5 Klub Inggris yang Paling Dibenci, Bukan Cuma Manchester United

Klub-klub yang berkompetisi di Liga Inggris memiliki jutaan penggemar yang tersebar di seluruh dunia. Saat ini, Premier League menempati posisi teratas dalam hal popularitas, sulit untuk disaingi oleh liga-liga lainnya.

oleh Harley Ikhsan diperbarui 21 Nov 2024, 00:02 WIB
Suasana di luar kandang Manchester United (MU), Old Trafford. (AFP/Oli Scarff)

Liputan6.com, Jakarta - Klub-klub yang berkompetisi di Liga Inggris memiliki jutaan penggemar yang tersebar di seluruh dunia. Saat ini, Premier League menempati posisi teratas dalam hal popularitas, sulit untuk disaingi oleh liga-liga lainnya.

Meskipun banyak orang mengagumi klub-klub dan Premier League, terdapat sejumlah momen yang membuat sepak bola Inggris menjadi sorotan negatif. Berbagai isu seperti kecurangan, kekerasan, hingga tindakan kriminal seperti pelacuran sering kali mencoreng citra liga ini.

Akibat dari berbagai kontroversi tersebut, beberapa klub di Inggris telah mendapatkan reputasi buruk, menjadikannya "penjahat" di mata publik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bahkan, suporter dari klub lain pun turut merasakan kebencian terhadap tim-tim ini.

Berikut adalah lima tim Inggris yang paling banyak memiliki pembenci, salah satunya adalah Manchester United (MU). Popularitas yang tinggi sering kali berbanding lurus dengan kontroversi yang menyertainya.


5. Millwall (1885 hingga sekarang)

Millwall.

Didirikan pada tahun 1885, Millwall telah menjadi salah satu klub sepak bola yang paling dikenal di Inggris, meskipun sering kali dengan reputasi negatif. Salah satu faktor utama yang menyebabkan klub ini dibenci adalah perilaku suporter yang kerap membuat onar, baik di dalam maupun di luar stadion.

Millwall memiliki catatan panjang terkait kerusuhan yang melibatkan suporter mereka. Beberapa insiden besar yang mencoreng nama klub terjadi di berbagai pertandingan, seperti:

  • 2002: Kerusuhan besar saat menjamu Birmingham di kandang mereka.
  • 1978: Kerusuhan saat menghadapi Ipswich.
  • 1985: Insiden saat laga tandang melawan Luton.
  • 1966: Kerusuhan saat bertanding melawan QPR.
  • 1906 dan 2009: Insiden kerusuhan saat melawan West Ham.

Suporter Millwall tidak hanya terlibat dalam kerusuhan fisik, tetapi juga melakukan tindakan yang mengganggu jalannya pertandingan, seperti melemparkan granat tangan tiruan ke lapangan. Tindakan ini menunjukkan bahwa perilaku suporter Millwall telah menjadi bagian dari sejarah klub yang sulit dipisahkan.

Reputasi Millwall sebagai klub yang kontroversial tidak dapat dipisahkan dari aksi-aksi suporter mereka yang sering kali melanggar norma. Meskipun klub ini memiliki sejarah yang panjang dan kaya, tantangan untuk memperbaiki citra mereka tetap menjadi pekerjaan rumah yang besar.


4. Wimbledon (Musim 1987/1988)

ilustrasi liga inggris (Liputan6.com/Abdillah)

Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, Liverpool dikenal sebagai salah satu raksasa sepak bola Inggris. Namun, kejutan terjadi di final Piala FA musim 1987/1988 ketika mereka harus mengakui kekalahan dari tim yang jauh lebih kecil, Wimbledon. Kemenangan ini melahirkan julukan The Crazy Gang untuk Wimbledon, yang berhasil mengalahkan Culture Club Liverpool.

Dalam pertandingan yang digelar di Wembley, Wimbledon mencetak gol tunggal yang menentukan melalui sundulan Lawrie Sanchez. Gol ini merupakan hasil dari situasi yang cermat dan oportunistik, memperlihatkan ketangguhan tim yang dianggap sebagai underdog. Selain itu, drama semakin memanas ketika kiper Wimbledon, Dave Beasant, melakukan penyelamatan penalti yang menjadi momen krusial dalam pertandingan.

Wimbledon sering kali menjadi sorotan karena gaya bermain mereka yang agresif dan kasar, mirip dengan karakter anggota geng. Pendukung tim lain sering kali melihat mereka dengan pandangan negatif, tetapi keberanian dan determinasi yang ditunjukkan di lapangan membuat mereka tak terlupakan.

Kemenangan Wimbledon di final Piala FA 1988 menjadi salah satu momen paling ikonik dalam sejarah sepak bola Inggris. Meskipun Liverpool mendominasi liga pada masa itu, keberhasilan Wimbledon menunjukkan bahwa dalam sepak bola, segala sesuatu bisa terjadi. Kemenangan ini tidak hanya menjadi kebanggaan bagi klub, tetapi juga bagi para pendukung yang selalu setia.


3. Manchester United (Musim 1998/1999)

Manchester United.

Pada akhir musim 1998/1999, manajer legendaris Manchester United, Alex Ferguson, mendapatkan kehormatan dari kerajaan Inggris dengan dinobatkan sebagai bangsawan. Di bawah kepemimpinannya, Manchester United berhasil meraih tiga gelar sekaligus, yang dikenal sebagai treble winners, termasuk kemenangan dramatis di Liga Champions melawan Bayern Munchen di final.

Di balik kesuksesan tersebut, terdapat sosok yang sering menjadi sorotan, yaitu Roy Keane. Gelandang bertahan ini dikenal dengan gaya permainannya yang agresif dan tekel keras, yang sering kali menimbulkan kontroversi. Keane bukan hanya menjadi pemain kunci di lini tengah, tetapi juga figur yang menebar kebencian di kalangan lawan melalui permainan brutalnya.

Strategi yang diterapkan Ferguson menjadi salah satu faktor utama keberhasilan tim. Namun, gaya permainan Keane yang keras juga berkontribusi pada citra Manchester United yang sering kali dianggap sebagai tim yang tidak disukai oleh lawan. Kombinasi antara taktik cerdas Ferguson dan intensitas permainan Keane menciptakan dinamika unik dalam skuad.

Keberhasilan Manchester United di musim 1998/1999 tidak hanya ditentukan oleh taktik manajer, tetapi juga oleh karakter pemain seperti Roy Keane. Keduanya berperan penting dalam menciptakan sejarah yang tak terlupakan bagi klub.


2. MK Dons (Musim 2004/2005)

Gelandang Chelsea, Oscar, melancarkan percobaan tendangan ke arah gawang MK Dons dalam pertandingan Piala FA. Di babak selanjutnya, Chelsea akan berhadapan dengan Manchester City. (AFP/Ben Stansall)

Milton Keynes Dons FC, yang lebih dikenal sebagai MK Dons, mengambil langkah signifikan dengan mengakuisisi Wimbledon FC yang sebelumnya pindah ke Milton Keynes. Langkah ini dilakukan sebagai respons terhadap aturan Federasi Sepak Bola Inggris (FA) yang mewajibkan setiap klub profesional memiliki stadion dengan kapasitas penuh dan kursi untuk penonton.

MK Dons mengklaim diri sebagai klub baru dan cenderung menghindari pembicaraan mengenai sejarah panjang Wimbledon FC. Sikap ini memicu kemarahan di kalangan suporter yang berasal dari kota Wimbledon. Tak hanya mereka, hampir seluruh penggemar sepak bola di Inggris menganggap MK Dons sebagai klub yang tidak memiliki akar sejarah yang kuat.

Sebagai reaksi terhadap situasi ini, para suporter setia Wimbledon mendirikan AFC Wimbledon. Klub baru ini menjadi simbol perjuangan dan identitas bagi mereka yang merasa kehilangan warisan sepak bola mereka. Pertandingan antara AFC Wimbledon dan MK Dons sering kali menjadi momen yang penuh emosi dan ketegangan, menjadikannya salah satu laga paling dinanti dalam dunia sepak bola Inggris.

Rivalitas antara MK Dons dan AFC Wimbledon bukan hanya sekadar pertandingan sepak bola, tetapi juga mencerminkan perpecahan yang lebih dalam dalam komunitas sepak bola. AFC Wimbledon mewakili nilai-nilai tradisi dan sejarah, sementara MK Dons dianggap oleh sebagian orang sebagai klub yang muncul tanpa latar belakang yang jelas.

Identitas klub sangat penting dalam sepak bola, dan kasus MK Dons dan AFC Wimbledon menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara suporter dan klub mereka. Suporter AFC Wimbledon berjuang untuk menjaga warisan yang mereka cintai, sementara MK Dons terus berusaha membangun identitas baru di Milton Keynes.

Kisah MK Dons dan AFC Wimbledon adalah contoh menarik tentang bagaimana sejarah dan tradisi dapat mempengaruhi dinamika dalam dunia sepak bola. Rivalitas yang terjadi antara kedua klub ini tidak hanya menjadi sorotan di lapangan, tetapi juga mencerminkan perasaan yang mendalam dari suporter yang terlibat. Seiring berjalannya waktu, kedua klub akan terus berusaha menemukan tempat mereka di jagat sepak bola Inggris.


1. Leeds United (Musim 1973/1974)

ilustrasi liga inggris (Liputan6.com/Abdillah)

Billy Bremner, sosok ikonik asal Skotlandia, menjadi pemimpin yang membawa Leeds United meraih kesuksesan di pentas sepak bola Inggris. Tim Leeds United dikenal dengan gaya permainan yang mencerminkan karakteristik sepak bola Inggris yang sejati, yaitu permainan yang keras, penuh semangat, dan mengutamakan kekuatan fisik.

Leeds United terkenal dengan pendekatan permainan yang intens dan agresif. Penampilan mereka sering kali berujung pada situasi yang keras, sehingga tim ini dijuluki "Dirty Leeds." Ketangguhan mereka di lapangan membuat banyak pemain lawan kesulitan dan bahkan mengalami cedera saat berhadapan dengan Leeds. Hal ini menyebabkan tim ini tidak hanya diakui, tetapi juga dibenci oleh banyak klub lain di Inggris pada masa itu.

Peran Billy Bremner dalam tim sangat vital. Sebagai kapten, ia tidak hanya memimpin dalam hal permainan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi rekan-rekannya. Dedikasi dan semangat juangnya menciptakan atmosfer yang kuat di dalam tim, mendorong Leeds United untuk mencapai puncak prestasi.

Reputasi Leeds United sebagai tim yang keras dan sering dianggap kontroversial menjadikan mereka salah satu tim yang paling diperhatikan di Inggris. Meskipun banyak yang membenci gaya permainan mereka, tidak bisa dipungkiri bahwa Leeds telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah sepak bola Inggris.

Leeds United, di bawah kepemimpinan Billy Bremner, tidak hanya menjadi tim yang sukses, tetapi juga menciptakan identitas yang kuat dalam dunia sepak bola. Gaya permainan mereka yang khas dan ketangguhan di lapangan akan selalu dikenang sebagai bagian dari sejarah sepak bola Inggris.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya