Liputan6.com, Jakarta - Belanja raksasa teknologi dunia untuk teknologi Kecerdasan Buatan (AI) generatif melonjak 500% pada 2024, dari semula USD 2,3 miliar (Rp 36,6 triliun) pada 2023 menjadi USD 13,8 miliar (Rp 220,1 triliun).
Hal itu diungkapkan dalam data yang dirilis oleh Menlo Ventures. Melansir CNBC International, Kamis (21/11/2024) laporan Menlo Ventures juga menemukan OpenAI menyerahkan pangsa pasar dalam AI perusahaan, menurun dari 50% menjadi 34%. Sedangkan Anthropic menggandakan pangsa pasarnya dari 12% menjadi 24%.
Advertisement
Hasil tersebut berasal dari survei terhadap 600 pembuat keputusan perusahaan dari perusahaan dengan 50 atau lebih karyawan.
Tim Tully, mitra di Menlo Ventures, mengatakan dalam sebuah wawancara kalau peralihan teknologi tersebut sebagian berkat kemajuan Claude 3.5 dan karena mayoritas perusahaan menggunakan tiga atau lebih model AI besar. Meskipun OpenAI dan Anthropic mendominasi penggunaan model AI oleh perusahaan, masyarakat kerap "berganti-ganti model" dan penggunaan.
"Pengembang cukup cerdas, mereka tahu cara beralih-alih antarmodel dengan cukup cepat," ujar Tully.
"Mereka memilih model yang paling sesuai dengan kasus penggunaan mereka... dan kemungkinan besar itu adalah Claude 3.5,” ia menambahkan.
Pangsa pasar Meta tetap di 16% dan pangsa Cohere tetap di 3%. Google naik dari 7% menjadi 12%, dan Mistral kehilangan satu poin persentase, turun menjadi 5% pada tahun 2024.
Model AI generatif dasar, seperti ChatGPT milik OpenAI, Gemini milik Google, Claude milik Anthropic, dan lainnya masih mendominasi pengeluaran raksasa teknologi dunia, menurut laporan Menlo Ventures, dengan model bahasa besar menerima investasi perusahaan sebesar USD 6,5 miliar. Laporan Menlo Ventures juga optimistis dengan agen AI, tren AI terkemuka dan area investasi sisa 2024.
Pengembangan Teknologi
Google, Microsoft, Amazon, OpenAI, dan Anthropic tengah mengembangkan teknologi tersebut. Agen AI dipandang sebagai satu langkah lebih maju dari chatbot. Mereka dapat melakukan tugas-tugas rumit yang bertahap atas nama pengguna, dan membuat daftar tugas mereka sendiri, sehingga pengguna tidak perlu memandu mereka melalui proses tersebut langkah demi langkah.
"Hal-hal tentang agen itu nyata, bukan sekadar sensasi," ungkap Tully.
Laporan tersebut menemukan pembuatan kode adalah kasus penggunaan utama untuk AI generatif, dengan lebih dari separuh respons survei menyebutkannya sebagai penggunaan yang dominan.
Chatbot pendukung berada di urutan berikutnya, sebesar 31%, diikuti oleh pencarian dan pengambilan perusahaan, ekstraksi dan transformasi data, dan ringkasan rapat.
Advertisement
Euforia Kecerdasan Buatan seperti Sensasi, Ekonom Ingatkan Hal Ini
Sebelumnya, dua ekonom terkemuka, salah satunya adalah pemenang Nobel, telah memperingatkan agar tidak terlalu mengagung-agungkan kecerdasan buatan (AI).
Hal ini ketika OpenAI yang didukung Microsoft, yang berada di garis depan AI generatif, dinyatakan memiliki nilai lebih dari USD 157 miliar atau sekitar Rp 2.463 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 15.689) setelah putaran pendanaan baru.
Dikutip melalui Wion, Senin (7/10/20240, dalam beberapa wawancara dan artikel, ekonom MIT, Daron Acemoglu, mengkritik euforia seputar AI. Rekan ekonom dan pemenang Nobel, Paul Romer, juga skeptis terhadap potensi keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh AI atau kecerdasan buatan.
Acemoglu memperingatkan hype ini dapat menyebabkan investasi yang sia-sia dan janji-janji yang tidak terpenuhi, bahkan bisa berujung pada krisis pasar yang mirip dengan keruntuhan pasar cryptocurrency.
Meskipun antusiasme tinggi, Acemoglu, yang merupakan ekonom berkebangsaan Turki-Amerika, merasa hanya lima persen dari pekerjaan global yang akan terpengaruh oleh AI dalam dekade mendatang. Gangguan yang sangat minim ini tidak akan memicu revolusi ekonomi, tegasnya.
Skenario masa depan untuk AI mungkin termasuk beberapa aplikasi sukses yang bertahan dan sisa hype yang mereda, serta siklus fluktuatif antara kegembiraan dan kekecewaan, prediksinya. Ia menambahkan, perusahaan yang menggantikan manusia dengan AI di tempat kerja pada akhirnya akan kembali mempekerjakan orang ketika mereka menyadari keterbatasan AI.
Daron Acemoglu: Optimisme AI Tanpa Bukti Empiris Bisa Jadi Bumerang
Sementara aplikasi seperti ChatGPT, model bahasa besar dari OpenAI, mendapatkan apresiasi, Acemoglu mengatakan AI tidak akan mampu menggantikan pekerja manusia dalam pekerjaan yang membutuhkan penilaian yang bernuansa.
"Anda memerlukan informasi yang sangat andal atau kemampuan model ini untuk melaksanakan langkah-langkah tertentu yang sebelumnya dilakukan oleh pekerja. Mereka bisa melakukannya di beberapa tempat dengan pengawasan manusia, seperti pemrograman, tetapi di sebagian besar tempat mereka tidak bisa. Ini adalah kenyataan di mana kita berada saat ini," katanya.
Studi yang meramalkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dari AI tidak memiliki bukti empiris, tambahnya, sembari menunjukkan bahwa AI mungkin pada akhirnya memperburuk ketidaksetaraan.
Acemoglu mendorong pendekatan yang lebih teratur terhadap AI, alih-alih optimisme yang tidak kritis tentang teknologi ini. Ia juga memperingatkan bahwa kegilaan terhadap AI pada akhirnya bisa berakhir dengan keruntuhan saham teknologi dalam apa yang ia sebut "musim semi AI diikuti oleh musim dingin AI".
Advertisement
Revolusi AI? Phil Romer Peringatkan Bahaya Terjebak dalam Hype Teknologi
“Jika Anda mendengarkan pemimpin industri teknologi, peramal sektor bisnis, dan banyak media, Anda mungkin percaya bahwa kemajuan terbaru dalam AI generatif akan segera membawa manfaat produktivitas yang luar biasa, merevolusi kehidupan seperti yang kita kenal. Namun, baik teori ekonomi maupun data tidak mendukung ramalan yang berlebihan tersebut," ujarnya.
Dalam sebuah podcast baru-baru ini, seorang profesor di Boston College Phil Romer juga mencerminkan sentimen serupa. Mantan kepala ekonom Bank Dunia itu menyoroti beberapa teknologi yang baru-baru ini mendapat banyak hype, seperti kendaraan otonom, telah gagal.
"Saya pikir orang-orang terlalu terjebak dalam hype ini dan kehilangan perspektif,"
"Saya tidak berpikir AI adalah revolusi besar yang sedang kita alami saat ini." Ujar Romer
"Kendaraan otonom seharusnya menjadi aplikasi AI yang mematikan, dan ternyata itu menjadi kegagalan. Ada alasan mengapa Apple baru saja membatalkan proyek mobilnya," tambah Romer.