Liputan6.com, Jakarta - Isu mengenai potensi bahaya Bisphenol-A (BPA) yang terkandung dalam air minum dalam kemasan (AMDK), khususnya galon, masih terus beredar di masyarakat.
Advertisement
Berbagai informasi terkait bahaya BPA seringkali disajikan secara tidak utuh, cenderung sensasional, dan yang paling berbahaya, tidak didasari bukti-bukti ilmiah.
BPA sendiri adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi. Karena manfaatnya, BPA tidak hanya dipakai pada kemasan air minum, namun juga banyak ditemukan pada barang-barang di sekitar kita.
Selain kemasan pangan, BPA juga dipergunakan untuk thermal paper pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap BPA, termasuk jenis-jenis plastik yang digunakan sebagai bahan kemasan pangan membuat misinformasi menjadi semakin mudah tersebar dan menimbulkan pemahaman yang salah.
Untuk menghindari meluasnya penyebaran informasi yang salah, masyarakat diimbau untuk membiasakan diri mencari informasi secara utuh dan menyeluruh, serta selalu mencari informasi pembanding.
Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, DR. Devie Rahmawati menjelaskan bahwa misinformasi atau hoax seringkali menggunakan wajah atau potret ahli sebagai bentuk afirmasi, meskipun secara konteks keahliannya mungkin tidak relevan atau bahkan ahli tersebut tidak ada (fiktif).
“Bisa terjadi kebingungan, kegagalan, kebodohan, sampai konflik sosial. Jangan mudah termakan oleh isu beredar yang belum bisa dipercaya kebenarannya. Ada banyak cara untuk melakukan cek fakta,” tegas DR. Devie, dalam keterangannya, Senin (18/11/2024).
Misinformasi yang banyak beredar mengatakan bahwa BPA dapat luruh di air minum kemasan galon dan dapat membahayakan kesehatan. Padahal, beberapa penelitian ilmiah membuktikan sebaliknya.
Guru Besar Ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan IPB, Prof. Nugraha Edhi Suyatma menyampaikan bahwa sejauh ini, belum ada studi yang membuktikan bahwa kandungan BPA ditemukan pada air minum dalam kemasan galon.
“Penelitian terbaru yang dilakukan peneliti ITB justru tidakmenemukan BPA di galon air minum dari empat merk yang banyak dikonsumsi diIndonesia. Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun,” paparnya.
“Dari hasil penelitian menunjukkan kandungan BPA di galon air minum sudah hampir tidak ada lagi, dan yang tersisa pun tidak mudah luruh. Potensi luruh hanya terjadi pada kondisi yang sangat ekstrem, misalnya, jika dipanaskan dalam suhu lebih dari 250 derajat Celcius,” terangnya.
Regulasi Ketat dari BPOM
Kenyataannya, dalam proses produksi AMDK tidak ada proses pemanasan yang terjadi. Hanya mungkin terpapar matahari pada proses distribusi, itu pun dengan suhu di bawah 50 derajat Celcius. Oleh karena itu, risiko migrasi BPA ke air minum dari kemasannya akan sangat kecil.
“Masyarakat tidak perlu khawatir dengan risiko paparan BPA pada kemasan galon berbahan polikarbonat. Apabila sudah mendapat izin edar BPOM, maka itu menjadi jaminan bahwa produk tersebut aman dikonsumsi,” ujar Prof Nugraha.
BPA sering dituding sebagai salah satu penyebab risiko permasalahan kesehatan. BPA dianggap dapat menyebabkan infertilitas, gangguan hormon, memicu kolesterol serta menyebabkan kanker. Namun, beberapa ahli di bidang kesehatan didukung penelitian ilmiah, memiliki pandangan yang berbeda.
Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan dari Tzu Chi Hospital dr. Ervan Surya, menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada studi ilmiah yang konklusif mengenai pengaruh luruhan BPA terhadap infertilitas. Bahkan berdasarkan hasil studi yang beliau temukan, tidak ada korelasi antara BPA dengan gangguan kesuburan.
“Infertilitas dapat terjadi karena pengaruh gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, dan olahraga yang terlalu berat. Merokok sudah jelas-jelas terbukti sebagai salah satu penyebab gangguan kesuburan, namun sepertinya masyarakat tidak khawatir akan hal ini, malah cenderung panik dengan isu lain yang belum terbukti kebenaran fakta ilmiahnya, contohnya BPA ini,” tambah Ervan.
Sementara itu, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Ahli Endokrin-Metabolik Dr. Laurentius Aswin Pramono mengungkapkan, belum ada sama sekali kesepakatan bahwa BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum ada bukti penelitian ilmiah pada manusia, yang ada hanya penelitian di laboratorium dengan hewan.
"Isu bahwa BPA menyebabkan diabetes, kolesterol tinggi, kanker,i nfertilitas dan lain-lain, adalah mitos yang menyesatkan," katanya.
“Tidak ada satu pun dari penyakit ini yang disebabkan oleh BPA. Penyebab diabetes bukanlah BPA, melainkan penurunan produksi insulin akibat gaya hidup yang kurang baik, dan usia. Demikian pula dengan kanker, infertilitas, obesitas, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya,” tegasnya.
Advertisement
Masyarakat Diminta Bijak dalam Menyaring Informasi
Tubuh manusia juga memiliki kemampuan untuk memetabolisme berbagai zat kimia termasuk BPA. BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh, akan dibuang dan tidak akan terakumulasi di dalam tubuh.
“Hati atau liver bisa memecah rantai BPA, kemudian BPA akan dibuang melalui saluran pencernaan lewat BAB. Ada sebagian yang masuk ke ginjal, dan akan dibuang melalui urin,” jelas Dr. Aswin.
Di Indonesia, pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan regulasi ambang batas aman migrasi BPA, yaitu maksimal 0,6 bpj (600mikrogram/kg). Ketika sebuah produk telah beredar di pasaran, artinya produk tersebut telah mendapatkan izin dan mematuhi regulasi pemerintah yang berlaku, sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat.
Sekalipun benar terjadi luruhan BPA pada air minum dalam kemasan galon polikarbonat, dapat dipastikan angkanya akan sangat kecil dan jauh di bawah ambang batas yang telah ditetapkan oleh BPOM.
“Butuh 10.000 liter air dalam sekali minum untuk bisa mendapatkan kadar BPA yang melebihi ambang batas aman. Itu kan hal yang mustahil,” sambungnya.
Dr. Aswin menambahkan bahwa air minum yang dikemas dalam galon polikarbonat adalah produk yang sudah dikonsumsi lintas zaman selama bertahun-tahun. Tidak ada bukti kuat selama ini yang menunjukkan adanya risiko bagi kesehatan masyarakat.
"Jadi masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu karena terpengaruh isu-isu kurang jelas, sementara faktor risiko kesehatan yang jelas-jelas sudah terbukti seperti kebiasaan merokok, kurang berolahraga, pola makan yang buruk, dan mengkonsumsi alkohol justru diabaikan," tutupnya.