Ketika Canting Batik Menjembatani Dua Kota Bersejarah

Momen ini menggambarkan pertemuan dua tradisi besar Asia yang sama-sama menjunjung tinggi ketelitian dan kesabaran dalam berkarya. Kyoto dan Yogyakarta memang seperti saudara kembar yang terpisah benua.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 20 Nov 2024, 17:00 WIB
Sejumlah pengrajin batik Shiroshima di Yogyakarta sedang membatik dengan teknik menggunakan canting (Foto: Dok Istimewa)

Liputan6.com, Yogyakarta - Siapa sangka, sebuah canting batik bisa menjadi alat diplomasi budaya yang begitu kuat. Di tengah workshop batik Pura Pakualaman, terlihat pemandangan unik. Gubernur Kyoto, Takatoshi Nishiwaki, dengan tekun menggoreskan malam panas di atas kain pada 16 November kemarin.

Melansir dari jogjaprov.go.id, Takatoshi Nishiwaki bukan sekadar kunjungan formal, momen ini menggambarkan pertemuan dua tradisi besar Asia yang sama-sama menjunjung tinggi ketelitian dan kesabaran dalam berkarya. Kyoto dan Yogyakarta memang seperti saudara kembar yang terpisah benua.

Keduanya sama-sama kota yang kental dengan tradisi, menjadi pusat kebudayaan, dan memiliki istana bersejarah. Di Kyoto ada seni melipat kertas origami yang membutuhkan ketelitian, sementara di Yogyakarta ada batik yang menuntut kesabaran.

Kedua kota ini seperti menemukan cerminan diri mereka di belahan dunia yang berbeda. Yang menarik, Gubernur Nishiwaki ternyata memiliki bakat tersembunyi dalam membatik.

Tangannya yang biasa menandatangani dokumen pemerintahan, ternyata cukup luwes memegang canting. Hasil karyanya bahkan mendapat pujian dari keluarga Pura Pakualaman yang sudah malang melintang di dunia batik. Ini membuktikan bahwa seni tradisional seperti batik bisa menjadi bahasa universal yang melampaui batas negara.

Momen membatik ini juga menyimpan makna yang lebih dalam. Dalam tradisi Jawa, proses membatik tidak hanya tentang menciptakan motif di atas kain, tetapi juga tentang meditasi dan pengendalian diri.

Sama seperti tradisi upacara minum teh di Kyoto yang penuh makna filosofis. Kedua tradisi ini mengajarkan nilai-nilai yang serupa: kesabaran, ketelitian, dan penghargaan terhadap proses.

Menjelang perayaan 40 tahun hubungan Sister Province pada 2025, workshop batik ini menjadi simbol indah bagaimana dua kota bersejarah bisa saling belajar dan menghargai. Batik tidak lagi sekadar warisan budaya Yogyakarta, tetapi juga menjadi jembatan penghubung dengan Kyoto, membuktikan bahwa tradisi lokal bisa menjadi alat diplomasi yang efektif di era modern.

Pertemuan antara Yogyakarta dan Kyoto melalui seni membatik ini menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya tradisional memiliki kekuatan untuk menyatukan dan mempererat hubungan antarbangsa. Workshop batik yang dihadiri Gubernur Nishiwaki bukan sekadar acara seremonial, melainkan sebuah momentum yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai luhur dari dua budaya besar Asia, ketelitian, kesabaran, dan penghormatan terhadap tradisi, dapat berdialog dengan harmonis, menciptakan jembatan persahabatan yang semakin kokoh menuju perayaan 40 tahun Sister Province yang akan datang.

 

Penulis: Ade Yofi Faidzun

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya