Tarif PPN 12% Bakal Bikin Pemerintah Bebas Belanja untuk Pembangunan

Pemerintah memastikan akan menerapkan kebijakan PPN 12% pada 2025. Lantas, apa saja plus minusnya tentang kebijakan ini?

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 22 Nov 2024, 10:52 WIB
Ilustrasi pajak. (Photo by 8photo on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan mulai diterapkan per 1 Januari 2025. Kebijakan PPN 12% ini diyakini bakal membuat pemerintah lebih leluasa dalam membelanjakan anggaran untuk pembangunan negara.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, mengatakan bahwa esensi dasar dari kebijakan PPN 12 persen ini adalah, negara butuh dana dari pajak untuk dana pembangunan.

"Kebutuhan tersebut terus bertambah. Caranya adalah dengan memperluas objek pajak dan meningkatkan tarif pajak," ujar Prianto kepada Liputan6.com, Jumat (22/12/2024).

Prianto menyadari, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasti akan memunculkan perspektif yang berbeda. Dalam hal ini, pemerintah sudah pasti pro dengan lonjakan tarif pajak, lantaran sudah diamanatkan oleh DPR selalu wakil rakyat melalui Pasal 7 ayat (1) UU PPN.

"Dampak positif yang diharapkan pasti berupa peningkatan penerimaan pajak dan rasio pajak. Dengan demikian, pemerintah punya keleluasaan fiskal untuk melakukan public spending (belanja APBN) guna pembangunan," ungkapnya.

Dampak Negatif

Di sisi lain, dampak negatif akan dirasakan oleh masyarakat selaku konsumen akhir dan menjadi penanggung PPN. "Risikonya adalah daya beli masyarakat yang menurun," imbuhnya.

Sebagai contoh, ia mengibaratkan ada satu orang yang memiliki uang Rp 1 juta dan ingin membeli barang seharga Rp 100.000. Jika tak ada PPN, yang bersangkutan bisa membeli barang sebanyak 10 unit kali Rp 100.000.

Sementara jika barang tersebut dikenakan PPN 11 persen, yang bersangkutan hanya dapat membeli barang tersebut sebanyak 9 unit x Rp 111.000, total senilai Rp 999.000.

"Jika barang tersebut dikenakan PPN 12 persen, dia hanya dapat membeli barang tersebut sebanyak 8 unit x Rp 112.000 = Rp 896.000,00. Sisa dananya sebesar Rp 104.000,00 tidak dapat digunakan untuk membeli 1 unit lagi," bebernya.

Lebih lanjut, Prianto mengemukakan, penilaian terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen ini pastinya akan berbeda, tergantung dari masing-masing point of view (PoV) alias sudut pandang.

"Dari sisi pemerintah, momentumnya pas dengan pertimbangan di atas. Alasannya adalah kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan penerimaan pajak dan rasio pajak. Dari sisi masyarakat, pasti jawabannya adalah tidak pas momentumnya karena beban pajaknya bertambah," tuturnya.


YLKI Tolak PPN 12%: Pemerintah Kejar Pajak Orang Kaya, Bukan Rakyat Kecil

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku pada awal tahun 2025.

Plt Ketua Pengurus Harian YLKI Indah Suksmaningsih menyebut, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan memberi beban tambahan bagi masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi.

"Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen," ujar Indah di Jakarta, Kamis (21/11).

Menurutnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Menyusul, adanya potensi kebijakan pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III yang akan berlaku usai DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016.

"Pemerintah seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi, sementara pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas. Pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang, agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil," tegasnya.

Saat ini, masyarakat masih terbebani kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 lalu. Dengan ini, kenaikan PPN tidak realistis untuk diterapkan pada tahun depan.

Jika dipaksakan, lanjut Indah, masyarakat kemungkinan akan menunda atau bahkan membatalkan pembelian barang-barang yang dikenakan pajak tinggi. Seperti barang elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga.

"Dampaknya, dunia usaha dan industri pun akan terimbas, dengan penurunan penjualan yang berujung pada lesunya roda ekonomi," ucapnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya