasi ala film tersebut ingin menggambarkan secara nyata bangunan seperti dalam film Twilight of The Warriors: Walled In.
Penasaran dengan filmnya? Liputan6.com pun menonton adegan aksi penuh perkelahian di salah satu layanan streaming Disney+ Hot Star. Anda juga bisa menontonnya di layanan tayangan tv di maskapai penerbangan seperti Cathay.
Advertisement
Berwisata ke Kampung Nelayan di Hong Kong
Hong Kong tak hanya Disneyland atau bagian kotanya yang ramai seperti Tsim Sha Tsui. Masih banyak destinasi menarik, seperti desa di pedalamannya yang unik untuk dijelajahi, salah satunya Tai O Fishing Village yang ada di bagian barat Pulau Lantau.
Dengan populasi sekitar 2.000 penduduk, desa ini memiliki sejarah panjang sebagai pemukiman para nelayan di Hong Kong. Tai O merupakan rumah bagi Suku Tanka. Masyarakat nelayan yang membangun rumah mereka di atas lahan pasang surut Pulau Lantau dari generasi ke generasi.
Bertahan hidup dari kerasnya alam di Hong Kong, para keluarga nelayan tampak telah terbiasa dengan ancaman Badai Taifun dan banjir saat air pasang. Menariknya, dengan fakta bahwa Hong Kong sebagai salah satu destinasi dengan biaya hidup termahal di dunia, para nelayan cukup bersyukur bisa mendapat izin mendirikan bangunan di Tai O.
"Tebak berapa biaya izin tinggal di Tai O Village, per tahun? Ayo sebut angka?" seru Joanna, pemandu wisata yang mendampingi Lifestyle Liputan6.com dan jurnalis lainnya dari Indonesia, Singapura, dan Malaysia di Desa Tai O pada Selasa, 12 November 2024.
Membuat Telur Asin di Kampung Nelayan
Tak satu pun menjawab benar karena didapatkan jawaban tidak terduga, bahwa satu keluarga nelayan hanya perlu membayar 10 dolar Hong Kong saja atau sekitar Rp20.000 per tahun. Tetapi, keluarga nelayan ini perlu mengajukan aplikasi mendirikan bangunan ke pemerintah. Ada pula syarat lainnya, seperti bangunan harus dibuat dari kayu khusus yang tidak akan mengambang jika terendam air dan perawatannya.
Bukan hanya biaya izin tinggal yang murah, nelayan pun betah tinggal di sana karena lokasinya juga dekat dengan sumber mata pencaharian mereka. Mereka bisa melaut dan juga bertani karena dikelilingi bukit dan gunung.
Sejak tahun 1940, warga desa pesisir itu secara rutin memproduksi garam. Namun sekarang, mereka merambah bisnis telur asin dengan memanfaatkan garam yang dihasilkan sendiri. Salah satunya Pearl Fan dan suaminya.
Bagi warga Hong Kong dengan nenek moyang orang China, olahan telur asin diyakini dapat membuat masakan semakin lezat. Tapi, jangan bayangkan telur asin seperti di Indonesia, karena proses produksinya berbeda.
Telur asin dibuat dengan cara memisahkan kuning telur dari putihnya. Setelah dipisahkan dan diletakkan di sebuah nampan dengan alas, kuning telur lalu dibumbui garam laut kemudian telur dijemur hingga kering.
Baca Juga
Advertisement