Liputan6.com, Jakarta - Pada Senin 18 November 2024, Komisi III DPR mulai menggelar rangkaian uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) Calon Pimpinan (Capim) dan Calon Dewan Pengawas (Cadewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masa jabatan 2024-2029.
Capim KPK pertama yang mendapat giliran pertama dalam uji kelayakan atau fit and proper test di hadapan Komisi III DPR RI adalah Setyo Budianto. Pada kesempatan itu, dia menyinggung persoalan ego sektoral antar pimpinan aparat penegak hukum, khususnya dalam penuntasan kasus korupsi.
Advertisement
"Seringkali permasalahannya adalah ini menimbulkan karena sering kali sifatnya non teknis, banyak permasalahan yang sifatnya akhirnya tidak berjalan dengan baik," tutur Setyo Budiyanto di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 18 November 2024.
"Di lapangan terkendalanya adalah karena hal-hal sepele, ada ego sektoral, kemudian kurang koordinasi," sambung dia.
Menurut Setyo, kerja sama antar instansi penegak hukum sebenarnya selalu dilakukan dalam rangka koordinasi atau bahkan supervisi. Namun kendala komunikasi seringkali pula terjadi dan membutuhkan sosok pimpinan untuk turun langsung duduk bersama.
Selain itu, dia menanggapi pertanyaan Komisi III DPR RI terkait urgensi Operasi Tangkap Tangan (OTT) ke depan dan rencana penggunaan strategi lain penuntasan kasus korupsi seperti yang dilakukan Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Setyo mengatakan, sejauh ini OTT masih diperlukan. Hanya saja, KPK memang perlu menggunakan langkah itu secara selektif, seperti misalnya untuk mengungkap kasus-kasus besar.
"Memang OTT ini tidak perlu harus banyak, harus betul-betul selektif, prioritas, tapi masih diperlukan untuk saat ini. Betul-betul selektif, prioritas dalam rangka mengantisipasi hal hal, misalnya praperadilan dan lain-lain," papar Setyo.
Berikut sederet pernyataan Setyo Budianto saat fit and proper test Capim KPK di Komisi III DPR RI dihimpun Tim News Liputan6.com:
1. Singgung Ego Sektoral Pimpinan Antar Penegak Hukum
Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budianto mendapat giliran pertama dalam uji kelayakan atau fit and proper test di hadapan Komisi III DPR RI.
Pada kesempatan itu, dia menyinggung persoalan ego sektoral antar pimpinan aparat penegak hukum, khususnya dalam penuntasan kasus korupsi.
"Seringkali permasalahannya adalah ini menimbulkan karena sering kali sifatnya non teknis, banyak permasalahan yang sifatnya akhirnya tidak berjalan dengan baik," tutur Setyo di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 18 November 2024.
"Di lapangan terkendalanya adalah karena hal-hal sepele, ada ego sektoral, kemudian kurang koordinasi," sambung dia.
Menurutnya, kerja sama antar instansi penegak hukum sebenarnya selalu dilakukan dalam rangka koordinasi atau bahkan supervisi. Namun kendala komunikasi seringkali pula terjadi dan membutuhkan sosok pimpinan untuk turun langsung duduk bersama.
"Seringkali pimpinan menganggap bahwa merasa tidak perlu bertemu, terutama pimpinan di level KPK. Menganggap mungkin karena levelnya sudah terlalu tinggi tidak mau bertemu dengan Jaksa Agung, tidak mau ketemu dengan Kapolri, menganggap yang harus ketemu adalah level deputi,” jelas dia.
Atas dasar itu, permasalahan ego sektoral dan koordinasi penting untuk dituntaskan. KPK sebenarnya telah memiliki kedeputian sendiri untuk mengurus koordinasi, hanya saja tetap seringkali terjadi permasalahan nonteknis di lapangan.
Sementara para pimpinan tidak duduk bersama menangani masalah tersebut, sehingga menjadi berdampak ke jajaran tingkat bawah.
"Ini yang menimbulkan permasalahan, yang akhirnya menghambat yang di level bawah, menimbulkan permasalahan yang di tingkat bawah," terang Setyo.
Advertisement
2. Sebut OTT Kasus Korupsi Masih Perlu, Namun Selektif
Setyo lalu menanggapi pertanyaan Komisi III DPR RI terkait urgensi Operasi Tangkap Tangan (OTT) ke depan, dan rencana penggunaan strategi lain penuntasan kasus korupsi seperti yang dilakukan Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Dia mengatakan, sejauh ini OTT masih diperlukan. Hanya saja, KPK memang perlu menggunakan langkah itu secara selektif, seperti misalnya untuk mengungkap kasus-kasus besar.
"Memang OTT ini tidak perlu harus banyak, harus betul-betul selektif, prioritas, tapi masih diperlukan untuk saat ini. Betul-betul selektif, prioritas dalam rangka mengantisipasi hal hal, misalnya praperadilan dan lain-lain," tutur Setyo.
Dia menyatakan, OTT dapat dilakukan jika diperlukan langkah lanjutan dalam pengembangan kasus, agar nantinya berhasil menguak perkara yang lebih besar lagi.
"Jadi harus betul-betul selektif dilaksanakan secara rigid, secara bersih tanpa melakukan hal yang tidak perlu. Meminimalisir kesalahan, tidak melakukan hal yang menimbulkan risiko, tapi bisa membuka perkara yang lebih besar lagi," ucap Setyo.
"Ini diharapkan bisa membuka perkara yang bisa dikatakan nanti ya big fish begitu," sambungnya.
3. Akan Tiadakan Lift VIP Pimpinan KPK di Gedung Merah Putih
Setyo lalu menyoroti kedekatan antara pimpinan dan pegawai lembaga antirasuah, yang juga bersinggungan dengan integritas instansi ke depannya. Sebab itu, dia menyatakan siap menghilangkan keberadaan lift VIP untuk pimpinan KPK.
Menurutnya, pimpinan KPK harus bersifat kolektif kolegial. Untuk itu, sudah sepatutnya antara pimpinan dan pegawai memiliki kedekatan yang baik.
"Kalau perlu di KPK itu ada lift VIP yang jadi jalur pimpinan. Kalau perlu ini akan diubah. Nah itu berlaku umum saja, jadi ndak perlu lagi ada jalur VIP yang untuk pimpinan saja," tutur Setyo.
Kolektif dan kolegial, lanjutnya, dapat menjadi kekuatan untuk KPK secara menyeluruh. Keberadaan lift VIP Pimpinan di Gedung Merah Putih dinilai menyebabkan kerenggangan hubungan antara pimpinan dan pegawai.
"Jadi selama ini pimpinan itu turun di basement kemudin masuk di lift VIP, sampai di lantai 15 dan tidak pernah ketemu dengan pegawai, tidak pernah berinterksi dengan pegawai, kemudian pulang juga seperti itu," ucap dia.
Baginya, komunikasi antara pimpinan dan pegawai KPK sangatlah penting. Hal itu tentu semakin membangun integritas untuk seluruh insan lembaga antirasuah.
"Kami berharap bahwa pimpinan betul-betul kolektif kolegial, tidak ada lagi, istilahnya 3-2, 4-1. Tapi betul-betul kolektif kolegial itu betul-betul maksimal," kata Setyo.
Advertisement
4. Tanggapi Kasus BLBI, Wajib Tuntas Selama Tak Bisa Dihentikan Lewat SP3
Kemudian, Setyo menanggapi pertanyaan Komisi III DPR RI terkait penuntasan kasus korupsi besar yang hingga kini masih terhambat, salah satunya perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurutnya, seluruh kasus besar yang belum rampung sudah sepatutnya diselesaikan. Dia pun berkomitmen menuntaskan kasus tersebut jika terpilih menjadi pimpinan KPK periode 2024-2029.
"Prinsipnya, terhadap kasus-kasus yang tidak bisa diselesaikan, ini selama kasus-kasus tersebut belum tuntas dan tidak bisa di-SP3, harus menjadi kewajiban KPK untuk menyelesaikan," tutur Setyo.
"Karena tidak bisa di-SP3, ini menjadi kewajiban penyidik untuk menuntaskan," sambungnya.
Awalnya, penuntasan kasus korupsi besar yang mangkrak itu disinggung oleh Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet. Dia menyatakan ada sekitar 18 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis.
"Ada 18 kasus besar Pak Setyo yang merugikan keuangan negara. Uang cukup besar jumlahnya yang sampai saat ini belum dituntaskan oleh KPK, di antaranya BLBI dan seterusnya," kata Bamsoet.