Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menilai terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat tentunya membawa dampak yang signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.
"Bank Indonesia terus memantau, mencermati, melakukan assesment atas proses politik di Amerika terutama hasil pemilu Presiden Trump terpilih kembali," kata Perry dalam Pengumuman Hasil RDG November 2024, di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Advertisement
Maka Bank Indonesia terus memantau proses politik di AS dan melakukan penilaian atas potensi dampaknya. Berdasarkan pengamatan dan analisis yang terus berkembang, terdapat lima aspek utama yang perlu diperhatikan terkait kebijakan ekonomi dan politik di bawah kepemimpinan Trump.
"Tentu saja assesment-assesment itu dinamis ya, tapi kami terus melakukan assesment-assesmet itu dan juga menakar dampaknya terhadap Indonesia. Dari sisi Bank Indonesia kami cermati lima hal penting ini," ujarnya.
Lima aspek utama yang perlu diperhatikan terkait kebijakan ekonomi dan politik di bawah kepemimpinan Trump, diantaranya, yang pertama, kebijakan ekonomi dan politik yang cenderung Inward-Looking.
Perry menyebut, salah satu karakteristik utama dari kebijakan ekonomi Trump adalah pendekatan 'inward looking', yaitu lebih mengutamakan kepentingan domestik dibandingkan dengan hubungan perdagangan internasional.
Berdasarkan data dan pengalaman sebelumnya, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump cenderung memberlakukan tarif perdagangan yang tinggi, terutama terhadap negara-negara yang mengalami surplus besar terhadap AS, seperti China, Uni Eropa, Meksiko, dan Vietnam.
Misalnya, tarif 25% dapat dikenakan pada produk besi, aluminium, dan kendaraan dari Uni Eropa, serta mesin elektronik dan bahan kimia dari China. Kebijakan ini berpotensi menyebabkan fragmentasi perdagangan yang akan berdampak pada pelambatan ekonomi global.
"Nah, tarif perdagangan yang tinggi bahkan kemungkinan diterapkan pada semester II-2025, misalnya kepada Uni Eropa ada tarif 25 persen untuk besi, alumunium, motor vehicle atau pun yang lain. Dengan China 25 persen untuk mesin elektronik dan chemical," ujarnya.
Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Melihat hal tersebut, Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan akan naik menjadi 3,2% pada tahun depan kemungkinan akan turun menjadi 3,1% akibat kebijakan tarif tinggi ini.
Kedua, penurunan inflasi di Amerika Serikat akan lebih lambat. Perry menilai, kebijakan ekonomi domestik Trump juga dipengaruhi oleh upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemotongan pajak. Pemotongan pajak bagi individu dan perusahaan bertujuan untuk mendorong konsumsi dan investasi di dalam negeri.
Sementara itu, inflasi AS yang saat ini berada di 2,7% diperkirakan akan cenderung lebih lambat dalam menuju target inflasi jangka menengah sebesar 2%. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter AS, terutama penurunan suku bunga oleh Federal Reserve, mungkin akan lebih terbatas.
"Terbatasnya berapa? perkiraan kami terkini kemungkinan Fed Fund Rate masih akan turun 25 basis poin pada Desember 2024, tapi untuk tahun depan yang kami perkirakan semula turun 75-100 basis poin. Kalau desember kemungkinan masih akan terjadi, tapi tahun depan yang semula kami perkirakan bisa 3-4 kali 75-100 basis poin, perkiraan kami hanya 50 basis poin," jelasnya.
Ketiga, defisit fiskal yang melebar dan implikasinya terhadap utang. Salah satu konsekuensi dari kebijakan ekonomi Trump adalah kemungkinan meningkatnya defisit fiskal Amerika Serikat. Defisit yang diperkirakan akan melebar menjadi 7,7% dari PDB pada tahun depan, lebih tinggi dari prediksi sebelumnya yang hanya 6,5%.
Advertisement
Defisit
Alhasil untuk menutupi defisit ini, pemerintah AS akan lebih banyak menerbitkan utang, yang akan mempengaruhi tingkat imbal hasil US Treasury. Hal ini menyebabkan yield obligasi AS meningkat, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Yield US Treasury jangka dua tahun diperkirakan akan mencapai 4,3% pada tahun depan, sementara yield jangka sepuluh tahun bisa meningkat hingga 4,7%.
"Defisit fiskal yang lebih tinggi kan harus menerbitkan utang, kalau menerbitkan utang lebih banyak berarti US Treasury yang tempo hari menurun sekarang sudah naik. US treasury yang tidak turun malah kembali meningkat baik yang jangka pendek maupun jangka panjang," ujarnya.
Keempat, dampak terhadap valuta asing dan investasi Global. Kebijakan fiskal yang lebih ekspansif dan suku bunga yang lebih tinggi dapat menyebabkan pergeseran preferensi investor global. Dengan meningkatnya imbal hasil US Treasury, lebih banyak investor yang akan beralih ke pasar keuangan AS, mendorong penguatan nilai tukar dolar AS.
Hal ini berpotensi mempengaruhi arus modal global, termasuk di Indonesia, yang dapat menghadapi tantangan terkait fluktuasi nilai tukar dan arus investasi asing.
"Nah, dengan seperti ini Fed Fund Rate yang turunnya lebih terbatas , US Treasury lebih meningkat maka yang ketiga terjadi berbaliknya preferensi investor global ke Amerika Serikat, karena investasi portofolio di Amerika Serikat Yield US-nya tinggi, sehingga semuanya ini membuat dollar menguat," jelasnya.
Kelima, potensi fragmentasi perdagangan dan perlambatan Ekonomi global. Menurutnya, kebijakan proteksionis yang diusung Trump dapat memicu fragmentasi perdagangan internasional. Negara-negara mitra yang terkena tarif tinggi seperti China, Uni Eropa, dan Inggris berisiko mengalami perlambatan ekonomi.
Hal ini dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi global, yang juga akan mempengaruhi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang memiliki hubungan perdagangan dan investasi yang erat dengan negara-negara besar tersebut.