Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan itu bakal membuat harga barang dan jasa melonjak, termasuk ongkos pembangunan infrastruktur.
Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengatakan, ongkos pembangunan infrastruktur pastinya akan membengkak dengan adanya lonjakan tarif PPN pada tahun depan.
Advertisement
"Ya pasti akan berefek, pasti akan ada eskalasi harga dan seterusnya. Tapi itu nanti lah, belum lah itu. Kita harus bicara dengan para stakeholder terkait ya, pasti akan ada," ujar Dody di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Memitigasi hal itu, Kementerian PU menyiapkan strategi untuk melakukan relokasi anggaran 2025. Khususnya guna menunjang pembangunan infrastruktur dalam program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
"Ya nanti tinggal merelokasi anggaran kanan-kiri saja. Sekarang kan anggaran 2025 kan sudah diketok 2024. Tapi kan fokusnya mungkin sedikit berubah," kata Dody.
"Karena sekarang lebih kepada bagaimana anggaran 2025 ini bisa menjadi cikal bakal untuk bisa menyukseskan asta cita Pak Presiden Prabowo. Salah satu yang utamanya adalah ketahanan pangan, energi dan air, itu saja," urainya.
Dody menyampaikan, realokasi anggaran terbesar sejauh ini untuk ketahanan pangan. Kementerian PU ke depan bakal banyak fokus di sektor sumber daya air (SDA) untuk menunjang program prioritas tersebut.
"Dalam bentuk penyehatan irigasi-irigasi. Kebanyakan berhubungan dengan bendungan, bendung, irigasi dan seterusnya. Pokoknya fokusnya ke ketahanan pangan deh," pungkas Dody.
Ini Sederet Dampak Naiknya PPN jadi 12% pada 2025
Sebelumnya, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan kembali menjadi sorotan di tengah penurunan daya beli masyarakat. Kenaikan tarif PPN sudah termaktub dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk naik pada Januari 2025 menjadi 12%, dari yang saat ini telah di level 11%.
Adapun, PPh badan direncanakan untuk dipangkas dari 22% menjadi 20%. Hal ini dilakukan untuk mendorong daya saing Indonesia.
Menanggapi hal itu, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengungkapkan, wacana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula 11% naik menjadi 12% dinilai akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi.
“Karena jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen itu tentunya akan menambah biaya produksi. Ketika biaya produksi dibebankan pada produk akhir dan terjadi kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen, maka otomatis akan terjadi secara masif konsumen akan mengurangi pengeluaran belanja yang lain,” ujar Tauhid dalam keterangannya, dikutip Jumat (15/11/2024).
Karena kenaikan satu produk ke produk yang lain akan memiliki implikasi terhadap double counting dalam perhitungan PPN. Di mana ketika barang tersebut berada pada satu tangan ke tangan yang terakhir dikhawatirkan akan menjadi beban.
“Kenaikan PPN tentunya akan memiliki konsekuensinya terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi. Di antaranya tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, kemudian memberi efek negatif bagi perusahaan atau industri yang sangat sensitif terhadap kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen. Dan dikhawatirkan juga akan menurunkan lapangan pekerjaan,” beber Tauhid.
Lebih lanjut Tauhid mengatakan, jika dipelajari dari kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10% ke 11%, ada tambahan penerimaan negara di atas 100 triliun. Akan tetapi mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi terutama konsumsi masyarakat di tahun 2024, dan ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya.
Advertisement
Minta Ditunda
Terkait dengan hal itu, INDEF merekomendasikan agar pemerintah untuk menunda terlebih dahulu kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi. Sebab di banyak negara PPN tidak juga harus sebesar 12 persen. Bahkan Sejumlah negara masih mengenakan tarif PPN hanya 10 persen,
“Upaya lain di antaranya, melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi agar diperluas bukan kepada kenaikan tarif PPN itu sendiri, namun upaya dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan intensifikasi kenaikan PPN tersebut. Apakah penggunaan perluasan basis wajib pajak atau penggunaan teknologi, sehingga PPN itu lebih besar tanpa harus menaikkan tarif dari 11 persen menjadi 12 persen,” katanya.
Sementara itu, terkait dengan program makan siang bergizi, Tauhid Ahmad mengingatkan pemerintah agar mewaspadai risiko pembengkakan jumlah impor bahan pangan.
Terlebih, lanjutnya, masih cukup banyak bahan pangan yang belum bisa dipenuhi di dalam negeri.
"Rasanya kayaknya sebagian besar [bahan pangan] itu impor ya, misalnya beras. Tanpa ada makan siang gratis saja kita sudah impor, kemarin 2 juta ton, hampir 3 juta ton," ungkap Tauhid.
Pentingnya Libatkan UMKM
Untuk itu, dia menekankan pentingnya untuk melibatkan usaha mikro kecil menengah (UMKM) lokal untuk memperkuat suplai bagi program makan siang ini dan mengurangi impor bahan pangan.
Dengan melibatkan UMKM lokal; petani, penyedia barang, sampai dengan pihak pelaksana lokal diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usaha mereka, alih-alih harus bermitra dengan pengusaha besar.
Dengan demikian, kata Tauhid, program makan siang gratis ini diharapnya tidak hanya akan memberikan dampak positif bagi kesehatan anak-anak, tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi pelaku usaha lokal.
"Ketimbang harus bermitra dengan pengusaha-pengusaha besar, [libatkan] peternak mandiri untuk penyediaan telur atau daging ayam buras. Sehingga mereka bisa terlibat lebih banyak. Iya, itu adalah dampak ekonominya di situ. Saya kira itu yang paling besar sih, itu dampak yang paling terlihat nanti," jelasnya.
Advertisement