Liputan6.com, Jakarta - Indonesia wajib bersiap hadapi tantangan ekonomi global pada 2025, antara lain inflasi tinggi, ketidakpastian geopolitik, dan kebijakan fiskal yang ketat. Namun, para ahli menilai peluang tetap terbuka melalui strategi pemerintah yang terarah dan adaptasi dari para pelaku usaha.
Direktur dan Ekonom, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti pentingnya kebijakan fiskal dan regulasi yang stabil.
Advertisement
"Sektor konstruksi tidak hanya mengandalkan infrastruktur, tapi juga konstruksi yang terkait dengan pembangunan perumahan. Stabilitas kebijakan menjadi kunci untuk menarik investasi dan memperkuat daya saing ekonomi," ujar Bhima pada sesi diskusi acara Media Talkshow dengan tema "Overcoming Economic Challenges and Integrating ESG into Strategic Planning," pada Kamis, 21 November 2024.
Assurance Partner, Grant Thornton Indonesia¸ Tagor Sidik Sigiro juga setuju dengan pendapat mengenai hal itu Menurut dia, salah satu indikator dari daya saing Indonesia itu bisa dilihat dari stabilitas pembuatan kebijakan. Tagor juga menambahkan seringnya perubahan kebijakan membuat pelaku usaha kesulitan menyusun rencana jangka panjang.
Di sisi lain, pelaku usaha dapat memanfaatkan momentum penerapan Environmental, Social, and Governance (ESG). "Ada obligasi khusus bagi perusahaan yang menggunakan ESG, dan itu somehow bunganya jauh lebih murah daripada obligasi biasa," jelas Bhima.
ESG memberikan akses lebih luas ke pasar internasional sekaligus menjadi langkah untuk menghindari risiko seperti stranded asset.
"Dengan krisis iklim itu, banyak yang melihat kalau mereka tidak menerapkan perubahan para bisnis operasional terkait dengan standar yang lebih baik, mereka akan menghadapi yang disebut sebagai stranded asset,” tambah dia.
Melalui kombinasi kebijakan yang konsisten dan inovasi pelaku usaha, Indonesia diharapkan mampu menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang di tahun 2025.
Grant Thornton: Memasuki 2025, Tekanan Inflasi hingga Geopolitik Bayangi Ekonomi Global
Perusahaan layanan jaminan, pajak, konsultasi, dan solusi proses bisnis, Grant Thornton Indonesia ajak terapkan environment, social and good governance (ESG) dalam strategi bisnis.
Hal itu disampaikan CEO of Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani pada acara Media Talkshow dengan tema "Overcoming Economic Challenges and Integrating ESG into Strategic Planning."
“Seiring memasuki tahun 2025 ini, kita dihadapkan pada situasi global yang semakin dinamis dan penuh dalam tantangan. Tekanan inflasi global, pengetatan pasar tenaga kerja di negara-negara maju, dan ketegangan geopolitik di berbagai wilayah dunia, terus mempengaruhi stabilitas perekonomian global, termasuk juga Indonesia," ujar dia dalam sambutannya pada Kamis (21/11/2024).
Adapun acara ini menghadirkan Direktur dan Ekonom, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara dan Assurance Partner, Grant Thornton Indonesia¸ Tagor Sidik Sigiro selaku pembicara.
Melalui tema yang diangkat tahun ini, Grant Thornton berharap dapat membuka ruang diskusi yang mendalam mengenai tantangan ekonomi secara umum di tahun depan, serta langkah-langkah penting untuk menjaga stabilitas ekonomi di dalam negeri.
Johanna juga menambahkan diskusi ini membahas pentingnya memadukan prinsip-prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) ke dalam perencanaan strategis. Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk menghadapi tantangan ekonomi tetapi diharapkan dapat mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif.
“Kami berharap diskusi hari ini akan memberikan wawasan yang bermanfaat bagi kita semua untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi yang ada, serta mendorong pemikiran dan ide-ide inovatif yang dapat kita terapkan untuk membangun Indonesia yang lebih kuat dan berkelanjutan," tutur Johanna.
Advertisement
Tantangan Ekonomi RI pada 2025, Apa Saja?
Sebelumnya, ekonom dan Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan bahwa tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia.
Penurunan permintaan pasar global, hambatan perdagangan, dan kebijakan internasional yang berubah menjadi faktor utama yang dapat mengganggu kinerja ekspor dan industri domestik.
Faisal menyoroti, salah satu hambatan terbesar pada 2025 adalah peningkatan tarif perdagangan yang diberlakukan oleh mitra dagang utama Indonesia, seperti Amerika Serikat dan China. Kondisi ini diprediksi akan mengurangi daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global.
“Penetrasi ekspor ke mitra dagang utama kita terkendala oleh peningkatan hambatan perdagangan dan melemahnya permintaan global,” ujar Faisal dalam acara Gambir Trade Talk di Jakarta.
Selain itu, pengurangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh Amerika Serikat menjadi ancaman serius bagi industri manufaktur Indonesia, khususnya tekstil dan produk tekstil. Fasilitas ini sebelumnya memberikan keuntungan berupa akses pasar dengan tarif rendah.
“Potensi pengenaan tarif yang lebih tinggi dan pengurangan fasilitas GSP untuk produk manufaktur seperti tekstil akan semakin menekan kinerja industri ini,” tambahnya
Tekanan pada Industri Tekstil dan Pasar Domestik
Industri tekstil Indonesia saat ini sudah menghadapi tekanan akibat melemahnya permintaan domestik. Hambatan perdagangan internasional hanya akan memperburuk situasi ini. Pasar domestik yang lemah tidak mampu menopang industri, sementara ekspor menjadi satu-satunya andalan.
“Industri tekstil kita sudah berdarah-darah karena lemahnya permintaan domestik. Hambatan perdagangan global akan semakin memperparah situasi ini,” jelas Faisal.
Faisal juga mengingatkan bahwa fenomena trade diversion atau pengalihan perdagangan menjadi tantangan lain bagi Indonesia. Negara-negara seperti China, yang mengalami kelebihan pasokan (oversupply) akibat penurunan permintaan internasional, kemungkinan besar akan mencari pasar baru, termasuk Indonesia.
Peningkatan impor produk dari negara-negara dengan harga lebih kompetitif ini dapat menekan pasar domestik Indonesia, terutama di sektor industri padat karya. Kondisi ini semakin memperburuk daya saing produk lokal.
“Ketika tarif impor Amerika terhadap produk China meningkat, produk-produk dari China kemungkinan besar akan diarahkan ke pasar lain, termasuk Indonesia. Ini dapat menambah tekanan pada industri lokal,” kata Faisal.
Melihat tantangan yang dihadapi, diperlukan kebijakan strategis untuk melindungi industri dalam negeri dan meningkatkan daya saing ekspor. Dukungan pemerintah dalam bentuk insentif fiskal, pengembangan pasar alternatif, dan peningkatan produktivitas menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ekonomi pada 2025.
Advertisement