Liputan6.com, Jakarta - Forum Bahtsul Masa'il di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat digelar sejumlah ulama dan perwakilan pesantren dari Jawa dan Madura.
Dalam forum tersebut mengimbau masyarakat untuk lebih teliti dalam menyebarkan dan melihat ajakan boikot. Boikot harus dilakukan berdasarkan legitimasi syariat yang kuat agar tidak salah sasaran sehingga membawa mudharat kepada masyarakat Indonesia.
Advertisement
Ketua Bahtsul Masa'il Se-Jawa Madura, Abbas Fahim menjelaskan, boikot memang diperbolehkan dalam hukum Islam sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan. Dia melanjutkan, para ulama menyepakati bahwa boikot diperbolehkan jika memenuhi dua syarat.
"Pertama, harus ada bukti keterkaitan produk dengan pihak yang melakukan kezaliman. Kedua, boikot tidak boleh menyebabkan dampak negatif besar seperti PHK massal tanpa solusi," ujar Abbas, melalui keterangan tertulis, Senin (18/11/2024).
Dia mengatakan, diperlukan bukti yang kuat dan valid bagi perusahaan-perusahaan yang dituduhkan terafiliasi Israel. Dia mencontohkan PT Rekso Nasional Food pemegang lisensi McDonald's di Indonesia yang kerap menjadi sasaran boikot karena diduga memiliki afiliasi dengan Israel.
"Meski demikian, aksi tersebut telah memberikan dampak ekonomi, khususnya bagi karyawan lokal yang bekerja di gerai-gerai waralaba terkait. Kami imbau masyarakat untuk lebih cermat dan selektif dalam menyikapi informasi yang beredar terkait daftar produk boikot," papar Abbas.
Menurut dia, hal ini dilakukan agar aksi boikot yang dilakukan tidak justru merugikan masyarakat Indonesia sendiri. Di samping itu, kata Abbas, forum menyarankan agar keputusan terkait boikot produk dilakukan melalui kebijakan pemerintah, mengingat dampaknya yang luas dan menyangkut kepentingan publik.
Masyarakat Diminta Lebih Teliti
Forum Bahtsul Masa’il diadakan sebagai bagian dari peringatan Hari Santri Nasional 2024. Diskusi tersebut juga dilakukan sekaligus untuk memberi panduan syariat bagi umat muslim terkait polemik gerakan boikot yang semakin marak di masyarakat.
Kemudian, Tokoh cendekiawan Muslim Indonesia Prof Quraish Shihab menambahkan, dirinya menghimbau agar masyarakat lebih teliti dalam melakukan aksi boikot ini. Dia mengatakan, sebab dalam membasmi kemungkaran itu tidak boleh mengakibatkan kemungkaran yang sama atau lebih.
Pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) itu juga bercerita soal seorang pengusaha yang datang kepadanya dan menjadi korban aksi boikot sehingga penjualannya menurun sampai 60 persen.
"Padahal, pengusaha tersebut menggunakan bahan-bahan dalam negeri dan memberi pekerjaan bagi seluruh warga termasuk umat muslim," ucap Quraish.
"Bagaimana? Ini kan problem. Jadi mestinya yang kita boikot itu, saya katakan: kita harus berpikir. MUI yang mengeluarkan fatwa itu harus berpikir menentukan, ini (produk) yang kita boikot, ini tidak," sambung dia.
Penulis buku Membumikan Al-Qur’an ini juga menyoroti daftar produk-produk yang beredar di media sosial. Menurutnya, sebagian dari produk tersebut tidak perlu diboikot. Oleh karena itu, dia meminta publik untuk lebih berhati-hati dalam melakukan aksi tersebut.
"Nah, pada dasarnya kita harus memboikot yang jelas-jelas membantu Israel, yang tidak, kita harus berhitung dong; apakah dia lebih rugi atau kita lebih rugi?," kata alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Advertisement
Soal Boikot
Sementara itu, Ketua Badan Wakaf Pesantren Tebuireng (BWPT) KH Abdul Halim Mahfudz menjelaskan, ajaran Islam tidak pernah membenarkan umatnya untuk memboikot produk-produk yang hanya disebut-sebut saja terafiliasi dengan Israel tanpa disertai bukti konkret.
"Sebab, perbuatan seperti itu bisa menjadi fitnah terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Dalam Islam itu tidak boleh memutuskan secara sewenang-wenang. Semua harus ada dalil, harus ada hukumnya, harus ada kriteria nya, harus ada standarnya," terang Abdul Halim.
Pengasuh Pesantren Salafiyah Seblak, Jombang ini melanjutkan, boikot itu adalah kegiatan sekelompok orang, individu atau organisasi untuk menarik perhatian masyarakat agar ikut memberikan tekanan kepada Israel untuk menghentikan agresi militernya di Palestina.
"Tapi, tidak harus melakukan boikot terhadap produk-produk yang hanya disebut-sebut saja ada afiliasinya dengan Israel tanpa bukti. Nyatanya, belum ada yang bisa membuktikannya sampai sekarang, termasuk MUI dan Kominfo," kata Abdul Halim.
Halim berpendapat, untuk membuktikan bahwa produk-produk itu terafiliasi dengan Israel kriterianya harus jelas. Begitu juga, sambung dia, dengan standarnya harus ada yang membuktikan bahwa produk-produk itu mendukung Israel atau tidak.
Dia mengungkapkan, hingga saat ini tidak ada satu lembaga pun yang memberikan keabsahan daftar perusahaan yang diduga terafiliasi Israel. Dia melanjutkan, kondisi ini membuat isu boikot menyebar dengan liar.
"Dari situ, orang menjadi tidak transparan lalu orang menjadi seenaknya sendiri menggolongkan seperti yang saat ini terjadi di masyarakat," jelas Halim.