Menghidupi 16 Juta Petani dan Pekerja, Industri Sawit Harus Dikelola Badan Khusus

Ide para pemangku kepentingan industri sawit untuk membentuk badan khusus yang mengelola komoditas strategis tersebut, harus mengutamakan kepentingan industri dan petani sawit.

oleh Septian Deny diperbarui 20 Nov 2024, 15:15 WIB
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

 

Liputan6.com, Jakarta Ide para pemangku kepentingan industri sawit untuk membentuk badan khusus yang mengelola komoditas strategis tersebut, harus mengutamakan kepentingan industri dan petani sawit.

Badan ini harus mampu menjawab tantangan dan hambatan pengembangan industri sawit nasional, misalnya terkait produktivitas dan sinergitas kebijakan. Pendapat ini disampaikan oleh Kacuk Sumarto, Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI).

“Ada 16 juta petani dan pekerja dalam industri sawit. Sudah saatnya industri ini dikelola oleh suatu badan khusus yang memiliki kewenangan yang luas untuk mengatur dari hulu hingga hilir,” kata Kacuk Sumarto dikutip Rabu (20/11/2024).

Ide pembentukan super body untuk sawit ini, kata Kacuk, muncul sejak 2018 dalam sebuah pertemuan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan. Ide ini didasari oleh fakta bahwa tata kelola sektor perkelapsawitan belum dilakukan secara integratif.

“Kebetulan ide tersebut muncul dari kami yang memiliki usaha di Sumatera Utara. Intinya, kami ingin industri sawit yang memberikan kontribusi kepada bangsa ratusan triliun ini bisa dikelola oleh satu badan khusus yang kuat. Supaya benar-benar kuat, ya idealnya langsung di bawah Presiden,” kata Kacuk Sumarto.

Kacuk mengatakan, meskipun saat ini sudah ada lembaga yang menaungi industri seperti Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) namun perannya tidak efektif. Bahkan dewan yang menaungi berbagai organisasi para pemangku kepentingan industri sawit ini seperti lumpuh.

“Mengapa DMSI seperti lumpuh, tidak bisa bergerak? Karena yang mengatur ada begitu banyak menteri dan dirjen, ya pasti lumpuh,” kata Kacuk.

Melihat kondisi tersebut, kata Kacuk, para deklarator tersebut berpikir perlunya Indonesia memiliki super body yang mengatur tata kelola sektor perkelapasawitan di Indonesia.

“Super body ini juga memiliki super power yang bisa menggerakkan kementerian-kementerian teknis untuk mendukung kebijakan perkelapasawitan nasional melalui tata kelola yang integratif,” kata Kacuk.

 


Badan Khusus Sawit

Ilustrasi CPO 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Badan khusus sawit tersebut, kata Kacuk, harus diisi oleh para profesional yang ahli di bidang perkelapasawitan. Karena industri sawit akan menyerahkan tata kelola 16,8 juta hectare (ha) kebun sawit dengan jutaan petani kepada badan sawit tersebut.

“Jadi memang harus diisi oleh orang yang memiliki kapabilitas dan power yang tinggi. Bahkan aspek-aspek segmenmya baik internal maupun eksternal, kami sudah melakukan pre definisi. Termasuk price setting (manajemen harga),” katanya.

Dalam Kongres I RSI, Kacuk Sumarto dari Paya Pinang Group terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum RSI periode 2024-2027. Selain Kacuk, Irwan Perangin Angin dari PTPN terpilih sebagai Ketua I.Meski organisasi baru dalam industri sawit, RSI telah memiliki 1,72 juta ha luas kebun anggota dan ada 77 anggota yang terdiri dari perusahaan kebun sawit, produsen pupuk, industri hilir sawit, dan koperasi petani sawit.

“Kami akan kawal program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) secara besar-besaran, terutama untuk kebun para petani mitra perusahaan anggota RSI,” kata Kacuk.


Ombudsman Usul Prabowo Bentuk Badan Baru Urus Tata Kelola Sawit

Sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Foto: Freepik/9images

Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengusulkan Presiden Prabowo Subianto membentuk badan baru urusan sawit. Tujuannya memperbaiki tata kelola industri sawit.

Dia mengatakan badan baru ini selayaknya berada langsung di bawah Presiden. Menurutnya, satu lembaga baru bisa mengurai carut marut tata kelola sawit dari hulu ke hilir.

"Terkait masalah pembentukan badan yg mengurusi masalah sawit ini secara satu badan di bawah presiden sehingga tata kelola hulu-hilirnya, kebijakan teknisnya itu dikomandani oleh badan ini. Dengan demikian policy-nya bisa lebih terukur, lebih diawasi dengan baik, dan pelayanan saya rasa lebih baik," ungkap Yeka, di Kantor Ombudsman, Jakarta, dikutip Selasa (19/11/2024).

Acuannya adalah konsep serupa yang dijalankan oleh Malaysia. Negara tetangga Indonesia itu punya badan yang disebut Malaysia Palm Oil Board (MPOB) atau dewan sawit Malaysia. Adanya badan itu mampu memperkuat produktivitas kebun kelapa sawit, puncaknya, Malaysia bisa memproduksi 19 ton per hektare tandan buah segar (TBS).

Yeka melihat konsep serupa perlu dijalankan di Indonesia. Dia tak ingin urusan sawit sebatas dijalankan tim berbentuk Satuan Tugas (Satgas) tanpa mengubah otoritas kementerian/lembaga yang terlibat.

"Dia harus mempunyai satu badan yang mengurusi hulu-hilir, kalau enggak seperti begitu, siapa yang me-komandani? susah," kata Yeka.

Menurutnya, banyaknya lembaga yang terlibat urusan sawit membuat tata kelola menjadi buruk. Contohnya, mulai dari tumpang tindih lahan perkebunan dan kawasan hutan, sampai tingkat sertifikasi yang rendah.

"Contohnya apa? Ya ini, tumpang tindih lahan, tumpang tindih perizinan, capaian ISPO itu karena apa? Karena kebijakannya disematkan di masing-masing institusi," urainya.

Menurutnya, ada peluang tambahan Rp 279,1 triliun jika tata kelola sawit RI dijalankan dengan baik. Bahkan, nilai total produksi sawit bisa mencapai Rp 1.008 triliun per tahun, sebuah angka yang cukup besar dan dinilai layak memiliki badan khusus yang mengatur.

"Rp 1.008 triliun loh, bukan angka yang kecil itu, sumbangannya kepada APBN pun bisa diatas, nantinya bisa mencapai Rp 150 triliun itu layak untuk menjadi badan baru. Amerika aja bikin Kementerian Efisiensi, Elon Musk. Apalagi ini, ini kementerian/lembaga yang menghasilkan devisa bagi negara dan nantinya kemandirian energi tergantung pada badan ini," pungkas Yeka.

 


Tata Kelola Sawit Buruk

Ilustrasi CPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Ombudsman Republik Indonesia menyoroti tata kelola industri kelapa sawit yang masih carut marut. Bahkan, ada potensi kerugian ekonomi mencapai Rp 279,1 triliun per tahun imbas dari tata kelola sawit yang buruk tersebut.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengungkap angka tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Analisis (LHA) terkait potensi maladministrasi di sektor perkebunan hingga industri sawit.

"Tata kelola industri kelapa sawit saat ini tidak cukup baik dan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomis," ungkap Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (18/11/2024).

 

Infografis Dampak Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunannya. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya