Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengupayakan untuk memangkas perizinan di sektor energi panas bumi (geothermal) yang sebelumnya membutuhkan waktu selama 18 bulan menjadi hanya lima hari.
Advertisement
"Program panas bumi ini sedang kita upayakan untuk memendekkan proses perizinan. Jadi proses perizinan sedang diupayakan kalau yang tadinya tidak salah 18 bulan, kita kemarin sudah berupaya untuk menjadi lima hari," ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi dikutip dari Antara, Selasa (19/11/2024).
Ia menjelaskan, proses yang dipangkas yakni pada pengajuan perizinan di Online Single Submission (OSS) dengan mengurangi pemenuhan izin di awal untuk Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), serta perizinan amdal.
"Itu kita hilangkan di awal. Jadi nanti kalau sudah ketemu drilling-nya, lokasinya yang kecil, kan cuma kecil, tidak perlu berhaktare-haktare, baru dibuat izinnya," ujar dia dikonfirmasi usai acara.
Lebih lanjut, menurut dia, upaya pemangkasan proses penerbitan izin tersebut akan segera direalisasikan, mengingat sudah membahas perubahan regulasi terkait, seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK), serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
"Ini saya rasa beberapa bulan lagi," kata Eniya
Selain itu, Eniya mengatakan, pihaknya turut menaikkan Internal Rate of Return (IRR) dari sebuah investasi sebesar 1,5 persen. Hal tersebut dilakukan guna menarik para investor untuk berkolaborasi dalam memajukan sektor geothermal domestik.
"Jadi investasi ini akan jauh lebih menarik dengan situasi yang seperti ini," katanya.
Kementerian ESDM mencatat potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia mencapai 3.687 Giga Watt (GW) sehingga harus dioptimalkan dalam menghasilkan energi bersih bagi seluruh masyarakat.
PGEO Jadikan Panas Bumi Katalisator Utama Transisi Energi di Indonesia
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) berkomitmen membawa Indonesia menjadi raksasa energi hijau. PGEO melihat panas bumi akan menjadi katalisator utama dalam transisi energi dan solusi strategis menghadapi krisis iklim.
Hal ini diungkap dalam Conference of the Parties (COP) 29 di Baku, Azerbaijan yang merupakan konferensi perubahan iklim yang digagas oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dalam sebuah diskusi di COP29, Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy Julfi Hadi menjelaskan, transisi ke energi hijau merupakan kebutuhan yang mendesak, terutama bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Untungnya, Indonesia memiliki potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang luar biasa, terutama energi panas bumi yang paling cocok menggantikan peran energi fosil.
"Sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab dan peluang besar menjadi pemimpin transisi energi global. Dengan karakteristiknya sebagai energi baseload, panas bumi adalah solusi ideal untuk menggantikan bahan bakar fosil, mendorong agenda transisi ke energi bersih dan mengurangi laju perubahan iklim,” papar Julfi Hadi dalam keterangan tertulis, Kamis (14/11/2024).
Diskusi panel yang membahas pengembangan energi bersih untuk mencapai target iklim Indonesia ini juga menghadirkan pembicara lainnya seperti Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi, Executive Vice President Transisi Energi dan Keberlanjutan PT PLN (Persero) Kamia Handayani dan Director of Sustainable Energy Hub United Nations Development Program (UNDP) Riad Meddeb.
Advertisement
Tantangan Kembangkan Panas Bumi
Julfi Hadi menyoroti sejumlah tantangan pengembangan energi panas bumi. Dari total sumber daya 24 GW, baru sekitar 10% yang dimanfaatkan. Dengan semangat COP29, Ia menekankan pentingnya kolaborasi global untuk mempercepat pengembangan energi ini.
"Pengembangan panas bumi masih menghadapi banyak tantangan, mulai dari aspek teknis, regulasi, hingga pembiayaan. Namun, dengan kerja sama global, kita bisa menjadikan tantangan ini sebagai peluang. Negara-negara di dunia perlu mendorong terciptanya ekosistem yang mendukung pengembangan panas bumi, terutama melalui penguatan sektor keuangan hijau. Investasi yang lebih besar di sektor ini adalah kunci untuk mempercepat transisi menuju masa depan yang lebih bersih," papar Julfi Hadi.
Julfi Hadi juga memaparkan bahwa percepatan pengembangan panas bumi akan membuat Indonesia berpotensi menjadi raksasa energi hijau dunia. Ini selaras dengan peta jalan EBT nasional yang menargetkan kapasitas terpasang panas bumi 10,5 GW pada 2035. Target ini diharapkan menarik investasi sebesar USD17-18 miliar, berkontribusi hingga USD22 miliar pada PDB, serta menciptakan hingga 1 juta lapangan kerja.