Liputan6.com, Jakarta Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyoroti tingkat produktivitas sawit Indonesia yang dinilai masih rendah, bahkan kalah dari Malaysia. Dia mencatat ada potensi kerugian akibat tidak produktifnya lahan sawit mencapai Rp 185 triliun.
Dia mengatakan, rata-rata nasional produktivitas lahan adalah 12,8 ton per hektar Tandan Buah Segar (TBS). Jika dibandingkan, produktivitas optimal yang pernah dicapai Perusahaan kelapa sawit di Malaysia dengan Sertifikasi MSPO 95 persen adalah 19 ton per hektar. Artinya, ada perbedaan sekitar 5,2 ton per hektar.
Advertisement
Yeka membagi potensi kerugian itu pada dua variabel. Pertama, produktivitas dari kebun rakyat. Kurang produktifnya kebun sawit rakyat dipengaruhi rendahkan peremajaan sawit rakyat (PSR).
"Tidak optimalnya produktivitas lahan dapat disebabkan antara lain karena rendahnya capaian PSR. Kondisi ini dapat mengakibatkan potensi kerugian," kata Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Dalam hitungannya, pada setiap selisih produksi 6,2 ton/hektar kebun sawit rakyat (6 juta ha) pada harga tandan buah segar (TBS) Rp3.000/kg maka potensi kerugian perkebunan kelapa sawit rakyat adalah sejumlah Rp 111,6 triliun per tahun.
Kedua, Yeka menyoroti produktivitas lahan perkebunan kelapa sawit juga dapat disebabkan oleh praktek perkebunan yang tidak memenuhi standar ISPO. Saat ini sertifikasi ISPO baru mencapai 35 persen, sertifikasi ISPO salah satunya mengatur mengenai standar kualitas bibit.
"Potensi kerugian dari aspek kualitas bibit pada setiap selisih produksi 3,8 ton TBS per hektar untuk luasan perkebunan perusahaan sawit di Indonesia yang belum berstandar ISPO, 65 persen dikali 10 juta hektar, maka potensi kerugian perkebunan sawit adalah Rp 74,1 triliun per tahun," tuturnya.
Pembibitan
Dia menjelaskan, pembibitan yang baik sesuai regulasi adalah ketika kebun berisi tanaman dengan varietas non tenera sejumlah kurang dari 2,5 persen. Namun, saat ini varietas non tenera yang tertanam di kebun masih tinggi, yaitu di atas 70 persen.
"Dengan pembibitan yang baik produktivitas dapat naik 30 persen, saat ini rata-rata produktivitas 12,8 ton/hektar dapat naik menjadi 16,6 ton/hektar," kata dia.
Jika dijumlahkan, berkaitan dengan aspek produktivitas, ada potensi kerugian mencapai Rp 185,7 triliun.
Tata Kelola Sawit Buruk
Ombudsman Republik Indonesia menyoroti tata kelola industri kelapa sawit yang masih carut marut. Bahkan, ada potensi kerugian ekonomi mencapai Rp 279,1 triliun per tahun imbas dari tata kelola sawit yang buruk tersebut.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengungkap angka tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Analisis (LHA) terkait potensi maladministrasi di sektor perkebunan hingga industri sawit.
"Tata kelola industri kelapa sawit saat ini tidak cukup baik dan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomis," ungkap Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Advertisement
Potensi Kerugian Ekonomi
Setidaknya ada 4 aspek yang ditemui berpotensi mengalami maladministrasi. Yakni, aspek lahan, berupa tumpang tindih lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan. Aspek perizinan, terkait dengan kepemilikan lahan. Aspek tata niaga, hingga aspek kelembagaan yang juga disoroti oleh Ombudsman.
"Akibat tata kelola tadi, kalau kita jumlahkan potensi kerugian di aspek lahan, potensi kerugian di aspek perizinan, potensi kerugian di aspek tata niaga, ini kalau dijumlahkan kerugiannya mencapai Rp 279,1 triliun per tahun," urai Yeka.
Rinciannya, Potensi kerugian meliputi aspek lahan sebesar Rp74,1 triliun per tahun. Aspek peremajaan sawit terkendala Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebesar Rp111,6 triliun per tahun.
Aspek kualitas bibit yang tidak sesuai ISPO sebesar Rp81,9 triliun per tahun. Serta aspek kehilangan yield akibat grading tidak sesuai standar kematangan tandan buah segar (TBS) sebesar Rp11,5 triliun per tahun.
"Silakan, ini direnungkan. Kalau tata kelola ini bisa diperbaiki maka minimalnya negara akan mendapatkan tambahan sebesar Rp 279,1 triliun," tegasnya.