Liputan6.com, Jakarta - Samuel Ervin Beam baru melantunkan lirik, "Please remember me. Fondly, I heard from someone you're still pretty," saat saya tiba di depan House of Tugu Jakarta Old Town, Kamis sore, 14 November 2024. Lagu "The Trapeze Swinger" oleh Iron & Wine itu kebetulan terputar tepat setelah saya keluar dari Halte Transjakarta Kali Besar di kawasan Kota Tua Jakarta.
Menyudahi jalan kaki singkat itu, saya masuk ke area lobi hotel, disambut suara air terjun mini dan perabot tidak biasa. Bak tersedot ke dalam mesin waktu, saya seolah dibawa kembali ke masa kapal-kapal Hindia Belanda masih hilir mudik di Kali Besar di muka properti, namun dalam gaya yang tidak sepenuhnya kolonial.
Advertisement
Regional Sales and Marketing Manager Tugu Hotels, Rosiany T. Chandra, menjelaskan bahwa bangunan dari abad ke-17 ini dulunya merupakan milik saudagar Tionghoa yang nyentrik. "Ia tidak mau rumahnya dimasuki orang, makanya disebut 'The Forbidden House of Batavia' alias 'Rumah Terlarang Batavia,'" Sian, sapaannya, menjelaskan di sesi hotel tour bersama Lifestyle Liputan6.com, Kamis.
Hanya di area lobi saja, Anda akan mendapati begitu banyak benda peninggalan sejarah. Ini sesuai dengan tema "Museum Peranakan Jakarta" yang memamerkan koleksi artefak dan karya seni bersejarah yang menonjolkan keragaman budaya Jakarta, yang saat itu masih bernama Batavia.
"Bangunan ini pernah kebakaran dan berubah fungsi, sebagaimana banyak properti peninggalan era Kolonial. Di antaranya, ini pernah jadi gudang gula dan kantor organisasi orang Tionghoa," ia bercerita.
Sarat Akan Sejarah
Melewati area lobi, kami diajak melihat beberapa ruangan yang dinamai berdasarkan tokoh-tokoh kenamaan. Ada Oei Tiong Ham, yang merupakan leluhur pemilik Tugu Hotels, mantan Presiden Soekarno, serta Raden Saleh, paman istri Oei Tiong Ham; Raden Ajeng Kasinem.
Selain mengakomodasi pertemuan privat dalam kapasitas belasan hingga puluhan orang, ruangan-ruangan ini juga menyimpan cerita dari masing-masing figur tersebut. Anda akan mendapati replika surat-surat yang hilang, hingga pakaian peninggalan yang kini jadi saksi bisu sejarah.
Di lorong setelah lobi, pastikan Anda melihat ke arah langit-langit, karena terdapat kipas angin yang bergerak dengan unik. Berlanjut, kami melihat suites, yang berjumlah total 25, di lantai dua, tiga, dan empat. Di lantai empat, Anda akan mendapati Town Suites yang memadukan desain modern dan klasik.
"Setiap ruangan di desain berbeda, jadi tidak akan ada yang sama satu sama lain, walau dalam satu tipe kamar," Sian menyebut. Kamarnya lapang, dengan layout tidak biasa, di mana satu extra-large double bed ditata di tengah ruangan.
Advertisement
Nyonya Besar sampai Max Havelaar Suites
Di lantai tiga, Anda akan menemukan Nyonya Besar Suites, yang bahkan lebih luas. Selain tempat tidur besar dan meja kerja, terdapat sejumlah kursi velvet dalam berbagai desain yang memberi sentuhan elegan, bath tub tembaga, serta balkon privat yang menyuguhkan pemandangan Kali Besar.
"Dengan bangunan-bangunan kolonial di seberangnya, jadi terasa seperti ada di Belanda," ujar Sian, yang mengamini anggapan saya bahwa kamar ini cocok untuk bridal shower.
Belanjut ke lantai dua, ada satu kamar unik yang jadi penghormatan untuk Max Havelaar alias Multatuli. Menurut Sian, pihaknya ingin memperlihatkan desain bangunan khas Lebak, Banten, di ruangan ini.
Sejak pintu kamar dibuka, saya langsung tertegun melihat desain kamar mandi, dengan toilet terpisah, yang berdinding lemari-lemari tua. Namun, kaget itu ternyata tidak seberapa setelah mendapati "kerangka" tempat tidur yang seolah menggambarkan rumah adat Banten.
Seperti tipe Nyonya Besar Suites, ada balkon pribadi, yang berukuran lebih luas, di kamar ini. Ruang ini juga menawarkan pemandangan kompleks Kota Tua Jakarta di seberang kali.
Restoran sampai Kedai Kopi
Kami juga sempat diajak melihat ballroom bernunasa Societeit Harmonie. "Tata perabot di ruangan ini dibuat menyerupai desain yang dipakai berpesta oleh orang Belanda dulu," ujar Sian.
Menggenapi fasilitas, terdapat Jajaghu Restaurant yang menyajikan perpaduan masakan Asia dan Barat, menjanjikan pengalaman kuliner memikat yang melengkapi narasi budaya hotel. Restoran ini juga menyimpan koleksi artefak langka, seperti patung kayu besar Raja Kertanegara yang digambarkan sebagai Jokodolok, yang berakar pada tradisi Jain kuno India.
Raja Kertanegara, penguasa terakhir Kerajaan Singhasari, berperan penting dalam pendirian kerajaan Majapahit, yang menambah kedalaman sejarah ruangan tersebut. Selain itu, terdapat patung Shinto Jepang abad ke-19 dari Kyoto, yang awalnya dibawa ke Jawa selama pendudukan Jepang.
Menggenapi itu, ada satu pemandangan yang memikat mata saya: batang-batang pohon yang merambat, yang saya pikir semula sengaja dibuat sebagai pelengkap desain ruangan. "Oh tidak," kata Sian. "Pohon-pohon itu sudah ada saat renovasi, sengaja tidak disingkirkan, jadi kami tata ulang saja."
Selain itu, ada pula bar, De Tiger Poolside Lounge, dan Babah Koffie, yang bisa disambangi tanpa menginap. Kedai ini menyajikan kopi dan hidangan terinspirasi budaya Peranakan yang seluruhnya dibuat sendiri.
Akhirnya, pembukaan akomodasi baru dalam jaringan Tugu Hotels ini bukan sekadar perayaan atas hotel baru, tapi penghormatan pada Jakarta—kota dengan permata tersembunyi dan keajaiban bersejarah. "Kami mau Jakarta tidak hanya jadi kota transit, jadi semoga pembukaan House of Tugu Jakarta Old Town bisa jadi titik awal selebrasi kawasan bersejarah ini," ungkap dia.
Lokasi hotel di Jl. Kali Besar Barat sendiri kian semarak, dengan turut dibukanya Toko Merah, beberapa waktu lalu. "Masih ada berbagai fasilitas, seperti Oei Tiong Ham suites, yang akan melengkapi grand opening kami Februari mendatang, walau sekarang pun pemesanan sudah mulai masuk," tandas Sian.
Advertisement