Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tetap berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU). Hal ini berarti PPN 12% mulai diterapkan 1 Januari 2025.
Ketentuan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Maka, per 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen.
Advertisement
"Jadi di sini kami sudah membahas bersama bapak ibu sekalian itu sudah ada Undang-Undangnya, kita perlu menyiapkan agar itu bisa dijalankan," tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, dikutip Kamis, 14 November 2024.
Seiring kabar kenaikan PPN 12 persen tetap berlaku 2025 hal itu menuai perhatian masyarakat. Dikabarkan di media sosial (medsos) berisi ajakan mengurangi belanja dan menjalani gaya hidup hemat atau frugal living. Hal ini sebagai bentuk protes terhadap rencana kenaikan PPN 12 persen dengan beli barang sesuai kebutuhan.
Lalu apa itu frugal living?
Mengutip laman djkn.kemenkeu.go.id, frugal living dimaknai sebagai gaya hidup hemat terhadap pengeluaran sehingga dapat menabung lebih banyak. Namun, frugal living ini berbeda dengan pelit. Frugal living merupakan konsep saat seseorang mengalokasikan dana yang dimiliki dengan kesadaran penuh atau mindfull dengan pertimbangan dan analisis yang baik. Hal ini disertai dengan strategi pencapaian tujuan keuangan masa depan yang jelas.
Seseorang yang menerapkan frugal living akan memilih masak makanan sehat ketimbang membeli makanan di luar. Selain itu, ia lebih memilih beli produk lokal berkualitas ketimbang barang bermerek.
Dampak ke Ekonomi
Perencana keuangan Oneshildt Financial Planning Mohammad Andoko menuturkan, seseorang yang menerapkan frugal living akan hidup sesuai prioritas. Sedangkan pelit tidak mau mengeluarkan uang meski itu dapat bermanfaat.
"Frugal living ada budget sesuai kebutuhan. Pelit itu fokus ke diri sendiri,” tutur Andoko saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 4 Agustus 2023.
Ekonom BCA David Sumual menilai agak sulit menerapkan frugal living seiring ada kebutuhan primer dan sekunder. Akan tetapi, penerapan frugal living jika dilakukan masif dapat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 56-57 persen didorong konsumsi. David menilai, jika konsumsi melambat akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia.
"Pengaruh ke ekonomi jika porsi besar akan menimbulkan double blow. PPN naik menyebabkan harga barang naik sekitar 9 persen. Lalu juga berdampak terhadap pembelian barang (permintaan melambat-red). Jadi ini terpukul dua kali,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (20/11/2024).
David menilai, jika pemerintah tetap menjalakan kenaikan PPN 12 persen harus mencari waktu yang tepat. David menuturkan, saat ini daya beli masyarakat sedang turun. Ini ditunjukkan dari inflasi inti dan peredaran uang. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Oktober 2024 sebesar 0,08 persen dan akhiri tren deflasi yang terjadi sejak Mei 2024. Sedangkan inflasi inti sekitar 0,22 persen. Memang lebih tinggi dari September 2024 sebesar 0,16 persen.
“Kalau (PPN-red) tetap naik harga barang naik, demand bisa terpengaruh. Kenaikan PPN 11-12 persen, harga barang bisa naik 9 persen,” ujar dia.
Seiring hal itu, David menilai, pemerintah perlu mengendalikan belanja pemerintah sehingga lebih efisien dan efektif. “Belanja diprioritaskan yang memiliki multiflier effect,” kata dia.
Advertisement
Catat, PPN 12% Tetap Berlaku pada 2025
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tetap berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU). Artinya, PPN 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Diketahui, ketentuan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Maka, per 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen.
"Jadi di sini kami sudah membahas bersama bapak ibu sekalian itu sudah ada Undang-Undangnya, kita perlu menyiapkan agar itu bisa dijalankan," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, dikutip Kamis (14/11/2024).
Pada kesempatan itu, dia menjelaskan ada beberapa golongan yang memang bisa mendapatkan PPN lebih rendah dari 12 persen. Bahkan, ada beberapa yang bisa dibebaskan tarif PPN-nya.
"Yang PPN 12 persen dengan pada saat yang sama ada tarif pajak yang boleh mendapatkan 5 (persen), 7 (persen), apalagi bisa dibebaskan atau dinol-kan," ungkapnya.
Dengan adanya kenaikan tarif PPN jadi 12 persen, Bendahara Negara itu melihat perlu dijaganya kesehatan APBN. Termasuk berfungsi untuk menjadi bantalan saat adanya krisis finansial global.
"Tapi dengan tadi penjelasan yang baik sehingga tadi kita tetap bisa, bukannya membabi buta tapi APBN memang harus terus dijaga kesehatannya," kata dia.
"Namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan harus merespons seperti yang kita lihat dalam episode-seperti global financial crisis, seperti terjadinya pandemi itu kita gunakan APBN," sambung Sri Mulyani.
Dibahas Pemerintah
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, Pemerintah masih menggodok rencana kenaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk 2025.
Sejalan dengan hal itu, Pemerintah akan mempertimbangkan berbagai program untuk mendukung daya beli masyarakat terkait rencana penerapan PPN 12 persen.
"Terkait PPN-12 nanti kita masih akan bahas dan pemerintah tentu akan mempertimbangkan beberapa program yang bisa menunjang daya beli," kata Airlangga Hartarto dalam konferensi pers pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024, di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/11/2024).
Advertisement