Bungkus Rokok Polos Ancam Nasib 99.177 Pekerja di Jawa Tengah, Mayoritas Wanita

Serikat Pekerja menyatakan kebijakan yang eksesif bagi industri tembakau akan memengaruhi penghidupan pekerjanya.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 20 Nov 2024, 12:44 WIB
Ilustrasi Rokok. Foto (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Liputan6.com, Jakarta - Wacana penyeragaman bungkus rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terus menuai protes dan penolakan dari berbagai pihak. Salah satu penolakan datang dari serikat pekerja tembakau di Jawa Tengah, yang khawatir kebijakan tersebut akan mengancam mata pencaharian mereka.

Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesa (FSP RTMM-SPSI), Andreas Hua mengatakan, kebijakan yang eksesif bagi industri tembakau akan memengaruhi penghidupan pekerjanya. 

Apalagi, per Mei 2024 terdapat sekitar 99.177 pekerja tembakau yang tersebar di Jawa Tengah. Sebagian besarnya merupakan pekerja perempuan yang merupakan tulang punggung keluarga.

"Aturan ini bisa mematikan penghidupan pekerja di Indonesia. Ambil contoh kudus, kalau industri rokoknya mati, maka ada 77.000 pekerja yang akan terdampak. Itu baru satu wilayah saja loh," ungkapnya, Selasa (20/11/2024).

Sama halnya dengan serikat pekerja di daerah lain, Andreas mengaku pekerja di Jawa Tengah tidak diikutsertakan dalam proses perumusan Rancangan Permenkes yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Padahal, aturan ini sangat mempengaruhi para pekerja, terutama pekerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang merupakan sektor padat karya.

Pekerja di Jawa Tengah dengan tegas menolak rencana aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Permenkes. "Pokoknya, kita tidak setuju akan aturan ini karena dapat mengancam para pekerja yang terlibat di dalamnya," serunya.

Di sisi lain, Akademisi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Malik Cahyadin menilai, rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek bukan hal yang subtansial untuk mengendalikan konsumsi rokok. 

 


Berdampak terhadap Sektor Lain

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Tak hanya itu, aturan ini juga berdampak pada sektor lain yang berhubungan dengan industri tembakau.

"Aturan ini tidak hanya merugikan pekerja tembakau, tapi juga berdampak bagi pekerja kreatif. Padahal, pekerja kreatif memiliki kontribusi penting terhadap nilai tambah ke negara, yang semestinya dijadikan perhatian bersama," terangnya.

Maka, Malik menekankan pentingnya pemerintah untuk mengevaluasi ulang Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) beserta Rancangan Permenkes. Aturan ini menjadi kontradiksi dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

"Untuk memajukan negara, industri, dan rakyat kita harus skill up. Kalau industri kita ditekan, maka rakyat kita juga yang akan mengalami dampaknya. Apakah target 8 persen ini bisa tercapai dengan adanya Rancangan Permenkes? Indikator kita menjadi kontras dan terus menurun jika aturan ini diberlakukan," tuturnya.

 


Tarif Cukai Tak Naik di 2025, Bagaimana dengan Harga Rokok?

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hingga Oktober 2024 masih terjaga dengan baik.

Dalam laporannya, penerimaan negara tercatat mencapai Rp2.247,5 triliun, atau sekitar 80,2% dari target yang ditetapkan, meningkat 0,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Kinerja penerimaan negara yang mulai tumbuh diharapkan dapat terus berlanjut seiring dengan kebijakan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan. Salah satu sumber utama penerimaan negara adalah cukai hasil tembakau (CHT).

Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan sejumlah kebijakan penting dalam rancangan APBN 2025, termasuk keputusan untuk tidak menaikkan tarif CHT, yang diikuti dengan penyesuaian terhadap Harga Jual Eceran (HJE) rokok untuk tahun 2025.

Keputusan ini tidak hanya bertujuan untuk mengendalikan konsumsi tembakau, khususnya di kalangan remaja dan kelompok rentan, tetapi juga untuk mengatasi fenomena downtrading, di mana konsumen beralih ke rokok dengan harga yang lebih murah.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menegaskan bahwa tarif cukai rokok tidak akan naik pada tahun 2025. Ia menyatakan keputusan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga dan mendukung kelangsungan usaha di industri hasil tembakau.

“Sudah kita sampaikan bulan lalu di APBN 2025 bahwa tidak ada kenaikan tarif CHT. Kami memberikan ruang kepada pelaku usaha,” jelasnya.

 


Beri Kepastian Pelaku Usaha

Ilustrasi Foto Kemasan Rokok (iStockphoto)

Di sisi lain, penyesuaian HJE rokok sedang dipersiapkan untuk memberikan kepastian kepada pelaku usaha, yang diharapkan mampu menstabilkan harga dan menekan konsumsi tembakau secara bertahap.

“Itu yang sedang kita siapkan pengaturannya, terkait dengan HJE, agar memberikan kepastian usaha bagi pelaku usaha,” ungkap Febrio setelah sesi Konferensi Pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan.

Sebelumnya, Dirjen Bea Cukai, Askolani, menjelaskan bahwa kebijakan tarif CHT untuk tahun 2025 akan difokuskan pada penanganan fenomena downtrading, yang dapat berdampak pada penurunan penerimaan cukai rokok. "Kebijakan cukai hasil tembakau 2025 ini tentunya bisa mempertimbangkan downtrading," tuturnya.

 

Infografis Jurus Pemerintahan Prabowo - Gibran Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya